JAKARTA – Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengkritik Forum Bersama Pengawasan Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Sebelumnya, Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Muliana Girsang, mengatakan pengawasan PPDB antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda) sangat penting.
Pengawasan itu perlu untuk memastikan pelaksanaan PPDB yang berprinsip objektif, transparan, dan akuntabel.
Menurut Ubaid, pembentukan forum bersama yang telah disinggung baik. Akan tetapi, ia menyayangkan pembentukannya yang tidak dilakukan dari jauh-jauh hari.
“Ini Langkah yang baik sebagai bagian dari upaya meningkatkan akses yang lebih berkeadilan bagi semua, dan mencegah supaya tidak terjadi kecurangan saat proses PPDB. Namun, JPPI menyayangkan dan mempertanyakan mengapa forum bersama ini baru muncul?” katanya.
Ubaid mengatakan pembentukan forum bersama seharusnya lebih awal. Supaya tidak hanya membicarakan hal-hal teknis, tetapi rencana-rencana strategis untuk meningkatkan proses dan sistem PPDB yang kini bermasalah.
“Mestinya forum ini dibentuk lebih awal, jauh hari sebelum PPDB dimulai, sehingga ada banyak hal yang bisa diperbincangkan. Jadi tidak hanya membincangkan soal teknis pengawasan, tapi hal-hal stratagis yang lebih berdampak pada mutu proses dan sistem yang berkeadilan,” sambungnya.
Ia juga mendapatkan kesan bahwa forum bersama yang dibuat Kemendikbudristek tidak partisipatif. Padahal, lembaga tersebut idealnya melibatkan semua pihak. Saat ini, forum tersebut hanya beranggotakan Kemendikbudristek, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Perlindungan Anak (KPAI), dan Ombudsman.
“Ini berarti Kemendikbudristek tidak menganggap penting dan memandang sebelah mata terhadap peran dan gerakan masyarakat sipil. Tanpa keterlibatan masyarakat sipil, maka ekosistem dan tata kelola pendidikan akan timpang dan tidak seimbang, bahkan memperlemah ruang partisipasi masyarakat yang hari ini kian terkikis,” lanjut Ubaid.
Kebijakan sarat masalah
JPPI menilai permasalahan yang terjadi dalam PPDB 2024 sama dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga tidak ada perubahan.
Per 20 Juni 2024, JPPI mendapatkan laporan pengaduan dan pemantauan sebanyak 162 kasus. Adapun laporan-laporannya menyangkut penipuan di jalur prestasi (42%), manipulasi Kartu Keluarga (KK) di jalur zonasi (21%), mutase (7%), ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi (11%), dan dugaan gratifikasi (19%).
Ubaid menyayangkan kejadian masalah yang berulang. Ia menilai forum bersama yang dibentuk lebih awal seharusnya bisa membahas masalah-masalah tersebut. sehingga, mereka bisa mengubah sistem dan menjadikannya lebih berkeadilan.
“Ini semua adalah kasus rutin dan tahunan terjadi. Tidak ada yang baru. Ya gitu-gitu saja tiap tahun. Maka, sayang seribu sayang, jika forum bersama yang digagas Kemendikbudristek ini hanya forum ke pengawasan. Mestinya juga mendiskusikan soal kemungkinan perubahan sistem PPDB yang lebih berkeadilan untuk semua. Ini penting karena masalah PPDB ini bukan soal teknis implementasi, tapi sistemnya yang masih belum berkeadilan,” katanya.
Ia menemukan jalur gelap via gratifikasi yang ditemukan di berbagai daerah bisa memasang tarif Rp 2 sampai dengan 25 juta kepada penggunanya.
“Belum lagi, praktik ugal-ugalan terjadi di jalur gelap via gratifikasi dan jasa titipan orang dalam. Ini melibatkan banyak pihak dan menguras banyak uang. Tahun ini, dilaporkan dugaan adanya kasus ini mulai dari angka Rp 2-25 juta terjadi di berbagai daerah,” jelasnya.* (Bayu Muhammad)
Baca juga:
JPPI: Kembalikan Pendidikan sebagai ‘Public Goods’