‘Khittah’ ormas
Sebelumnya, Agus melayangkan pertanyaan apakah ormas-ormas keagamaan memiliki yurisdiksi atas aktivitas-aktivitas pertambangan. Ia lebih lanjut membahas kewenangan-kewenangan ormas keagamaan dengan nada yang serupa dengan Marten.
“Jadi itu (mengurus pertambangan) bukan kewenangan ormas. Di Undang-Undang Ormas juga ada itu. Ormas kan untuk kepentingan-kepentingan atau kegiatan sosial, pendidikan, dakwah, atau keagamaan, yang sesuai dengan ormasnya,” jelasnya.
Menurut Agus, kegiatan-kegiatan usaha—tidak hanya pertambangan—bukan menjadi kewenangan dari ormas-ormas keagamaan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar ormas-ormas keagamaan tidak menerima atau meminta IUP dari pemerintah.
“Kalau mau, memang saya lebih menyarankan itu tidak diterima ya, sesuai dengan khittah-nya ormas gitu,” tegasnya.
Marten juga mencium adanya potensi terjadi konflik kepentingan dalam bisnis pertambangan yang dijalankan oleh ormas-ormas keagamaan.
Menurutnya, konflik kepentingan itu bisa saja terjadi tatkala ormas-ormas keagamaan berbeda pendapat dengan badan-badan usaha yang harus mereka bentuk sebagai persyaratan mengenai usaha mereka.
Salah satunya menyangkut metode pertambangan yang akan dilakukan, apakah open mining yang berarti pengerukan besar-besar di permukaan bumi, atau closed mining atau penggalian bawah tanah yang dampak kerusakannya terhadap lingkungan alam lebih kecil.
“Potensi conflict of interest itu ada. Contoh, lembaga keagamaan harus membentuk suatu badan usaha. Dan badan usaha inilah yang melakukan eksplorasi pertambangan. Antara lembaga keagamaan dan badan usaha ini bisa beda prinsip ini. Misalnya, open mining atau closed mining, berkaitan dengan dampak lingkungan hidup misalnya,” paparnya.
Bisa juga yang melakukan eksplorasi merasa bahwa yang paling efektif, efisien dan menjanjikan keuntungan paling banyak itu adalah open mining, ternyata lembaga keagamaan menganggap dampak kerusakan lingkungan hidupnya sangat besar. Dan ini bisa membawa efek terhadap gangguan ekosistem.
Marten juga khawatir ormas-ormas keagamaan tidak bisa mengendalikan badan-badan usaha pertambangan yang bermitra dengan mereka pada akhirnya. Dan pihak badan-badan usaha dengan kepentingan bisnis merekalah yang akhirnya mendominasi.
“Hal yang lain, hal yang lain juga terpikirkan itu adalah sejauh mana lembaga keagamaan bisa mengawasi badan usaha. Ini persis juga. Prinsip moral keagamaan bisa beda dengan prinsip di dalam etika bisnis. Siapa yang mau kalah? Kan di pihak lain, tujuannya tadi mau dapat untung,” lanjutnya.
Menjajaki peluang
Akan tetapi, Agus tidak sepenuhnya menentang diberikannya IUP oleh pemerintah kepada ormas-ormas keagamaan. Ia membuka peluang untuk setuju apabila beberapa syarat terpenuhi.
Pertama, Agus menyaratkan ormas-ormas keagamaan harus membuat badan-badan usaha untuk melaksanakan aktivitas pertambangannya.
“Tapi kalaupun toh memang ormas mau menerima, itu dengan persyaratan yang sangat ketat. Persyaratan yang sangat ketat itu, terutama bahwa ormas masih harus membentuk badan usaha. Kalau mau bekerja sama dengan pihak ketiga, ormas ini harus membentuk badan usaha, biar jelas di dalam manajemen dan segala macam,” katanya.
Kedua, Agus menyaratkan agar perizinan tambang bagi ormas-ormas keagamaan tidak diabaikan. Semua proses harus dilewatkan oleh mereka.
“Misalkan, diberikan haknya kepada ormas, kemudian perizinan-perizinan sesuai dengan undang-undang pertambangan, sesuai dengan undang-undang lingkungan, perlindungan, dan lingkungan hidup, itu diabaikan, tidak boleh,” jelas Agus.
Ia tidak ingin ormas-ormas keagamaan mengabaikan proses-proses perizinan yang ada hanya karena mereka kini diperbolehkan untuk mengurus usaha pertambangan. Perizinan berkaitan dengan izin pertambangannya harus sesuai dengan Undang-Undang Pertambangan ataupun perizinan lingkungannya.
Apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi dan ormas-ormas keagamaan mengabaikan proses-proses perizinan yang ada, Agus khawatir hal itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Sebab, kalau diabaikan maka akan berdampak pada potensi terjadinya korupsi di sektor sumber daya alam, terutama pertambangan. Dan potensi terjadinya kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Marten yang mewakili KWI, menyadari kalau diberikannya izin pertambangan kepada ormas-ormas keagamaan merupakan bentuk niat baik dari pemerintah.
“Saya atas nama Konferensi Waligereja Indonesia mau mengatakan bahwa kelihatan sekali niat baik pemerintah untuk membantu agama-agama itu ada,” ujarnya.
“Dan kalau omong agama ini kan omong umat. Dan umat itu adalah warga negara. Karena itu, sebagai sebuah tindakan politik, demi kemaslahatan banyak orang yang lintas-etnik, lintas-agama, itu luar biasa,” lanjutnya.
Hanya saja, ia menegaskan, KWI menganjurkan agar upaya-upaya pembangunan dilakukan atas dasar beberapa prinsip, mulai dari keadilan hingga kebaikan umum.
Walau begitu, KWI tetap menolak untuk menerima atau meminta izin pertambangan dari pemerintah. Hal itu didasarkan kepada konsistensi mereka terhadap pendiriannya sebagai lembaga keagamaan.
“Dan KWI ingin fokus membina kehidupan umatnya. KWI menolak atau tidak menerima tawaran prioritas itu lebih kepada tegak lurus,” tandasnya.* (Bayu Muhammad)
Baca juga:
Tantangan dan Harapan Sektor ESDM Era Pemerintahan Prabowo-Gibran
‘Pembangunan IKN Jangan Diburu-Buru’
Beda Tanggapan soal Izin Tambang Ormas Keagamaan