JAKARTA – Dalam sejarahnya, pergerakan nasional di Indonesia lekat hubungannya dengan tempat-tempat berkumpul para pemuda yang jadi penggeraknya.
Salah satunya adalah rumah pemimpin Sarekat Islam (SI), Oemar Said Tjokroaminoto, yang jadi kos-kosan tempat bersinggahnya beberapa tokoh nasional. Antara lain Sukarno, Musso, dan Kartosuwiryo.
Tidak hanya jadi tempat persinggahan, rumah itu juga menjadi tempat berdiskusi tokoh-tokoh itu yang kerap membahas isu-isu penjajahan, kemerdekaan, dan masa depan Indonesia.
Nyatanya, tempat-tempat ikonik seperti itu tersebar di seantero wilayah negeri. Di Jakarta yang nantinya akan menjadi ibu kota republik, Gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal dan berkumpulnya pemuda-pemuda.
Sama seperti Sukarno, Musso, dan Kartosuwiryo, kebanyakan dari mereka juga akan mengambil peran dalam dinamika pergerakan, revolusi, dan masa awal kemerdekaan yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia di usia mudanya.
Seorang pemuda pada waktu itu, Abu Hanifah di buku Manusia dalam Kemelut Sejarah memberikan kesaksian yang rinci mengenai para pemuda dan aktivitasnya di Gedung Kramat 106 selama 1928-1931.
Gedung Kramat 106 yang kini dipugar jadi Museum Sumpah Pemuda merupakan kos-kosan. Tempat itu utamanya menjadi kos-kosan dari pemuda-pemuda yang sedang belajar di STOVIA dan berbagai sekolah tinggi lainnya di Jakarta.
Tapi seperti di rumah Tjokroaminoto, para pemuda tidak hanya menghabiskan waktu mereka untuk beristirahat malam, tidur selama beberapa jam hingga kembali beraktivitas di pagi hari.
Mereka juga menyisihkan waktu untuk berdiskusi. Topik yang mereka diskusikan juga beragam. Mulai dari perpolitikan hingga kehidupan masa remaja yang tengah mereka alami.
Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan menimbang kehadiran orang-orang di kos-kosan tersebut yang nantinya akan menjadi tokoh nasional selama masa pergerakan dan perjuangan, hingga kemerdekaan.
Beberapa orang yang pernah tinggal di sana adalah Amir Sjarifuddin, Assat, dan Muhammad Yamin. Sewaktu-waktu, orang-orang seperti Sukarno dan Sartono yang jadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) juga turut singgah.
Mereka kerap berdiskusi dan berdebat. Topiknya pun menarik, mulai dari revolusi-revolusi yang terjadi di dunia hingga ideologi-ideologi yang ada. Marxisme jadi perhatian khusus di kalangan para pemuda di sana.
Rekreasi ringan
Bukan berarti para pemuda terobsesi dengan politik. Di luar itu, mereka juga menghabiskan waktu untuk mencari rekreasi yang lebih ringan, seperti bermain biliar dan ping-pong.
Hanifah mengingat para pemuda, “Membaca surat kabar, majalah, main billiard, main pingpong, dan catur atau bridge.”
Hanya saja, diskusi dan debat beberapa di antara mereka yang kadang menjadi sengit dan berlanjut hingga larut malam menjadi perhatian para pemuda.
“Ini sering terjadi ketika habis makan malam pukul 20.00 WIB. Perdebatan itu kadang-kadang begitu sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dari depan dan turut mendengarkan perdebatan,” lanjut Hanifah.
Selain itu, beberapa pemuda juga terlibat dalam humor-humor kecil yang diingat sebagai kenangan bewarna di masa tua.
Salah satunya adalah Amir Sjarifuddin yang mengganggu Muhammad Yamin ketika sedang menerjemahkan buku asing di malam hari.
Hanifah mengingat sahabatnya, Amir, memainkan biolanya. Biasanya karya Schubert atau serenata-serenata yang sentimental. Dan itu mengganggu Yamin yang langsung berteriak meminta Amir untuk diam.
“Kira-kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi-bunyian, Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu serenata yang sentimental,” tulis Hanifah.
“Terdengarlah teriak dari kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk kerja. Ia sedang menerjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga,” lanjutnya.
Suasana kehangatan juga ditemukan di antara mereka. Tidak jarang, mereka juga berpatungan untuk membeli kopi, sate, atau sotong ketika sudah larut malam.
Itu merupakan sedikit gambaran mengenai kehidupan para pemuda di masa pergerakan. Sebuah cerita perjumpaan, persahabatan, dan perjuangan yang tak terlupakan oleh mereka hingga menyentuh usia tua.* (Bayu Muhammad)
Baca juga: Sutan Sjahrir di Mata YB Mangunwijaya