5 months ago
1 min read

Ketika Inggris dan Prancis Rebut Kemerdekaan Arab

Sharif Hussein Bin Ali in Amman, Transjordan. (Foto: Orient)

JAKARTA – Ketika Sharif Hussein dari wangsa Hasyimiyyah di Hijaz memberontak terhadap Kekaisaran Ottoman saat Perang Dunia Pertama, mereka diiming-imingi negara Arab yang merdeka oleh Inggris.

Janji tersebut diberikan tahun 1915 oleh Komisioner Tinggi Inggris di Kairo, Henry McMahon. Setelah PD I, Bangsa Arab akan memperoleh wilayah yang membentang dari Irak sampai dengan Suriah. Negara baru itu juga akan meliputi seluruh Semenanjung Arab.

Inggris hanya meminta wilayah kecil di Pesisir Lebanon yang diklaim untuk Prancis dan Irak Selatan yang diduduki oleh mereka sendiri.

Elizabeth F Thompson dalam How the West Stole Democracy from the Arabs menjelaskan kalau diadakannya perjanjian tersebut untuk memberikan pembenaran bagi Hussein.

Sebagai latar belakang, perjanjian tersebut merupakan gayung bersambut antara kepentingan wangsa Hasyimiyyah dan Inggris.

Di satu sisi, Wangsa Hasyimiyyah yang semakin resah dengan kekuasaan sewenang-wenang Ottoman merasa terdorong oleh bangsanya untuk memerdekakan diri.

Pada saat yang bersamaan, Inggris semakin membutuhkan sekutu di kawasan Arab untuk memperlemah Ottoman habis mereka kalah dalam pertempuran di Gallipoli.

Sehingga, Inggris memberikan janji tersebut kepada Hussein supaya ia mendapatkan pembenaran bahwa pihaknya memberontak untuk mempertahankan bangsa Arab dan Islam.

“Hussein hanya bisa melakukannya jika ia menjustifikasi pemberontakannya sebagai cara untuk mempertahankan kedaulatan Arab dan Islam,” tulis Thompson.

Tapi perjanjian tersebut akan segera dilanggar. Kesepakatan antara McMahon dengan Hussein ditimpa tahun 1916 oleh perjanjian rahasia antara Inggris dengan Prancis.

Prancis merasa cemas Inggris akan mendapatkan banyak wilayah kolonial di Timur Tengah habis perang berakhir. Mereka juga ingin mengambil bagian.

Oleh karena itu, Mark Sykes dan Francois Georges-Picot yang masing-masing mewakili Inggris dan Prancis membuat perjanjian yang kini dikenal sebagai Kesepakatan Sykes-Picot.

Di dalamnya, Timur Tengah akan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian.

Inggris akan mendapatkan wilayah dan pengaruh di negara-negara Teluk yang meliputi Arab Pesisir Arab Saudi, Kuwait, dan Irak Modern. Mereka juga akan memegang pengaruh atas wilayah yang kini menjadi Yordania dan Israel-Palestina.

Sementara itu, Prancis diberikan kekuasaan atas wilayah yang meliputi Suriah, Lebanon, dan Turki Tenggara.

Habis PD I berakhir, perjanjian dengan Prancislah yang dihormati oleh Inggris. Dan sekutu Arab mereka diberikan kekuasaan di Yordania dan Irak.

Bangsa Arab yang dikhianati sempat memberikan perlawanan di Suriah. Tapi mereka dipukul mundur oleh tentara Prancis yang datang untuk mengambil alih kekuasaan.

Kini, dunia hanya bisa membayangkan alternatif dari perbatasan yang membentuk negara-negara di Timur Tengah.

Jika Inggris menghormati perjanjian McMahon dengan Hussein, bukan mustahil kita melihat adanya satu negara Arab yang bersatu. Dan konflik Israel-Palestina mungkin akan menjadi lain cerita.* (Bayu Muhammad)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Kegagalan Bantuan Kemanusiaan di Tengah Krisis Medis

DARFUR – Hari ini menandai 500 hari krisis kemanusiaan terburuk

Palestina: Netanyahu Hambat Gencatan Senjata Israel-Hamas

JAKARTA – Penasihat Khusus Presiden Palestina untuk Hubungan Internasional, Dr