1 year ago
7 mins read

Laksamana Sukardi (3): Kemelut di ‘Kandang Banteng’

Politikus Senior Laksamana Sukardi. (Foto: Totalpolitik.com)

 Akhirnya, Megawati terkenal di PDI dan dicalonkan jadi Ketum?

Nah, akhirnya ada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI pada 1993 di Sukolilo, Surabaya. Kita majukan Mega. Namun, ada banyak intel. Untuk jadi delegasi saja, Mega dilarang. Nggak boleh. Dari Jakarta Selatan itu kita berjuang buat Mega jadi utusan. Kalau jadi utusan, kan ada di dalam kongres. Terpilih secara de facto. Megawati terpilih secara de facto dalam KLB ini. Soerjadi kabur.

Tapi saya juga bingung. Perkenalan saya dengan partai politik itu benar-benar dikendalikan preman-preman yang dikendalikan oleh pemerintah. Dan mereka selalu menciptakan kelompok tandingan yang dikasih umpan juga. Dihidupin gitu lho. Jadi memang sengaja. Kalau nggak suka, ya suruh aja dia berantem. Kayakjangkrik dikilik-kilik.

Jadi Mega gagal jadi Ketum di Surabaya?

Saya duduk sama Mega waktu itu. Kita ketawa aja. Saya bilang, salah tempat nih. Tapi ya, kita belajar. Kan memang tugas saya waktu itu ingin mempelajari demokrasi. Akhirnya, kita sepakat harus ada ada reformasi di politik.

Mbak Megawati melihat saya sebagai bankir. Saya melihat ada pilar-pilar ekonomi sudah mulai rapuh. Perbankan sudah banyak kredit macet. Semua aturan dilanggar. Jadi, saya mulai memerhatikan itu.

Terakhir, Megawati di-munaskan di Kemang, Jakarta Selatan, follow-up dari kongres di Asrama Haji Sukolilo. Di situ yang main ada jenderal-jenderal. Ada AM Hendropriyono dan Agum Gumelar.

Agum juga bermain. Dia yang memfasilitasi. Akhirnya, Mega dipilih secara de facto jadi Ketua PDI. Namun, nggak bisa milih orang untuk jadi pengurus Dewan Pengurus Pusat (DPP).

Dulu ada Wakasospol ABRI yang punya orang. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga punya orang. Badan Intelijen Negara (BIN) juga punya orang. Badan Intelijen Strategis (BAIS) juga ada orangnya. Akhirnya, pelan-pelan saya dijadikan Bendahara Umum. Saya bukan orang yang aneh-aneh, profesional aja. Lalu, ada Alex Litaay yang jadi Sekjen. Tiga orang di pimpinan PDI.

Lantas apa yang dilakukan Bu Mega saat tak bisa menentukan pengurus DPP?

Setelah itu, Mega harus bernegosiasi dengan aparatur pemerintah. Jadi, ada aparatur pemerintah masuk ini, masuk itu. Dimasukin semuanya. Setelah itu, ya nggak apa-apa. Langsung dilantik. Kita bertemu Pak Harto di Bina Graha. Kelihatan Beliau nggak suka. Saya melihat dengan mata sendiri.

Saya pikir, kalau nggak disukain gini, kita mesti hati-hati. Nah, benar juga. Pas kita baru rapat DPP berapa kali, mulai itu (intervensi). Mereka bahkan nuntut, ‘Mbak Mega harus diganti karena tidak menjalankan mandat kongres.’

Begitu terus. Saya melihat semua mulai ribut. Masing-masing telepon ke bos masing-masing. Ada yang ke Mendagri, ada yang ke Kasospol, ada yang ke BAIS.

Akhirnya, kita voting. Hasilnya, 15:16. Tipis banget. Dikongresin lagi, KLB. Makanya saya lihat muka Pak Harto nggak suka, setelah itu mereka biasa lapor ke pemerintah. Kepemimpinan Megawati tidak diakui.

Bagaimana dengan kemunculan Pro-Meg?

Promeg itu muncul tahun 1997. Kan ada pemilu lagi. Budi Hardjono sudah diangkat jadi Ketua Umum, orang pemerintah. Saya sendiri ikut Pro-Meg. Kita pertahankan itu kantor di Diponegoro. Kita nggak mau kasih dia. Mulailah kita bikin pidato politik. Kita konsolidasi. Kritik politiknya mulai dinamis di situ, sampai diserbu orang.

Pada Pemilu 1997, PDI ikut?

Kita tidak ikut, kan bukan kelompoknya pemerintah. Bukan PDI pemerintah. Saya masih ingat itu. Saya bikin pidato penolakan pemilu bersama Eros Djarot dan Mega sampai malam. Setelah selesai, saya kumpulkan wartawan asing. Koneksi saya kan wartawan asing, dubes-dubes. Pada datang mereka. Kita akan memberikan pidato penolakan pemilu, hasil pemilu. Soeharto marah banget itu.

Itu sudah sore, jam enam. Mbak Mega pulang duluan. Saya finalkan pidatonya sama Eros. Selesai, saya bawa sore-sore. Saya udah ngundang itu wartawan asing, wartawan lokal. Pas saya ke Kebagusan, sudah penuh orang. Saya masuk bawa pidato. Mbak Mega nangis.

Dimaki-makilah kita sama Taufiq Kiemas. ‘Jangan kau lakukan ini nanti kita bisa dibunuh. Jadi janganlah,’ katanya. Semua (kata-kata) binatang (keluar). Takut Pak Taufiq. Makanya nggak pernah diajak Mega kalau ada pertemuan.

Saya bilang, ‘Udah Mbak, pokoknya pidato. Orang sudah banyak. Cuci muka, jangan kelihatan habis nangis.’

‘Kalau Mama teruskan, saya keluar dari rumah ini,’ ujar Taufiq.

Saya bilang ke Panda (Panda Nababan), ‘Panda, Elu temenin itu (Taufiq).’ Di organisasi saya lebih senior dari Panda, walaupun saya lebih muda.

‘Ayo, pidato. Bacain!’ kata saya. Kalau nggak, ngapain berjuang mau mati di tengah jalan? Makanya saya bilang, Mega itu saya dukung karena dia bulldozer, berani. Maju terus, nggak pernah ngerem begitu. Kalau dia ngerem, balik kanan, kan saya susah. Setelah itu, kantor kita diserbu. Kita rapat nggak punya kantor. Rapat gelap di rumah saya, di mana-mana.

Jadi Bu Mega sering ke sini waktu itu?

Sering di rumah saya. Karena ini dulu sentral. Dulu Mega kalau transit ke sini, tidur di sini. Ngobrol sama Gus Dur. Gus Dur juga kalau makan berdua dengan Mega. Saya yang bacain apa-apa. Mbak Mega nggak pernah baca, Gus Dur nggak bisa baca. Saya kenal baik dengan Gus Dur dan Mega.

Setelah itu, kita kongres 1998 di Bali. PDI Pro-Meg, sebelum Pemilu 1999. Saya ketua kongres. Kita bikin DPP-nya. Kita masih menemani Mega, bersama Theo Syafei, dan Gus Im (KH Hasyim Wahid) adiknya Gus Dur. Pak Taufiq nggak ikut, dia di luar. Nggak pernah diajak sama Ibu Mega. Selalu bocor nanti, kan. Setelah itu, diumumkan (PDI-P).

Kita bisa ikut pemilu, nggak? Takutnya nggak boleh ikut. PDI kan ada dua kepengurusan. Jadi, kita putuskan memberikan hak prerogatif kepada ketua umum. Untuk mengubah nama partai, logo partai, pengurus partai, tanpa kongres lagi. Biar cepat.

Sekarang hak prerogatifnya berkelanjutan dan salah digunakan. Saking punya hak prerogatif, sekarang dia milih capres, milih semuanya. Nggak usah ada kongres, Elu atur aja. Nggak ada yang berani ngomong.

Tak bisa bisa ubah AD/ART, Pak?

Harusnya bisa. Jadi, pasti dimanfaatkan. Singkat cerita kita menang. Di Jakarta juga luar biasa. Dulu itu benar-benar luar biasa. Zamannya Gus Dur ramai lagi. Kalau zamannya Gus Dur kan saya Menteri BUMN.* (bersambung)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

PDIP dan Tantangan Mencari Calon Presiden 2029

JAKARTA – Pengamat Politik, Muhammad Qodari, menilai PDIP harus memiliki

Zulfan Lindan: Ahmad Basarah Tepat Gantikan Hasto

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menilai Ahmad Basarah sebagai
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88