1 year ago
7 mins read

Laksamana Sukardi (3): Kemelut di ‘Kandang Banteng’

Politikus Senior Laksamana Sukardi. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Pada awal kemunculan PDI-P di era reformasi hingga memenangkan Pemilu 1999, ada tiga nama yang senantiasa mendominasi pemberitaan media massa kala itu.

 Mereka adalah Megawati Soekarnoputri selaku Ketum PDI-P, Alexander Litaay—biasa disebut Alex Litaay—sang Sekjen, dan Laksamana Sukardi selaku Bendahara Umum.

 Tiga tokoh ini tentu saja didukung oleh sejumlah tokoh besar lain di lingkaran elite PDI-P. Ada Eros Djarot, Kwik Kian Gie, Panda Nababan, dan tentu saja Taufik Kiemas—suami Megawati, serta sejumlah nama lain.

“Suatu ketika saya diundang ke pelantikan Pengurus PDI—PDI lama sebelum jadi PDI-P—di Cimahi. Saya datang. Saya ketemu Mega (Megawati Soekarnoputri) di Cimahi. Dia masih culun, rambutnya masih dikepang,” kenang Laks tentang pertemuan pertamanya dengan sang putri Proklamator itu.

Laks kembali melanjutkan obrolannya dengan Totalpolitik.com. Kali ini tentang kiprahnya di PDI-P.

Bisa ceritakan tentang latar belakang pendidikan Anda?

Saya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada waktu itu saya lihat Indonesia tahun 1975-an tengah melakukan pembangunan fisik. Seperti pembangunan jembatan dan infrastruktur. Itu memerlukan insinyur sipil. Hampir setiap hari iklan di koran, dicari insinyur sipil. Makanya saya masuk teknik sipil.

Dan di situ (ITB) juga memang tempat Bung Karno menimba ilmu. Saya masih duduk di kursi dan meja Bung Karno, di ruang kuliah yang tua. Ada kebanggaan sendirilah. Terus terang, saya belum lulus, tapi sudah diminta kerja. Tidak pakai ngelamar. Saya nggak pernah ngelamar kerja. Kemudian saya jadi konsultan. Menghitung proyek-proyek besar. Complicated-lah, kompleks.

Jadi Anda lulus tahun berapa?

Saya lulus tahun 1979. Jadi saya juga nggak susah nyari pekerjaan. Dosen-dosen yang menguji ada Profesor Sahari Besari, iparnya BJ Habibie. Punya proyek di PT PAL. Cukup komplekslah dalam ilmu sipilnya. Setelah setahun terjadi krisis, pada 1980-an itu ada krisis minyak pertama. Pertamina.

Jadi proyek-proyek besar dijadwal ulang. Saya tidak tertantang lagi. Karena saya hanya mengukur bangunan lima tingkat, pondasi, pembesian, dan segala macamnya. Saya sudah tahu, nggak usah dihitung lagi. Tinggal lihat tanahnya saja.

Jadi ngapain dong kalau begini terus. Saya kan masih dinamis ya, masih muda. Terus saya mulai berpikir. Lho, yang menentukan proyek ini ditunda atau diteruskan bukan insinyur, tapi ekonom. Orang keuangan.

Gua jadi insinyur jadi tukang aja. Waktu itu saya harus belajar ekonomi dan keuangan. Tadinya saya sudah mau sekolah ke Amerika ambil keuangan, tapi saya diterima di Citibank. Di bagian executive development program.

Dan saya lihat yang diterima itu sudah bergelar Master of Business Administration (MBA) dari Amerika semua. Saya yang satu-satunya dari ITB. Daripada gua belajar lagi, langsung (kerja) aja kan. Singkat cerita, saya nggak ngerti apa-apa. Tapi kan ada satu tahun program eksekutif itu. Saya sebelum umur 30 sudah jadi Vice President di Citibank.

Saya pikir Citibank kan perusahaan Amerika, ada biasnya juga. Yang diutamakan orang Amerika. Jadi, karier saya sudah mentok. Ibaratnya, kalau kita mau pindah itu prinsip papan lentur. Dalam olahraga lompat indah, ada papan lentur.

Jadi, kalau karier kita sudah sampai ujung papan, kita harus lompat. Supaya dapat spring effect­ yang tinggi. Kalau kita diam terus, makin tua, kan jatuh nantinya. Makanya, bukan saya nggakloyal di Citibank. Saya sudah mentok.

Kemudian saya masuk Lippo Bank pada 1987. Di Lippo Bank itu sebenarnya bukan Lippo Bank, tapi Bank Berniaga. Ada tiga bank punya Lippo. Saya ditugaskan untuk melakukan merger lalu initial public offering(IPO). Pertama kali Lippo Bank IPO.

Saya di situ (Lippo) jadi managing director. Pada 1888-1990 itu ada ‘gebrakan Sumarlin’. Ingat nggak? Inflasi kita agak tinggi. Semua dana ditarik ke Bank Indonesia, dengan memberikan sertifikat Bank Indonesia (BI). Bunganya tinggi banget. Jadi, orang kan beli itu. Nggak taruh di bank lagi.

Istilahnya ‘kontraksi’. Suku bunga tinggi banget, sekitar 30 persenan. Nggak mungkin kita memberikan pinjaman dengan suku bunga tinggi. Praktis perbankan berhenti memberikan kredit. Memang itu yang dimau Sumarlin supaya ekonomi tidak overheated.

Saya lihat, akhirnya bukan ekonom dan keuangan yang menentukan, tapi politik. Benar, kan? Sekarang ada politik anggaran, dan politik lain-lain. Semua di situ. Saya pikir, waduh saya mesti masuk politik. Saya mulai punya interest, lantas belajar. Saya merasa selalu nggak bisa apa-apa. Tapi justru itu yang membuat kita mau belajar.

Lantas bagaimana awal mula Pak Laks terlibat di PDI-P?

Saya lihat dan perhatikan, ada tiga sistem partai, Golkar, PDI, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nggak mungkin saya masuk Golkar. Antreannya sudah panjang, dan mereka pemerintah lagi. Masuk PPP, saya bukan kiai, bukan ustads. Makanya, saya ngobrol sama Soerjadi (Ketua PDI).

Wah, dia senang banget. Ada Pak Nico Harjanto, Sekjen PDI juga. Okelah, saya lihat-lihat. Akhirnya, saya diundang ke pelantikan Pengurus PDI di Cimahi. Saya datang. Saya ketemu Mega di situ. Dia masih culun, rambutnya masih dikepang. Ada Guruh (Guruh Soekarnoputra) juga.

Kemudian saya kumpul bareng Mega, juga Sophan Sophiaan, dan banyak lagi. Ada Kwik Kian Gie. Kita membuat kaukus sendiri. Kita nggak mau diatur. Kalau diatur oleh penguasa, buat apa ada demokrasi?

Akhirnya, mulai ada kongres. PDI bikin kongres. Mega yang ingin kita majukan. Karena Mega kan anak Bung Karno. Itu aja. Karena Pak Harto kan simbol, simbol pembangunan. Bung Karno simbol kemerdekaan. Orang Jawa kan (suka) simbol lawan simbol.

Kalau saya anak wartawan, ya gimana? Hilang juga nggak ada yang nyariin. Jadi gitu, simbol harus dilawan dengan simbol. Dan Soerjadi juga pintar. Kadang-kadang Mega dibawa kampanye, supaya ada anak Bung Karno. Ramai kan, ngelihat Mega dan Guruh gitu lho. Inspirasional. Emosi masyarakat itu, kalau ada yang bisa ngelawan establishment, akan didukung.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

PDIP dan Tantangan Mencari Calon Presiden 2029

JAKARTA – Pengamat Politik, Muhammad Qodari, menilai PDIP harus memiliki

Zulfan Lindan: Ahmad Basarah Tepat Gantikan Hasto

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menilai Ahmad Basarah sebagai
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88