6 months ago
3 mins read

Sukarno ‘Kubur’ Partai Politik

Presiden Soekarno didampingi Wapres Moh Hatta melakukan jumpa pers sebagai Pemerintah RI yang pertama di Pengangsaan Timur 56, Jakarta, 4 September 1945. (Foto: ANTARA-IPPHOS)

JAKARTA – Sukarno tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Jatuh-bangunnya kabinet pemerintahan masa demokrasi liberal sudah menjadikan politik tidak stabil. Di hadapan perwakilan-perwakilan pemuda, ia meluapkan amarahnya.

Pada 28 Oktober 1956, pria yang disapa banyak orang Bung Besar itu menyerukan agar rakyat bersama-sama ‘mengubur’ partai-partai politik.

Sukarno mengatakan pembentukan partai-partai politik setelah Indonesia merdeka merupakan kesalahan. Dan rakyat harus membayar mahal kesalahan itu kini.

Ia bermimpi agar pemimpin-pemimpin partai politik berkumpul satu sama lain untuk memutuskan pembubarannya. “Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!” tegasnya.

Waktu itu, kedongkolan Sukarno terhadap partai-partai politik sepertinya sudah memuncak. Tak heran, demokrasi liberal yang dilaksanakan sejak 1950-an belum juga memiliki dampak positif terhadap pembangunan kehidupan bangsa dan negara.

Pasalnya, pergantian kabinet terjadi terlalu sering dan cepat. Sejak 1950, Indonesia sudah menyaksikan pergantian kabinet sebanyak tujuh kali.

Rakyat sudah menyaksikan naik-turunnya Kabinet Natsir (1950-1951), Kabinet Sukiman (1951-1952). Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (1955- 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan akhirnya Kabinet Djuanda (1957-1959). Selama itu, kabinet berganti hampir setahun sekali.

Fenomena gonta-ganti kabinet itu mengakibatkan ketidakstabilan politik. Pada gilirannya ketidakstabilan tersebut mengakibatkan upaya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia terbengkalai. Hal itu membuat rakyat tidak puas.

Mohammad Hatta—yang nantinya berpisah jalan dengan Sukarno—turut mengkritisinya dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Kita.

“Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran yang dicita-citakan masih jauh saja,” ungkap Hatta.

Hatta menilai semua itu diakibatkan ketidakondusifan situasi politik yang terjadi. “Pembangunan demokrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa,” sambungnya.

Penilaian tersebut juga dimiliki Sukarno. Ia memandang percekcokan antar partai-partai politik sebagai biang dari ketidakbecusan kabinet menjalankan tugas-tugasnya.

Joel Rocamora dalam “The Destruction of the Indonesian Political Party System – The PNI During the Early Years of Guided Democracy” mencatat alam pikiran Sukarno mengenai partai politik itu secara detail.

Sejak 1956-an, Sukarno menyerang partai-partai politik dengan tuduhan telah bersikap oportunis. Bahkan, Sukarno menuding mereka telah meninggalkan jalur revolusi nasional yang sudah berlangsung sejak 1945.

“Partai-partai, menurutnya berada di tengah jalan menghalangi kemunculan pergerakan nasional bersatu yang didasarkan kepada mobilisasi massa dan ideologi nasionalis radikal,” tulis Joel.

Dua hari setelah pidatonya ‘mengubur’ partai politik, Sukarno membicarakan lembaga politik yang akan menggantikannya.

Sukarno mengaku akan menyerahkan bentuknya untuk dibahas oleh pemimpin-pemimpin partai politik yang ia kesali. Tapi, ia juga mengungkapkan telah memiliki sebuah ‘konsepsi’ mengenai lembaga politik seperti apa yang akan datang di kemudian hari. “Saya memiliki konsepsi saya sendiri,” kata Sukarno.

Pada 21 Februari 1957, Sukarno menyampaikan penjelasan mengenai konsepsi yang telah ia singgung sebelumnya.

Menurutnya, demokrasi parlementer ala Barat yang coba diterapkan selama ini tidak cocok dengan jati diri bangsa Indonesia. Sehingga, harus diganti dengan suatu Demokrasi Terpimpin.

Selanjutnya, sistem yang nantinya dibentuk akan dijalankan oleh Kabinet Gotong-Royong. Anggotanya meliputi semua partai politik. Dan organisasi-organisasi yang kehadirannya signifikan di masyarakat.

Kemudian, suatu Dewan Nasional akan dibentuk untuk memberikan nasihat kepada kabinet. Badan tersebut akan diisi oleh golongan-golongan fungsional di masyarakat.

Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Roeslan Abdulgani menjelaskan siapa-siapa saja yang dimaksud golongan fungsional oleh Sukarno. Abdulgani menyebut golongan tersebut terdiri dari beberapa kelompok, termasuk serikat pekerja, cendekiawan, para pemimpin agama-agama besar di Indonesia, jurnalis, dan organisasi-organisasi perempuan.

Dengan membentuk dan memberikan peran golongan-golongan fungsional di pemerintahan—melalui Dewan Nasional dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya—Sukarno berharap dapat mencegah perpecahan ideologis yang juga mengakibatkan pertikaian antar partai politik.

Kepada komunitas internasional di tulisan berjudul “Indonesia’s National Council: The First Year”, Abdulgani menerangkan lembaga itu bebas dari tekanan partai politik, dan berkonsultasi secara bebas bersama dengan presiden.

Jika berhasil dilaksanakan, Indonesia dipercayai dapat bebas dari ego individual masing-masing partai politik yang selama ini memandekkan perkembangan kehidupan politik dan ekonomi masyarakat. Selagi memperluas perwakilan politik bagi golongan-golongan fungsional yang kepentingannya tidak bisa diperjuangkan partai politik secara optimal.

Selama keberadaannya, Dewan Nasional telah memberikan banyak nasihat mengenai beragam isu kepada pemerintah, termasuk mengenai pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

Pembentukan badan tersebut merupakan langkah pertama Sukarno dalam mewujudkan Demokrasi Terpimpin. Ia tidak akan berhenti di situ. Masih ada bagian dari ‘konsepsi-nya’ untuk membebaskan Indonesia dari ‘penyakit partai’. Dan mencapai pembangunan kehidupan nasional yang mendatangkan kepuasaan kepada rakyat.

Beberapa tahun setelahnya, Sukarno akan membubarkan parlemen dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR). Di dalamnya, terdapat anggota-anggota perwakilan golongan fungsional dan angkatan bersenjata, selain para perwakilan yang tentu saja datang dari partai-partai politik.

Demikian, tuntas sudah usaha Sukarno ‘mengubur’ partai-partai dengan Demokrasi Terpimpin. Ia menundukkan partai-partai politik dengan konsepsinya. Sementara waktu, ia berhasil memperkuat posisinya dengan menyatukan kekuatan-kekuatan politik di Indonesia.

Sebuah pencapaian yang akan ia nikmati, dengan kemampuannya menyetir arah kehidupan bangsa, hingga akhirnya digulingkan oleh militer setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI).* (Bayu Muhammad)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Penjelasan Sukarno tentang Peristiwa Gerakan 30 September

JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan kejadian yang

Bung Karno dan Rehabiitasi Sejarah

JAKARTA – Peristiwa krusial Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pada