Sebagian dari mereka akhirnya melakukan perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah sipil. Tentara dikirim untuk mengatasi gangguan-gangguan terhadap keamanan republik itu.
“Di daerah-daerah yang belum aman, gerakan gerombolan makin menjadi. Semuanya itu harus dihadapi tentara,” tulis Hatta.
Akhirnya, tanggung jawab militer jadi semakin besar. Dan mereka meminta peran yang lebih dalam menjalankan roda pemerintahan.
“Kalau mereka yang harus bertanggung jawab dalam berbagai bidang keamanan dan keselamatan umum, maka menurut pendapat mereka, sudah selayaknya mereka ikut serta dalam pemerintahan negara,” ujar Hatta.
Ada dua hal yang harus diperhatikan di sini. Pertama, ketidakbecusan pemerintah sipil di Jakarta dalam melaksanakan tugasnya menghadirkan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya di daerah.
Kedua, perasaan militer yang semakin tidak sabar melihat jalannya pemerintahan sipil yang tidak efisien. Apalagi, dampak ketidakbecusan itu adalah munculnya pemberontakan-pemberontakan yang mengancam keberadaan republik, seperti pemberontakan PRRI/Permesta pada 1958.
Mungkin saja, dinamika yang sama sedang bermain di balik munculnya wacana membentuk 22 Kodam di seluruh Indonesia baru-baru ini.
Tidak bisa dinafikan, laju pembangunan memang terhambat di beberapa daerah. Hingga kini, masih terdengar keluhan masyarakat di luar pulau Jawa mengenai buruknya kualitas infrastruktur di daerah masing-masing.
Misalnya, publik se-Indonesia digegerkan tahun lalu oleh berita tentang buruknya kondisi jalan raya di Lampung. Butuh Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan untuk mengatasi permasalahan itu.
Jika kondisinya memang seperti apa yang diucapkan oleh Jenderal Maruli, yaitu TNI bertujuan membangun Kodam-Kodam baru untuk melayani masyarakat, mungkin mereka sedang merasakan hal yang sama dengan pendahulu-pendahulunya waktu zaman pemerintahan Sukarno.
Rakyat yang dikunjungi bisa saja mengeluarkan suara hati terdalam mereka waktu meminta pembangunan Kodam di wilayah mereka. Terlebih, mereka lebih percaya kepada TNI daripada pemerintahan sipil.
Survei Indikator yang dirilis Januari lalu menunjukkan kepercayaan publik terhadap TNI sebesar 89,3 persen. Sementara itu, lembaga presiden berada di bawahnya, dengan angka 86,7 persen.
Betul, TNI harus memikirkan betul-betul wacana pembangunan Kodam ini. Apalagi, terdapat kekhawatiran dari elemen publik kehadiran Kodam-Kodam itu berpotensi melanggengkan kekuasaan militer atas sipil, dan mengancam demokrasi seperti yang disampaikan oleh Imparsial.
Namun, pemerintah sipil dan pendukungnya juga harus merefleksikan diri. Seputar mengapa TNI bisa mendapatkan kepercayaan sebesar itu dari publik – alih-alih mereka – sehingga bisa meningkatkan kehadirannya di tengah masyarakat.
Seperti yang ditunjukkan Hatta, mencegah dominasi militer di Indonesia tidak semudah melarang mereka untuk tidak ikut campur terlalu banyak dalam urusan-urusan sipil. Dan menempatkan mereka dalam pengawasan dan kendali sipil.
Pada saat yang bersamaan, pemerintahan sipil juga harus meningkatkan keberadaan dan kinerjanya di tengah masyarakat. Hingga menyisakan sedikit ruang bagi mereka untuk memandang militer sebagai alternatif dalam upaya mengatasi persoalan-persoalan sipil.
Itu juga penting untuk dilakukan agar militer tidak terpancing, oleh karena keresahannya melihat buruknya kondisi masyarakat untuk terlibat terlalu jauh membenahi urusan sipil.*