JAKARTA – Tentara Nasional Indonesia (TNI) ingin menambah 22 Komando Daerah Militer (Kodam) baru dalam waktu dekat. Bertambah dari 15 Kodam yang sudah ada membentang dari Aceh, dengan Kodam Iskandar Muda sampai Papua, dengan XVII/Cendrawasihnya.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak beralasan, pihaknya ingin mengimbangi struktur Kepolisian Daerah (Polda) yang ada di setiap provinsi. Memang, keberadaan Kodam sekarang belum dibagi-bagi berdasarkan provinsi.
Seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau, daerah-daerah itu masuk ke dalam wilayah Kodam I/Bukit Barisan. Di saat yang sama, empat provinsi itu memiliki Poldanya masing-masing.
Jenderal Maruli juga beralasan, wacana penambahan Kodam berasal dari rakyat. “Kalau saya kunjungan ke daerah, mereka pada minta ya,” ungkap Maruli Februari lalu.
Bahkan, Maruli mengatakan warga setempat bersedia menyiapkan lahannya. “Bapak tolong buatkan di sini Kodim, Batalion, Koramil, dan sebagainya.”
Maruli membeberkan fungsi Kodam-Kodam yang baru untuk membantu masyarakat. Lagi-lagi sesuai dengan keinginan warga setempat.
“Pak, tolong bantu dibuatkan Posramil supaya kami bisa untuk membantu mendamaikan masyarakat, membantu pembangunan, membangun penanganan stunting dan sebagainya,” tutur Maruli menirukan ucapan-ucapan warga setempat.
Wacana tersebut sudah mendatangkan reaksi. Lembaga Imparsial meminta agar TNI menghentikan rencana untuk meratakan kehadiran Kodam di setiap provinsi Indonesia.
“Imparsial menilai, penambahan 22 Kodam baru sehingga nantinya ada untuk setiap provinsi, sesungguhnya lebih menyiratkan adanya sebuah kehendak untuk melanggengkan politik dan pengaruh militer,” jelas Imparsial pada akhir Februari lalu.
Sebetulnya, kekhawatiran militer mencampuri urusan-urusan sipil sudah ada sejak lama di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum zaman Orde Baru. Permasalahan ini sudah menjadi beban pikiran tokoh-tokoh era Orde Lama, ketika Indonesia masih dipimpin Presiden Sukarno.
Salah satunya adalah Mohammad Hatta yang pernah jadi wakil Sukarno. Hatta (1960) mengingat momen-momen tentara meminta Sukarno untuk membubarkan Demokrasi Parlementer dan menegakkan kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal itu dituliskannya dalam buku Demokrasi Kita yang isinya mengkritik pemerintahan Sukarno di masa-masa akhir kekuasaannya. “Dari kanan dan kiri Presiden didesak agar mengambil tindakan tegas untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,” tulis Hatta.
Namun, Hatta tidak hanya menyuarakan kekhawatirannya. Ia juga menganalisis sebab-sebab tentara bisa menjadi sekuat itu untuk memengaruhi dinamika perpolitikan sipil pada era kekuasaan Bung Besar.
Hatta melacak akar permasalahannya kepada ketidakmampuan pemerintahan sipil sendiri untuk mengatasi urusan-urusannya sendiri.
Masalah itu diawali dengan jatuh-bangunnya kabinet Demokrasi Parlementer. Hal itu mengakibatkan ketidakstabilan politik dan pembangunan. Tidak ada pemerintah sipil yang berdiri cukup lama untuk bisa melaksanakan agenda-agenda pembangunannya di daerah.
“Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak di mana-mana. Seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya erosi, dan lain-lain,” kata Hatta.