1 year ago
2 mins read

Menang Pemilu 1955, PNI Dituding Main Curang

Poster dan baliho parpol peserta pemilu 1955. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 baru saja berakhir. Kini, Indonesia memiliki pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang akan melanjutkan pemerintahan sebelumnya. Tidak hanya itu, masyarakat juga mendapatkan susunan DPR yang baru.

Lazimnya akhir sebuah kompetisi pada umumnya, hasil pemilu ini disambut dengan gembira maupun tidak oleh para partisipan. Mereka yang menang segera melakukan selebrasi. Sementara itu, mereka yang kalah mengecam hasil yang ada.

Mereka yang kalah dan merasa dirugikan mencari alasan di balik kekalahan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang beropini kalau pihak yang menang telah melakukan kecurangan.

Hal itu juga dilakukan oleh salah satu kontestan yang kalah dalam pemilu kali ini. Pihak yang dimaksud mengatakan kalau mereka menemukan begitu banyak ‘ketidaknormalan’ atau ‘kekurangan’dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Menariknya, hal yang sama bukan sesuatu yang baru bagi Indonesia. Keadaan ini pernah terjadi pada 1955, ketika republik ini menyelesaikan pemilu perdananya.

Pemilu 1955 yang memilih anggota-anggota DPR dan Dewan Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru adalah perhelatan yang hasilnya cukup kompetitif.

Kubu nasionalis dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 22,32 persen suara. Mereka disusul oleh Masyumi dari kubu agamis yang memperoleh 20,92 persen suara. PNI dan Masyumi masing-masing mendapatkan 57 kursi di DPR.

Sementara itu, kubu agamis lainnya yang diwakili oleh Partai Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan 18,41 persen suara. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sejarahnya kontroversial itu meraih 16,36 persen suara.

Partai-partai yang terdaftar resmi di Indonesia pada tahun 1954. (Foto: Wikipedia)

Berdasarkan suara itu PNI jelas digdaya. Dan sekilas tidak ada yang salah kalau masyarakat beranggapan bahwa PNI-lah yang lebih dipercayai untuk mendapatkan suara mereka.

Namun, sarjana asal Amerika Serikat (AS), Boyd R Compton, yang sedang tinggal di Indonesia pada saat itu, melaporkan respons lain dari pihak-pihak yang kalah. Hal itu direkam dalam surat-suratnya yang dikumpulkan oleh penulis Hamid Basyaib menjadi buku dengan judul Kemelut Demokrasi Liberal.

Menulis dari suatu kota kecil di Jawa Timur, Mojokerto, Compton mengungkapkan jika beberapa pihak menyatakan PNI—sebagai partai pemenang suara tertinggi—memanfaatkan kedudukannya di pemerintah untuk memenangkan Pemilu 1955.

Dalam surat Compton, PNI dituding, “… memanfaatkan kedudukannya di pemerintah dari 1953 sampai 1955 untuk menggiring para pejabat ke dalam Partai. Terutama para gubernur, residen, bupati, dan camat…”

Melalui jabatan-jabatan itulah PNI diduga melakukan kerja sama politik dengan kepala-kepala desa di berbagai daerah. Tudingan ini seperti dibenarkan ketika PNI dalam kampanye mengandalkan dukungan pengawas-pengawas negeri yang menjadi anggotanya saat itu.

Hasil Pemilu 1955.

Bahkan, lawan-lawan PNI menyebarkan isu kalau menteri penerangan waktu itu mempropagandakan pemilu sampai ke desa-desa yang terpencil. Senada dengan tuduhan yang muncul kali ini, bahwa pihak yang menang menggunakan alat-alat negara untuk mencapai kemenangan.

Compton sendiri menilai kalau pandangan seperti itu dangkal. Walau begitu, kabar ini tetap beredar di kalangan pihak-pihak yang kalah dalam Pemilu 1955.

Alih-alih memanfaatkan instrumen-instrumen negara dengan sengaja, Compton melihat kedekatan warga dengan kader-kader PNI di wilayah masing-masinglah yang jadi senjata pamungkas partai itu mendapatkan banyak suara.

“Mayoritas besar para pejabat tinggi dalam hierarki eksekutif adalah bekas kaum bangsawan Jawa (priyayi). Dan sejumlah besar pejabat lebih rendah direkrut dari pinggiran kelas ini,” tulis Compton.

Priyayi-priyayi ini dalam sejarahnya memiliki hubungan yang dekat dengan masyarakat, terutama di Jawa. Dan masyarakat pun melihat pengaruh mereka di sekitarnya.

Kini, bisa dinilai kalau aksi melontarkan tudingan pemanfaatan instrumen-instrumen kekuasaan kepada pihak yang menang telah menjadi fitur dalam perpolitikan Indonesia.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Mengisi Waktu Senggang di Tengah Perjuangan

JAKARTA – Dalam sejarahnya, pergerakan nasional di Indonesia lekat hubungannya

Sukarno Pertentangkan Negara dan Agama di Amuntai

JAKARTA – Pada 27 Januari 1953, Presiden Sukarno berkesempatan menjelaskan
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88