JAKARTA – Keberadaan UUD NRI 1945 yang lahir bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara (nation-state) pada Agustus 1945, tidak hanya berstatus sebagai teks konstitusi saja, tapi juga menjelma sebagai sumber dari segala hukum positif yang berlaku.
Pemerintah sebagai aparatus negara yang menjalankan tata politik dan pemerintahan di segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara wajib menjadikan UUD NRI 1945 sebagai pedoman dalam setiap perumusan kebijakan. Hal ini juga berlaku dalam tata kelola sektor energi nasional yang menjadi bahan bakar sekaligus motor pembangunan nasional.
Adalah Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menjadi kiblat utama dalam ekstraksi dan pemanfaatan sumber daya energi nasional. Pasal ini memberikan mandat bahwa sumber daya energi nasional yang terpendam di dalam perut bumi nusantara harus dikelola oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini secara eksplisit bermakna bahwa rantai ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi nasional tersebut mulai dari produksi, distribusi, serta konsumsi harus diselenggarakan oleh negara untuk memastikan agar menjadi sektor yang berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana digariskan dalam Preambul UUD NRI 1945.
Penggunaan Pasal 33 UUD NRI 1945 dalam tata kelola sektor energi nasional memiliki basis filosofis yang kuat untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara, baik dari tata kelola yang salah yang meminggirkan kepentingan masyarakat maupun dari adanya intervensi asing yang hendak mengeruk sumber daya alam nasional. Daron Acemoglu dan James A.
Robinson dalam karyanya yang berjudul “Why Nations Fail? The Origins of Power, Prosperity, and Poverty”, menjelaskan secara gamblang bahwa kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh sebuah negara, alih-alih membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyatnya, tapi justru dapat menjerumuskan sebuah negara menjadi negara gagal (failed state).
Acemoglu dan Robinson memberikan ilustrasi yang lugas bagaimana Bostwana menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, sementara Zimbabwe, Kongo, dan Sierra Leone terjerumus dalam jurang kemiskinan dan kekerasan yang akut. Padahal, negara-negara Afrika tersebut memiliki akar budaya yang sama, geografis yang sama, demikian juga halnya dengan iklim yang sama. Jawabannya adalah diferensiasi dalam kebijakan dan tata kelola sumber daya alam yang menimbulkan resultante yang berbeda dari sisi kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut, Acemoglu dan Robinson juga menguliti paradoks yang terjadi di antara dua negara serumpun, Korea Utara dan Korea Selatan. Korea Selatan tampil menjadi kekuatan utama dunia (major economic state) karena tata kelola sumber daya yang berbasis insentif, inovasi, dan partisipasi rakyat. Sementara itu, Korea Utara masih berkutat pada diktatorisme dan perilaku tiran pemimpinnya yang memonopoli sumber daya negara.
Khidmat konstitusi
Kemampuan sebuah negara (baca; pemerintah) untuk berkhidmat pada konstitusi dalam tata kelola ekonomi, termasuk energi nasional, sejatinya bukanlah perkara yang mudah. Deng Xiaoping, pemimpin Tiongkok era 1980-an, merumuskan Kebijakan Pintu Terbuka (Open Door Policy) yang membuka kran investasi asing besar-besaran untuk memajukan perekonomian Tiongkok.
Padahal, Tiongkok yang pada saat itu berseteru secara ideologis dengan Amerika Serikat yang memimpin Blok Sekutu merupakan penganut komunisme akut yang berpedoman pada prinsip sentralisasi negara dan menolak campur tangan asing dalam pengelolaan sumber daya. Kemampuan untuk berkhidmat pada konstitusi juga gagal diwujudkan oleh Amerika Serikat yang mengklaim diri sebagai superpower dunia. Amerika Serikat yang liberal dalam hal perdagangan justru memberlakukan kebijakan Buy American Firstketika perekonomian domestiknya tertekan oleh geopolitik global.
Pasal 33 UUD NRI 1945 merupakan mandat konstitusionalisme yang jelas dan tegas. Ia tidak bersifat abu-abu dalam konseptualisasi (baca; narasi), demikian juga seharusnya dalam hal kontekstualisasi. Dalam pasal tersebut terkandung amanah yang berat bahwa pengelolaan sumber daya alam nasional harus diselenggarakan oleh pemerintah dan ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Jika ditafsirkan secara mendetil, pemerintah di sini memainkan peran sebagai subjek, rakyat sebagai objek, dan kesejahteraan sebagai objektifnya. Jika ada yang melenceng dari ketiga hal tersebut, maka dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap mandat konstitusi.
Indonesia saat ini yang berada di bawah rezim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang berpacu dengan target-target pembangunan nasional yang ambisius, di antaranya pertumbuhan ekonomi 8 persen, serta swasembada energi nasional. Untuk merealisasikan target-target tersebut, hal yang paling sederhana dan mendasar adalah memeriksa kembali praksis yang berlangsung hari ini dengan mandat konstitusi dalam Pasal 33 UUD NRI 1945.
Realitas empirik
Jika kita mau bersikap jujur dengan melihat realitas empirik hari ini, tata kelola sektor energi nasional belum berjalan secara optimal pada garis mandat konstitusi. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini bahwa masih ada aktor-aktor ekonomi yang mencari keuntungan besar tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi nasional belum selaras dengan prinsip good and clean governance sesuai mandat konstitusi. Praksis oligarki oleh sekelompok elite ekonomi tidak hanya memelencengkan mandat konstitusi, tapi juga memiskinkan masyarakat dan menggerus daya saing nasional di level regional dan global.
Masyarakat tentu dibuat miris melihat sengkarut korupsi di tubuh Pertamina terkait Pertamax oplosan yang membuat kepercayaan masyarakat hilang. Ibu pertiwi dibuat menangis melihat alam Indonesia dikeruk dengan tidak mengindahkan aspek pemeliharaan lingkungan dan hak adat masyarakat atas nama hilirisasi. Hilirisasi memang diakui dapat mengungkit nilai tambah dan nilai jual komoditas nasional.
Namun di sisi lain, pelaksanaan yang tidak dilakukan secara prudent dengan berpijak pada amanah konstitusi dapat menjadi celah lebar masuknya kepentingan asing yang mengganggu kepentingan nasional. Kisruh tambang nikel di Pulau Gag Papua beberapa waktu lalu merupakan fenomena gunung es dari belum optimalnya tata kelola sektor energi nasional.
Belum optimalnya tata kelola energi nasional berbasis konstitusi bukan saja disebabkan oleh adanya oknum-oknum yang bergerak secara sektoral saja, tapi juga kelemahan pemerintah dalam mengonversi keunggulan komparatif nasional menjadi keunggulan kompetitif yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini tercermin dari pengelolaan mineral kritis dan sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT) yang terkesan masih jalan di tempat. Pembangkit listrik masih digerakkan secara dominan oleh energi fosil. Penggunaan EBT dewasa ini dalam bauran energi nasional masih di bawah 20 persen.
Padahal, Indonesia memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan dalam jumlah yang sangat melimpah yang dapat mengeluarkan kita dari jebakan ketergantungan oleh kekuatan global. Dalam konteks ini, menengok kembali mandat konstitusi dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 menemukan relevansinya.
Komitmen
Indonesia yang saat ini sedang berpacu untuk mencapai target-target ambisius pembangunan nasional harus menengok kembali mandat konstitusi Pasal 33 UUD NRI 1945, menyelami makna filosofisnya, dan menjadikannya dasar dalam arah gerak pengelolaan ke depan.
Pemerintah harus tampil di depan dalam mewujudkan kedaulatan dan kemandirian energi, menjalankan tata kelola yang inovatif berbasis teknologi tinggi dan melibatkan partisipasi masyarakat, semata-mata ditujukan untuk pemenuhan mandat konstitusi, yakni rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Jangan biarkan pengelolaan energi nasional didikte oleh asing.
Jangan biarkan tata kelola energi nasional hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi yang sekedar menguntungkan diri sendiri. Jangan pernah biarkan sumber daya energi nasional hanya menjadi keunggulan komparatif yang tersimpan di perut bumi tanpa pernah menjadi keunggulan kompetitif yang mampu memajukan bangsa dan bangsa.*
Hj. Ratna Juwita Sari, S.E., M.M., Anggota Komisi XII DPR RI Periode 2024-2029.