4 months ago
7 mins read

Beban Duka di Jabaliya

Muhammad (65) warga Jabaliya, Gaza Utara. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

GAZA – Siang itu, sosok lelaki renta nampak termenung di depan sebuah tenda. Lelaki berusia 65 tahun ini mencoba menggerak-gerakkan kepalanya ke arah datangnya suara. Walau kedua matanya terlihat normal, namun ia tak dapat melihat sesuatu.

Dua orang perempuan yang sebaya dengan si kakek tengah membereskan sisa arang dari tungku di depan pintu tenda. Tungku ini hanya berupa kotak besi persegi empat yang tergeletak begitu saja di atas tanah. Kayu bakar yang belum terpakai berserakan di sebelahnya, menunggu datangnya sesuatu yang dapat dimasak.

Tenda berbentuk kotak yang sobek di beberapa bagiannya itu terletak di pinggiran jalan raya Distrik Jabaliya, Gaza Utara, Palestina. Tak ada perabotan istimewa di dalam tenda beralas tanah ini. Tumpukan baju tergeletak begitu saja di atas dipan kayu rusak.

Piring, sendok dan segala macam alat dapur tertata rapi di papan yang tertutup sobekan karung bekas. Di ruang bagian belakang terdapat sebuah kulkas dua pintu. Kulkas sumbangan relawan ini tak berfungsi karena tidak ada aliran listrik. Ia hanya dijadikan tempat penyimpanan makanan dan obat-obatan oleh penghuni tenda.

Di ruang tengah tenda duduk seorang nenek berwajah keriput dengan bekas luka di sebagian besar wajahnya. Dalam balutan kerudung putih bermotif bunga dan abaya warna hitam, si nenek hanya komat-kamit sambil sibuk menghitung butiran tasbih dengan kedua tangannya. Alas duduknya hanyalah ambal kusam yang menutupi tanah.

Nenek ini bernama Fatimah berusia 105 tahun. Ia adalah ibu ketiga orang di depan tenda. Sedangkan Mursyid, suaminya, telah lama syahid ketika melawan Israel. Rumah keluarga Mursyid dulunya sebuah bangunan flat empat lantai.

Namun, kini telah rata dengan tanah, dihajar bom Israel. Dalam tenda kotak itulah keluarga ini menjalani hidup dalam kekurangan. Mereka menjadi pengungsi di kampung halaman sendiri.

Sejak Israel menghancurkan rumah mereka, hingga kini keluarga Mursyid tidak mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah. Memang setelah invasi Israel tahun 2009 lalu, UNRWA (Badan PBB Untuk Pengungsi Palestina) pernah memberikan bantuan uang sebesar US$ 1.500 dan beberapa kilogram bahan makanan.

“Namun kami tidak bisa membangun karena tidak ada material. Uang itu pun habis untuk makan sehari-hari,” tutur Suhaila (55), salah seorang anak Fatimah.

Untuk melanjutkan hidup, mereka hanya mengandalkan uluran tangan dermawan dan bantuan kemanusiaan dari para relawan. Suhaila berharap pemerintah memerhatikan kondisi sebagian besar warga Jabaliya yang masih menderita akibat serangan brutal Israel.

“Kami tahu pemerintah tak punya apa-apa, tapi bantuan kemanusiaan dari luar negeri banyak, itulah yang perlu dibagikan kepada warga yang membutuhkan,” pintanya.

Sebagai warga yang independen (tidak pro Hamas atau Fatah), Suhaila menanggung risiko ini, tidak ada yang mau membantu.

Mewakili keluarganya, Suhaila mengungkapkan beban duka yang mereka tanggung akibat serangan Israel. Kakaknya yang bernama Muhammad, lelaki cacat yang duduk di depan tenda, menjadi sasaran keganasan serdadu Israel. Kakek pincang itu berkali-kali ditendang dan dipukul popor senapan karena tak mau mengungkapkan keberadaan milisi Hamas.

“Bagaimana kakak saya tahu di mana pasukan Hamas, dia saja tak pernah keluar rumah karena pincang sejak lahir. Merasa tak mendapatkan jawaban, tentara Israel kemudian menendang dan memukul Muhammad dengan popor senapan. Rintih kesakitan yang keluar dari mulutnya, justru menambah keberingasan mereka,” kata Suhaila.

Sejak itu pula indra pendengaran Muhammad mulai menurun. Demikian pula dengan penglihatannya, lambat-laun mengabur dan menjadikannya buta total.

“Kelakuan tentara Israel sangat bengis. Mereka tidak hanya menyiksa Muhammad, namun kami yang wanita juga menjadi sasaran keberingasan mereka,” ungkap Suhaila.

“Saya dan Kifayah (kakak perempuannya) ditendang dan dipukul ketika tengah melakukan shalat. Walau demikian, kami bersyukur kepada Allah karena bisa selamat dari bom dan keganasan tentara Israel,” katanya dengan terbata-bata.

Sementara Kifayah hanya mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengamini cerita adiknya.

Selain menghancurkan rumah keluarga Mursyid, serdadu Israel juga membombardir Jabaliya dengan bom fosfor. Fatimah yang kebetulan berada di luar rumah waktu itu menjadi korban.

Sekujur tubuhnya terbakar terkena bom laknat tersebut. Walau sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit asy-Syifa, sisa luka akibat fosfor masih membekas di beberapa bagian tubuh dan wajah Fatimah.

Ketika mengepung Jabaliya Israel melepaskan ribuan pasukannya. Mereka datang dengan pesawat tempur, tank dan anjing pelacak. Pasukan Hamas yang tak seberapa jumlahnya, tak kuasa menahan gempuran Israel yang membabi-buta. Akibatnya, ratusan warga sipil menjadi korban. Di pihak Hamas sendiri, sebanyak 20 orang dikabarkan syahid.

Selain menghancurkan rumah-rumah penduduk, Israel juga menghancurkan masjid dengan melepaskan bom dari pesawat tempur dan tank. Masjid terbesar di Jabaliya bernama Masjid Salam itu pun ambruk menyusur tanah.

Warga kemudian mendirikan tenda darurat sebagai penggantinya. Sebuah tempat sujud di atas tanah yang hanya dilapisi tikar dan ambal bekas. Warga belum bisa membangun kembali masjid mereka, karena ketiadaan dana dan bahan bangunan.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di

Hamas Kirim Delegasi Gencatan Senjata ke Mesir

JAKARTA – Hamas telah mengirimkan perwakilan mereka untuk mendalami kemajuan