4 months ago
5 mins read

Di Gaza Mereka Terdera  

Seorang lelaki tua berjalan di depan reruntuhan puing-puing bangunan di Kota Gaza. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

GAZA – Pagi menjelang siang di pantai Mina, Gaza. Beberapa perahu kecil nelayan nampak menebar jala pada jarak sekitar 2 mil dari tepian.

Beberapa orang memancing persis di bibir pantai. Tak ada yang berlayar terlalu jauh, karena kapal patroli angkatan laut Israel hilir-mudik tiap waktu dan siap menghalau para nelayan Gaza yang mencoba mencari ikan pada jarak 20 mil.

Tak heran jika hasil tangkapan nelayan sangat kurang. Hasil semalaman berlayar tak lebih dari dua ember kecil ikan beraneka jenis. Yang terjadi kemudian, harga ikan laut di Gaza membumbung tinggi, melebihi harga emas.

Harga ikan seember kecil saja mencapai 500 NIS (New Israeli Shekel), setara dengan Rp 1,4 juta. NIS adalah mata uang Israel yang juga digunakan di Palestina. Sebab negara yang terjajah ini belum memiliki mata uang sendiri.

Penduduk Gaza pun jarang mengonsumsi ikan laut, padahal mereka memiliki laut sendiri yang seharusnya dieksplorasi. Patroli angkatan laut Israel menghalangi para nelayan dalam mencari nafkah.

Beberapa perahu motor bahkan hanya bersandar di tepian dermaga, karena tak mau menjadi sasaran tembak tentara Israel di tengah laut. Perahu-perahu motor ini juga kesulitan mendapatkan bahan bakar, hingga pemiliknya lebih memilih mencari usaha lain guna menafkahi keluarga mereka.

Nelayan yang melaut menggunakan perahu layar kecil dan hanya bolak-balik di tepian pantai. “Kehidupan kami kian sulit. Ikan susah didapat karena ayah tak berani berlayar terlalu jauh,” ungkap Abdul, bocah Gaza yang tengah menanti ayahnya di tepi pantai. “Paling ikan yang didapat hanya seember saja.”

Di samping bocah 10 tahun ini tergeletak ember plastik kecil berwarna hitam yang tertutup sandal. Rencananya ia akan mengambil sebagian ikan yang didapat ayahnya untuk diantarkan ke rumah makan langganannya. Namun hingga menjelang siang, sang ayah belum jua menepi.

Jalur Gaza diblokade sejak Hamas memenangi pemilihan umum wilayah itu pada 2007. Sejak itu pula warga kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan pokok maupun obat-obatan.

Serangan brutal Israel di awal 2009 kian menenggelamkan rakyat dalam penderitaan tak terperi. Ribuan nyawa tak berdosa menjadi korban. Ratusan rumah dan bangunan rata dengan tanah. Kehancuran akibat perang menyebabkan Gaza kian terpuruk dalam segala lini kehidupan.

Simak saja yang terjadi pada Izzudin, pemuda pemilik toko komputer di kawasan Omar Mokhtar, Kota Gaza. Ia kesulitan mendapatkan stok barang dagangan seperti monitor, keyboard, hard disk maupun kelengkapan komputer lainnya. Sebagian etalasenya kosong melompong.

“Sudah berbulan-bulan ini saya tidak mendapatkan pasokan barang dari langganan. Apa yang nampak ini adalah sisa-sisa barang yang sudah laku,” ujarnya.

Hal inilah yang membuat tokonya sepi pembeli. Akhirnya ia menyewakan satu-satunya komputer di toko sebagai warnet dadakan. “Lumayan buat pemasukan, daripada tidak ada sama sekali,” lanjut bujangan ini.

Beberapa toko yang terletak di samping milik Izzudin juga mengalami hal yang sama. Kelangkaan stok karena kelangkaan barang. Namun di beberapa tempat seperti di pasar Gaza, kehidupan ekonomi masih bisa dibilang normal.

Kebutuhan sehari-hari warga masih tersedia, terutama makanan, buah-buahan dan sayuran. Sedangkan kebutuhan lain seperti material bangunan susah didapat. Padahal ini adalah kebutuhan mendasar untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang hancur akibat bom Israel.

Terowongan penyambung hidup

Harga barang maupun jasa di Gaza juga sangat mahal. Naik hampir 300% dari harga normal sebelum blokade. Mahalnya harga-harga ini dipicu oleh kelangkaan dan tambahan biaya selundupan lewat terowongan.

Sebab, hampir 90 persen kebutuhan hidup warga Gaza terpenuhi melalui jalur distribusi terowongan-terowongan yang bertebaran di sekitar perbatasan Rafah. “Jangankan henpun (HP), mobil pun kami masukkan lewat terowongan,” kata seorang warga.

Akibat blokade, bisnis terowongan marak di Gaza. Para pemilik lahan di seputar Gaza-Rafah sengaja menggali terowongan di tanah mereka untuk menyuplai barang-barang kebutuhan dari Mesir. Mereka mengutip biaya pengiriman kepada para pemilik barang yang menyewa terowongan mereka.

“Terowongan ini cukup membantu. Walau serba susah, kami masih dapat bernafas. Selain membantu warga di Kota Gaza, kami juga menjadikan usaha ini sebagai penyambung hidup,” kata Kholid, salah seorang pemilik terowongan.

Terowongan di tempat lelaki ini cukup lebar. Diameternya sekitar satu meter dengan kedalaman sekitar 15 meter ke dalam bumi. Panjang terowongan hingga ke wilayah Mesir mencapai satu kilometer, yang dapat ditempuh dalam waktu 45 menit hingga satu jam dengan berjalan sambil membungkuk.

“Saya membutuhkan waktu empat bulan untuk menggali terowongan ini, dengan jumlah pekerja 20 orang,” kata Kholid.

Saya berkesempatan masuk ke dalam terowongan milik Kholid. Beberapa pekerja membantu memasangkan tali pengait ke pinggang kemudian memencet tombol pengerek. Dengan perlahan tubuh masuk ke dalam tanah. Ruap tanah khas padang pasir begitu menyengat hidung. Hawa sejuk begitu terasa begitu kaki menjejak tanah di dasar terowongan.

Di hadapan tampak lubang memanjang dengan bolam-bolam lampu tergantung di bagian atas. Di atas tanah terdapat sebuah plastik panjang dan tebal yang digunakan untuk mengangkut barang-barang yang dikirim dari wilayah Mesir.

Di pinggiran plastik ini terdapat lubang-lubang yang terlilit tali yang digunakan sebagai penahan agar barang tidak terjatuh kala diseret dari ujung terowongan di seberang.

Di ujung plastik satunya terdapat kait besi yang tersambung dengan kawat baja yang melilit sebuah alat penarik berbentuk seperti dinamo. Alat inilah yang mengerek plastik berisi barang-barang “impor” dari Mesir.

Segala macam barang bisa dimasukkan ke terowongan ini selama tinggi dan lebarnya tidak melebihi diameter terowongan. Tiba-tiba muncul seorang lelaki berkulit putih berjenggot lebat dan langsung menyalami saya ketika asyik mengamati salah satu jalur distribusi kebutuhan rakyat Gaza ini.

Ia mengaku bernama Muhammad. “Habis ini kami akan memasukkan sepeda motor dari seberang (Mesir),” ujarnya.

Usai “rekreasi” di bawah tanah, para pekerja di atas berteriak dan memintaku dan Muhammad segera keluar. Sekembali di permukaan tanah, ternyata para pekerja Kholid kian banyak.

Beberapa orang tampak mengganti pakaian dengan baju kerja. Seperti kata Muhammad, mereka punya gawe besar hari itu. Ada banyak kiriman yang harus diambil dari Mesir, termasuk sepeda motor.

Terowongan-terowongan di sekitar perbatasan Gaza-Rafah ini terletak dalam sebuah tenda berbentuk segi empat dengan atap dari terpal tebal. Kadang ada juga terowongan yang terdapat dalam rumah permanen milik warga. Jumlah terowongan mencapai 3.000-an, terletak di kawasan sepanjang 15 kilometer dari pintu perbatasan hingga ke pantai Gaza.

Sayang, ketika saya meminta ditunjukkan terowongan yang biasa digunakan untuk memasukkan mobil, mereka bungkam.

“Wah itu sangat berbahaya. Kami tidak bisa menunjukkan tempatnya. Karena kalau ketahuan pihak Israel, kita bisa dibom,” kata Muhammad yang diamini rekan-rekannya.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di

Hamas Kirim Delegasi Gencatan Senjata ke Mesir

JAKARTA – Hamas telah mengirimkan perwakilan mereka untuk mendalami kemajuan