1 year ago
12 mins read

‘Santa’ dari al-Arish

Pantai Mina Jalur Gaza, Palestina. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

Al-ARISH – Tak sampai setengah jam, mobil kami pun tiba di Pelabuhan al-Arish. Usai turun dari kendaraaan, kami lantas berkumpul sejenak di pinggir jalan dekat trotoar sebelum memasuki pelabuhan.

Abdullah kami pesan untuk tidak menunggu kami. “Nanti kami telepon kamu untuk menjemput jika urusan di sini sudah selesai,” pesanku padanya.

Ia langsung tancap gas kembali ke arah Kota al-Arish tanpa banyak cakap.

Melalui gerbang besi berjeruji, sekilas kami melihat beberapa kapal tampak bersandar di tepi laut di dalam pelabuhan. Udara musim panas di Mesir ini begitu menyengat. Angin kencang yang kadang dirambati butiran pasir yang menyapu wajah kami, kian menambah gerah.

Pintu gerbang pelabuhan ini cukup lebar, dilindungi pagar besi yang menutup akses keluar masuk. Di pojok gerbang sebelah kiri, tampak sebuah pos jaga berukuran sekitar 3 x 3 meter. Tiga orang penjaga berpakaian putih tampak berjaga ketat mengawasi sekeliling.

Aku diminta oleh kawan-kawan jurnalis untuk minta izin masuk. Mereka duduk menunggu di pinggir jalan, di atas trotoar yang terasa hangat. Suhu pagi itu memang cukup beringas membekap jalanan.

Dengan penuh percaya diri, aku melangkah menuju pos jaga. Gerbang pelabuhan memang terbuka sedikit, menyisakan celah hanya untuk keluar masuk orang. Tiga orang yang berjaga di luar pos terlihat menyandang senjata, sementara dua orang lagi duduk-duduk di ruangan yang tampaknya dilengkapi monitor kamera pengawas.

Assalamualaikum wa rahmatullah,” ucapku menguluk salam pada mereka.

Tiga pria dalam balutan uniform dan menenteng senjata membalas secara bersamaan, “Waalaikum salam.”

“Siapa kamu,” lelaki yang bertubuh agak pendek dari dua rekannya langsung menodong dengan nada kurang bersahabat. “Mau apa di sini?”

“Saya dan kawan-kawan di sana,” jawabku sambil menunjuk tiga kawan yang duduk di trotoar, “Adalah jurnalis dari Indonesia.”

“Mau apa kau ke sini, jauh-jauh dari Indonesia?” timpal salah satu lelaki yang lebih tinggi. Sorot matanya yang tajam dan kumis tebal melintang di bawah hidungnya seolah menggerayangi nyaliku. Dua orang yang duduk di dalam pos hanya diam membisu, namun menyiratkan pandangan yang tak ramah.

“Kami dengar ada kapal Libya yang bersandar di sini karena tak bisa masuk Gaza. Makanya kami mohon izin untuk melihat dan meliputnya,” ucapku dengan nada sedikit memelas.

“Tak bisa. Kalian tak bisa masuk tanpa tasrih (semacam surat izin) dari pemerintah Mesir,” kata lelaki berkumis dengan dengan nada makin tinggi.

“Di manakah kami bisa mengurus tasrih itu?”

“Di Kairo!”

Jawaban itu seolah memberangus harapanku. Perjalanan dari Kairo ke al-Arish saja ditempuh lebih dari lima jam. Bolak-balik jadi 10 jam. Mau naik apa kami ke Kairo?

“Tak bisakah Anda memberi kami sedikit kemudahan untuk masuk sebentar saja?” lagi-lagi dengan wajah memelas dan suara serendah mungkin, aku mengajukan pinta.

“Tak bisa. Kamu paham nggak. Kalau tak bisa, ya tak bisa!” kini nadanya sudah naik oktaf menjadi sangat ketus.

“Baik, terima kasih Tuan,” ucapku lantas kembali pada kawan-kawan yang berjarak hanya sepelemparan batu dari gerbang pelabuhan.

Tanpa perlu berucap kata, kawan-kawan seolah paham bahwa kami tak mungkin bisa masuk ke pelabuhan. Terlihat dari roman mukaku yang tak hanya keruh oleh kecewa tapi juga akibat serangan panas dan angin yang bercampur debu.

“Terus selanjutnya bagaimana?” tanya Desi Fitriani, reporter Metro TV. “Apakah kita kembali lagi ke hotel atau bagaimana?”

Anton Saputra, video jurnalis TV One dan Sadudin Mukhlis, kameraman Metro TV, hanya menyumbang tatapan ke arahku, seolah menyerahkan jawabannya padaku pula.

Aku sendiri tak punya jawabannya. Harus kembali ke hotel atau berdiam di tempat itu tanpa berbuat apapun?

Akhirnya, setelah berdiskusi panjang kali lebar, kami putuskan untuk kembali ke hotel. Desi lantas menelepon Abdullah untuk menjemput kami.

Sembari menunggu kedatangan Pak Sopir yang akan datang menjemput. Kami terduduk lunglai di atas trotoar, tanpa seorang pun yang bersuara. Seolah-olah tenggelam dalam lamunan masing-masing yang entah berisi apa.

Dari kejauhan, di jalanan yang lengang dan berdebu, tampak seseorang berjalan pelan menuju pelabuhan. Ia tak mungkin bergerak ke arah lain karena jalan ini hanya menuju satu arah; pelabuhan.

Dengan langkah tenang seolah tak terusik oleh kejamnya cuaca yang memberangus sekitar, lelaki tinggi besar itu makin mendekat ke arah kami. Kumis tebalnya yang melintang dan perutnya yang sedikit buncit, menyuguhkan pemandangan yang cukup menarik di mataku. Rambut hitamnya terlihat sedikit kotor dihinggapi debu. Demikian pula dengan celana dan baju yang membungkus tubuhnya.

Tak dinyana, lelaki tinggi besar itu mendatangi kami. Bukan berjalan lurus ke arah pelabuhan. “Siapa kalian dan mengapa kalian di sini?” semburnya begitu tiba di depan kami yang masih terperangkap galau.

Aku langsung berdiri dan menyapanya dengan salam. Ia membalas ramah. “Kami adalah wartawan dari Indonesia,” ucapku. Kawan-kawan serentak berdiri dan berjejer di sebelahku.

“Dari Indonesia? Mau apa kalian di sini?”

“Begini, Tuan,” balasku. “Kami ke sini mau meliput kapal Libya yang bersandar di pelabuhan di dalam sana. Tapi para penjaga tak mengizinkan kami masuk.”

“Tahu dari mana kamu bahwa di dalam ada kapal Libya?”

“Kami tahu dari berita yang kami lihat di TV, di hotel tempat kami menginap di al-Arish.”

“Kok bisa kalian menginap di al-Arish. Sebenarnya kalian mau kemana?”

“Kami sebenarnya datang bersama rombongan relawan kemanusiaan yang akan memberikan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Namun, sebagian dari kami tak bisa masuk ke Gaza. Akhirnya kami menginap di al-Arish sambil menunggu keluarnya izin masuk Gaza,” tuturku panjang lebar.

Pria ‘raksasa’ ini tampak mengelus kumis bapangnya sembari mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi begitu, ya?”

“Betul, Tuan,” timpalku.

“Ayo ikut aku!” ucapnya sambil mengajak kami berjalan ke arah gerbang pelabuhan. Bak kerbau dicocok hidung, kami manut saja. Berjalan mengikutinya dari belakang.

Ia lantas mendekati pos jaga dan langsung disambut salam hormat oleh petugas yang berjaga. Dari jarak beberapa langkah di belakang, kami melihat lelaki itu berbicara pada mereka dengan cukup serius. Tak hanya yang berdiri di luar pos, bahkan dua orang yang di dalam ruangan pun tampak keluar dan menyimak apa yang disampaikan si lelaki.

Tak berapa lama, ia pun meminta kami mendekati dan menyuruh kami masuk melalui celah gerbang yang terbuka. “Silakan liput sesukamu,” ujarnya ramah. Para penjaga itu, tak satupun yang membuka mulut dan menyemburkan kata-kata.

Kami lantas masuk ke dalam pelabuhan dan langsung menuju lokasi bersandarnya kapal kiriman Qaddafi itu. Sambil menengok ke belakang, kulihat lelaki itu berjalan ke arah gedung perkantoran yang terletak tak jauh dari pos jaga.

Usai bertanya pada beberapa orang yang terdapat di pelabuhan, kami pun akhirnya berhasil menemukan salah satu petinggi di kapal Libya itu. Dia bersedia membagi kisahnya saat diserang kapal perang Israel.

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Duka Cita PP Muhammadiyah atas Kematian Yahya Sinwar

JAKARTA – Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan rasa duka cita

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88