JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memberikan enam poin penting dalam rapat kerja (raker) DPR RI Komisi X dengan Kemendikbudristek RI mengenai polemik UKT kuliah yang muncul belakangan ini, Selasa (21/5/2024).
JPPI mengapresiasi Mendikbudristek RI, Nadiem Makarim, yang memberikan jaminan kebebasan bersuara kepada para mahasiswa. Pasalnya, mereka mengalami upaya-upaya kriminalisasi dan intimidasi dari pihak kampus saat berdemonstrasi menentang kenaikan UKT.
Tapi, Koordinator Nasional (Koornas) JPPI, Ubaid Matraji, meminta agar Nadiem memanggil dan ‘menertibkan’ pimpinan-pimpinan universitas. Hal itu dinilai akan menunjukkan keberpihakan Kemendikbudristek RI kepada para mahasiswa.
“Bukan seperti yang sekarang terjadi, seakan-akan Kemendikbudristek terkesan tak kuasa dalam menertibkan oknum dari para pimpinan kampus yang culas itu,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (22/5/2024).
Selanjutnya, JPPI menyorot kegagalan Kemendikbudristek RI untuk mengabulkan permintaan Komisi X DPR RI agar Permendikbud No 2 tahun 2024 dicabut. Mereka hanya berjanji untuk mengkaji Permendikbud tersebut dan berdalih kalau Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang ditetapkan sudah sesuai dengan kemampuan mahasiswa untuk membayar. Padahal kenyataannya berkebalikan dengan itu.
Nyatanya, SSBOPT yang menjadi produk dan rujukan Kemendikbudristek dijadikan dasar kampus-kampus untuk menaikkan tarifnya.
“Jadi persoalan ini masih ruwet, masing-masing pihak saling lempar bola panas, satu sisi Kemendikbudristek merasa sudah tetapkan pagu yang berkeadilan. Tapi di sisi lain, ketika pagu ini dirujuk oleh kampus dalam menentukan UKT, ternyata mahasiswa menjerit kemahalan,” sambung Ubaid.
UKT tidak inklusif
JPPI memprotes biaya kuliah atau UKT yang dianggap belum berkeadilan dan masih jauh dari prinsip inklusif.
Berkebalikan dengan pernyataan Nadiem bahwa pihaknya sudah mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas, JPPI menemukan para mahasiswa masih berdemonstrasi menuntut UKT yang adil.
“Kalau keributan UKT ini hanya terjadi di salah satu kampus, bisa jadi sudah berkeadilan dan problem-nya hanya kasuistik di satu kampus tersebut,” ujarnya.
“Tapi jika keributan ini terjadi di mana-mana dan di banyak kampus, jelas bahwa yang tidak berkeadilan atau yang bermasalah adalah kebijakan di level pusat atau peraturan Kemendikbudristek yang dirujuk oleh kampus-kampus, yaitu Permendikbudristek No 2 tahun 2024 yang dijadikan dasar kenaikan UKT,” tegas Ubaid.
JPPI menyorot pernyataan Nadiem bahwa kenaikan UKT tidak akan berdampak kepada mahasiswa yang sedang kuliah, tapi kepada para mahasiswa baru. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hanya golongan tertentu saja yang akan terdampak kenaikan UKT.
Padahal, masalah kenaikan UKT sudah terjadi sejak lama. Dan berdampak kepada para mahasiswa jauh sebelum Pandemi Covid-19 terjadi.
“Jadi jelas, kemahalan UKT itu tidak hanya tahun ini saja, tapi tahun-tahun yang lalu juga sudah mahal. Bedanya, tahun ini mahalnya kian berlipat-lipat. Inilah yang mengakibatkan pekik suara protes mahasiswa pun kian nyaring,” ucap Ubaid.
Oleh karena itu, Ubaid menilai bukan hanya mahasiswa baru saja yang menjadi korban dari kenaikan UKT, melainkan juga para mahasiswa lainnya yang sudah masuk kuliah terlebih dahulu.
Kelas menengah juga kena
Parahnya, kenaikan UKT tidak hanya berdampak kepada mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari golongan ekonomi bawah, tapi juga mereka yang menjadi bagian dari golongan menengah.
Mahasiswa-mahasiswa dari kelas menengah tidak bisa mengambil UKT 1 dan UKT 2 yang diperuntukkan kepada mereka yang tergolong miskin. Tapi mereka juga terancam gagal bayar jika tarif UKT terus dinaikkan oleh kampus-kampus tempat mereka belajar.
“Karena itu, supaya mereka tidak gagal bayar UKT, perlu ada skema khusus bantuan pembiayaan untuk mahasiswa kelompok ekonomi menengah ini,” tekan Ubaid.
Terlebih, JPPI juga menemukan pemerintah belum dapat memenuhi tanggung jawabnya kepada mahasiswa-mahasiswa yang tergolong miskin.
Dari 9.32 juta orang yang kini menjadi mahasiswa, hanya 985.577 mahasiswa yang menerima KIP Kuliah hingga 2024. Jadi, penerima KIP Kuliah berada di kisaran angka 10 persen. Jauh dari batas minimal 20 persen yang telah ditetapkan.
Status PTNBH yang dinilai JPPI tidak menguntungkan mahasiswa juga menjadi sorotan. JPPI menganggap status tersebut yang diberikan pemerintah kepada kampus-kampus menjadi alasan di balik naiknya UKT di kampus-kampus negeri.
“PTNBH yang diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis profit, dan dicabutnya sebagian besar porsi peran pembiayaan dari pemerintah, ini jelas mengakibatkan UKT menjadi kian tak terjangkau,” kata Ubaid.
Dalam paparan Kemendikbudristek RI, Dirjen Diktiristek Abdul Haris menjadikan pelaksanaan PTNBH di ITB sebagai best practice.
ITB diklaim berhasil mengurangi ketergantungan pembiayaannya kepada UKT yang ditarik dari para mahasiswa.
Disebutkan pada 2023, proporsi anggaran ITB adalah 56 persen dari APBN, 26 persen dari UKT+IPI, dan 56 persen dari sumber-sumber lainnya.
Akan tetapi, Ubaid melihat kenyataan yang ada berkebalikan dengan pernyataan dari pihak Kemendikbudristek.
“Jika demikian benar, mestinya UKT di ITB akan murah dan terjangkau oleh mahasiswa. Tapi ternyata tidak. Bahkan proporsi itu sama sekali tidak meringankan beban mahasiswa ITB,” lanjutnya.
Bahkan, para mahasiswa sempat memprotes ITB karena UKT yang mahal dan pemaksaan pihak kampus untuk mengambil skema pinjaman online (pinjol) sebagai dana talangan.
JPPI mengkritik ini sebagai upaya menjadikan ITB sebagai lahan bisnis dengan bekerja sama dengan aplikasi pinjol. Ketua Yayasan Beasiswa Luar Biasa (BLB) mengungkapkan tunggakan keseluruhan mahasiswa ITB semester ganjil sudah menyentuh angka Rp 4,3 miliar.
Demikian, kenyataan-kenyataan yang ada menunjukkan kalau UKT dan praktik PTNBH masih menjadi momok bagi para mahasiswa yang terancam tidak melanjutkan studi mereka di kampus masing-masing.* (Bayu Muhammad)
Baca Juga:
JPPI: Kembalikan Pendidikan Sebagai ‘Public Goods’