JAKARTA – Pada 27 Januari 1953, Presiden Sukarno berkesempatan menjelaskan sekali lagi negara Indonesia yang ia bayangkan.
Di Amuntai, Kalimantan Selatan, kerumunan banyak orang sudah menunggu pidatonya. Dan ia akan segera memberikan pidato itu dengan semangat berapi-api yang jadi ciri khasnya.
Saat itu, Sukarno akan berbicara mengenai Negara dan Islam yang jadi topik berulang dalam pidato-pidatonya selama ini.
“Negara yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia,” katanya meletakkan dasar pembicaraannya hari itu.
Sebenarnya, karakteristik Indonesia sebagai negara nasional yang meliputi daerah, suku-bangsa, dan bahasa di seluruh wilayah bekas jajahan Belanda sudah dibicarakannya sejak mengungkapkan pemahamannya soal Pancasila pada 1 Juni 1945 dan sebelumnya.
Tapi kali ini, Sukarno kembali menekankan itu untuk memperingatkan para hadirin akan terjadinya kemungkinan terburuk jika Indonesia berhenti menjadi negara nasional, melainkan negara berasaskan kepada politik Islam.
“Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah yang penduduknya bukan Islam, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi wilayah Indonesia, tidak akan mau menjadi bagian dari Republik,” ujarnya.
Sukarno menyampaikan pidato tersebut dengan latar belakang persaingan antara kelompok nasionalis dan kelompok politik agama, terutama Islam dalam menentukan landasan dan bentuk negara Indonesia setelah kemerdekaan.
Apalagi, Indonesia tidak lama akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 yang bersejarah. Di mana kubu nasionalis yang salah satunya diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi yang dicurigai membawa agenda-agenda politik Islam bertarung memperebutkan kursi di parlemen dan Dewan Konstituante.
Dalam suasana itu, pidato Sukarno menyulut gelombang amarah dari kubu politik agamis, khususnya Masyumi.
Salah satunya adalah Wali Kota Yogyakarta Mohammad Saleh Suaidi yang mengatakan Negara ‘nasional’ dan ‘Islam’ tidak seharusnya dipertentangkan.
Menurutnya Suaidi, negara nasional yang berdasarkan dan berhukum sesuai dengan agama Islam bisa saja diterima.
Serangan berikutnya datang dari Isa Anshary yang kecewa dengan sikap Sukarno yang dianggap tidak mencerminkan kebijaksanaan seorang kepala negara.
Tapi selain mendatangkan pertentangan, pernyataan Sukarno juga mendapatkan respons dari Masyumi yang semakin menjadikan politiknya moderat jelang Pemilu 1955.
Contohnya pada Juni 1955, Mohammad Natsir menekankan toleransi agama Islam dalam pidatonya di Manado. Ia juga mengajak para Muslim untuk melindungi dan mendukung tidak hanya agama mereka, melainkan juga komunitas-komunitas penganut agama lain.
Kemudian, Mohamad Roem di Bali mengatakan bahwa negara yang dibentuk atas dasar Islam tidak akan menjadi kepemilikan (hanya) orang Muslim saja.
Di satu sisi, Sukarno menyulut api kontroversi dengan mempertegas pandangannya mengenai Negara dan Islam, di mana ia melihat Indonesia seharusnya menjadi negara yang nasional untuk menjaga persatuannya.
Tapi di sisi lain, hal itu juga mendesak Masyumi untuk mempertimbangkan kembali posisinya terhadap kelompok-kelompok minoritas di Indonesia dalam rangka mendapatkan suara atau sekurang-kurangnya penerimaan mereka dalam kancah politik nasional.* (Bayu Muhammad)