JAKARTA – Pada 1950, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu diberikan setelah pemerintahan kedua negara tersebut mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Tapi, bukan berarti imperialisme Belanda hilang begitu saja.
Imperialisme Belanda masih meninggalkan bekasnya di Indonesia. Dan bekas itu hadir dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memecah Indonesia menjadi beberapa negara bagian dengan pemerintahan-pemerintahannya sendiri.
Salah satunya adalah negara bagian Republik Indonesia yang memegang kendali atas Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur, Banten modern, dan kebanyakan dari Pulau Sumatra.
Di luar itu, ada negara bagian Pasundan yang menguasai Jawa Barat, Jawa Timur yang berdaulat atas setengah provinsi tersebut, Madura yang berwenang atas kepulauannya.
Negara Indonesia Timur (NIT) menjadi salah satu negara bagian yang terbesar dari segi wilayahnya. Mereka memegang kendali atas Pulau Sulawesi, Maluku, Bali, dan jajaran Sunda Kecil.
RIS dibentuk sedemikian rupa untuk membatasi kekuatan Republik Indonesia yang selama ini dapat bertahan dari agresi-agresi militer Belanda.
Walaupun RIS ideal bagi Belanda, ia akan segera menjadi masalah. Untuk sementara waktu, Amsterdam mendapatkan ketenangan mengetahui bekas wilayah jajahannya masih bisa dikendalikan, RIS segera menjadi masalah. Tapi dinamika di masyarakat RIS menunjukkan betapa gelisahnya mereka dengan bentuk negara yang baru itu.
Sejarawan Audrey R Kahin dalam Islam, Nationalism, and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsiryang menceritakan kiprah pentolan Partai Masyumi Mohammad Natsir menceritakannya.
Di dalamnya Kahin menjelaskan, pembentukan RIS mendatangkan kekecewaan dari berbagai elemen pejuang kemerdekaan. “Banyak dari kelompok Republikan yang telah bertempur melawan Belanda sejak 1945 melihat negara federal sebagai bentukan kolonial yang menghianati banyak dari idealisme yang telah mereka perjuangkan,” tulis Kahin.
Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling dan didukung oleh Sultan Hamid II dari Pontianak memperburuk keadaan. Hal itu mengakibatkan sentimen anti-Belanda di kalangan masyarakat. Dan memunculkan permusuhan terhadap RIS.
Tidak sedikit dari kalangan masyarakat yang menuntut agar Indonesia menjadi negara kesatuan. Hanya saja, seperti yang ditulis oleh Kahin, mereka khawatir akan didominasi oleh negara bagian Republik Indonesia dalam kerangka negara kesatuan nantinya.
Kekhawatiran tersebut ditunjukkan oleh beberapa elemen di Negara Indonesia Timur (NIT). Pada April 1950, pasukan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) yang hendak demobilisasi di Makassar memberontak terhadap republik.
Puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) untuk merespons deklarasi Presiden NIT, Anak Agung Gde Sukowati, kalau dirinya siap bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia.
Adalah Mohammad Natsir yang menemukan cara untuk menjawab kekhawatiran tersebut. Ia mengajukan suatu proposal yang kini dikenal sebagai ‘Mosi Integral Natsir’.
Dalam mosi tersebut, Natsir mengajukan agar semua negara bagian, termasuk Republik Indonesia membubarkan diri masing-masing sebelum bergabung membentuk negara kesatuan yang baru.
“Untuk menjembatani pihak-pihak yang saling bertentangan, Natsir mengajukan sebuah ‘mosi integral’, yang meminta semua negara bagian, termasuk Republik (Indonesia) untuk membubarkan diri sebelum membentuk negara kesatuan yang baru,” tulis Kahin.
Proposal itu disambut baik oleh Republik Indonesia dan negara-negara bagian lainnya. Natsir berhasil menghilangkan kesan dominasi Republik Indonesia. Dan negara-negara bagian lainnya merasa dapat bergabung ke dalam negara kesatuan yang baru dengan kedudukan yang setara.
Setelahnya, perwakilan-perwakilan masing-masing negara bagian menyusun undang-undang sementara yang segera disahkan oleh parlemen.
Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal oleh dunia modern kini berdiri, bertepatan dengan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta.
Lima hari kemudian, Natsir dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk membentuk pemerintahan perdana negara itu.* (Bayu Muhammad)