JAKARTA – Perang Rusia-Ukraina sudah berlangsung selama dua tahun. Hingga kini, Presiden Vladimir Zelensky mengklaim Ukraina telah kehilangan nyawa 31.000 pasukannya. Di sisi yang lain, data dari Pentagon menunjukkan kalau Rusia kehilangan sekitar 60.000 tentara.
Di luar korban militer, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sebanyak 30.041 warga sipil menjadi korban dari perang ini. Dan 19.659 lainnya mengalami luka-luka.
Menambah kerumitan terhadap masalah kemanusiaan itu, Komisi HAM PBB menghitung adanya 6,3 juta orang yang kabur dari Ukraina. Orang-orang itu menjadi pengungsi yang kebanyakan mencari suaka di negara-negara Eropa lainnya.
Dampak perang ini terhadap perekonomian juga tidak bisa diremehkan. Agresi militer Rusia sudah merugikan Ukraina sebesar USD 152 miliar. Beberapa di antaranya, kehancuran infrastruktur-infrastruktur penting seperti pendidikan dan kesehatan. PBB memproyeksikan rekonstruksi Ukraina pasca perang membutuhkan USD 486 miliar.
Rusia sendiri diperkirakan menghabiskan USD 211 miliar untuk agresi militernya di Ukraina. Hal itu ditandingi oleh paket bantuan USD 74,3 miliar dari AS. Paket ini meliputi bantuan kemanusiaan dan militer. Dan disertai oleh bantuan dari negara-negara Uni Eropa yang merasa khawatir dengan agresi militer Rusia.
Ironisnya, jumlah korban dan kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak sepertinya tidak berhasil diterjemahkan menjadi kemenangan salah satu pihak dalam perang ini. Alih-alih menunjukkan tanda akan berakhir, perang ini sepertinya masih akan berlarut.

Apalagi garis depan antara pasukan Rusia dan Ukraina tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak akhir 2022 lalu. Waktu itu, Ukraina baru saja berhasil merebut kembali wilayah Kharkiv di timur laut negaranya dari tangan Rusia. Wilayah itu termasuk yang pertama kali dikuasai Rusia saat menginvasi Ukraina.
Angin perubahan sempat terasa ketika Kiev merencanakan serangan balik untuk memukul mundur pasukan Rusia dari sisa-sisa wilayah kekuasaannya di Ukraina. Tetapi operasi militer besar yang dimulai oleh Ukraina pada pertengahan 2023 itu, belum membuahkan hasil di luar kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang garis depan.
Memang Ukraina mencetak beberapa keberhasilan. Salah satunya adalah pengeboman Jembatan Kerch yang menghubungkan Semenanjung Krimea dengan Rusia. Di saat yang sama, pasukan drone Ukraina juga terus jadi momok Angkatan Laut (AL) Rusia di Laut Hitam. Pada awal tahun ini, Ukraina menenggelamkan Kapal Pendarat Caesar Kunikov milik Rusia.
Akan tetapi, upaya perang Ukraina di darat belum menghasilkan dampak yang besar. Hingga kini, laju mereka masih pelan. Salah satu penyebabnya, mereka terhambat oleh jaringan pertahanan Rusia yang kompleks. Ratusan kilo ranjau, jebakan kendaraan bermotor, dan parit telah dibangun untuk menghalau serangan Ukraina.
Menariknya, di tengah kesulitan Ukraina untuk memenangkan pertempuran di darat, mereka telah mencetak beberapa kemenangan yang monumental di tataran diplomasi. Beberapa waktu ke belakang, dunia menyaksikan semakin kuatnya dukungan Uni Eropa (EU) dan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) kepada Ukraina.
Baru-baru ini, EU baru saja menyepakati USD 5,48 juta bantuan tambahan untuk Ukraina. Dana baru itu akan menutup pengeluaran untuk amunisi-amunisi persenjataan yang dibutuhkan Ukraina.
Seperti kata-kata Kepala Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan EU, Josep Borell, langkah itu mengirimkan pesan kalau EU akan terus mendukung Ukraina. “… dengan apa pun yang dibutuhkan agar mereka menang.”
Bantuan tersebut dilengkapi oleh sumbangsih-sumbangsih dari negara-negara individual seperti Polandia. Pemerintahannya mengumumkan paket bantuan sebesar USD 21,5 miliar pada awal tahun ini. Negara tetangganya, Jerman, juga mengumumkan bantuan sebanyak 105 tank Leopard dan 30 kendaraan lapis baja lainnya kepada Ukraina. Kanselirnya, Olaf Scholz, mengatakan kalau pihaknya akan sesegera mungkin memperoleh lebih banyak senjata untuk Ukraina.
Di saat yang sama, Swedia berhasil menjadi anggota NATO. Setelah mendapatkan penolakan oleh Turki untuk beberapa saat, negara itu akhirnya menjadi bagian dari aliansi militer yang dianggap bisa memberikan keamanan bersama terhadap agresi militer Rusia. Hal itu menjadikan Laut Baltik sepenuhnya berada di bawah kendali negara-negara anggota NATO sekarang.
Namun, ada tren lainnya yang menggusarkan kepemimpinan Ukraina meskipun kini dukungan EU dan NATO semakin menguat. Anggota terbesar NATO, yaitu Amerika Serikat (AS) mulai terganggu fokusnya terhadap perang Ukraina.
Perang Israel-Hamas di Gaza yang pecah pada akhir 2023 lalu memecah perhatian AS. Kini, AS harus mengirimkan bantuan kepada Israel dan Ukraina secara bersamaan. Salah satu dampaknya, jumlah pengiriman peluru artileri ke Ukraina berkurang. Hal itu diakui sendiri oleh Presiden Zelensky yang khawatir dengan dampak perang di Gaza terhadap upaya perang di Ukraina.
Kemudian, ketegangan yang meningkat dengan Republik Rakyat Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Taiwan juga menjadi beban pikiran baru bagi para pejabat AS. Sekarang, AS tengah berupaya memperluas dan memperkuat jaringan persekutuan militernya dengan negara-negara di kawasan itu.
Terkini, adanya potensi bagi terpilihnya kembali Donald Trump juga memunculkan keraguan kepada komitmen jangka panjang AS terhadap Ukraina. Pada awal tahun ini, Trump mengatakan kalau ia akan mendorong Rusia untuk ‘melakukan apa pun’ kepada negara-negara anggota NATO yang gagal memenuhi komitmen pengeluarannya terhadap aliansi militer tersebut.
Bantuan EU dan NATO yang semakin kuat memungkinkan Ukraina untuk bertahan melawan Rusia selama beberapa waktu ke depan. Akan tetapi, momentumnya sudah kembali mereda. Mereka harus memanfaatkan itu selagi fokus AS belum sepenuhnya tercabut dari perang di Ukraina, dan beralih kepada konflik-konflik yang lainnya. Atau bahkan lebih parah lagi, terhadap kepentingan sendiri apabila Trump benar-benar terpilih.*