JAKARTA – CL dan TA, dua orang pelaku animasi berpengalaman dari Indonesia dan Korea, menjadi korban kriminalisasi dan korban pemerasan dalam proses hukum.
Kriminalisasi terhadap CL dan TA bermula dari mundurnya mereka dari sebuah perusahaan animasi (SSE) tempat mereka bekerja karena tidak puas dengan kondisi perusahaan dan pimpinan yang berfoya-foya menghamburkan uang perusahaan.
CL dan TA tetap diberikan akses email dan google drive karena masih dimintai bantuan oleh mantan pimpinan dan pekerja di SSE. CL bahkan sempat meminjamkam uang untuk membayar internet perusahaan.
Namun, situasi berubah ketika perusahaan terus merugi sehingga CL dan TA dijadikan kambing hitam dan dilaporkan ke Mabes Polri dengan tuduhan melakukan akses ilegal yang melanggar Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 48 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman 8 tahun penjara.
Dalam menjalani proses hukum tersebut, CL dan TA justru menjadi korban pemerasan oleh jaksa yang berkomplot dengan pengacara dan penerjemah. CL dan TA diminta untuk menyerahkan uang, jika tidak maka akan ditahan, kasus dipersulit, dan hukuman diperberat.
Sebanyak total Rp 2.400.000.000 kemudian telah diserahkan, dan jaksa RZ meminta kembali uang sebesar Rp 500.000.000. Karena CL dan TA enggan memberikan uang, patut diduga proses hukum menjadi berlarut.
Total sudah 290 hari kasus ini disidangkan di PN Tangerang. Tuntutan bahkan ditunda 6 kali dengan alasan jaksa belum siap dengan tuntutan. Hal yang sangat janggal dalam kasus pidana tuntutan ditunda hingga 6 kali persidangan.
AMAR Law Firm and Public Interest Law Office (AMAR) kemudian melaporkan hal tersebut kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas) dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada 17 Desember 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian menangkap jaksa RZ pelaku pemerasan bersama penerjemah dan mantan pengacara CL dan TA. KPK kemudian menyerahkan kasus tersebut untuk diproses oleh Kejaksaan Agung. Dua orang jaksa lain kemudian juga ditangkap dan ditahan.
Pada 9 Desember 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut CL dan TA dengan tuntutan 1 tahun dan denda 400 juta rupiah. Pada 22 Desember 2025, kuasa hukum mengajukan nota pembelaan (pleidoi) yang menegaskan bahwa CL dan TA merupakan korban kriminalisasi dan sudah sepatutnya dibebaskan.
Adapun pembelaan setidaknya berdasarkan tiga alasan. Pertama, terdapat keterangan dan bukti percakapan yang menunjukkan bahwa CL dan TA dimintai bantuan oleh Direktur SSE sehingga membutuhkan akses email dan drive.
Kedua, keterangan beberapa saksi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perlakuan oleh SSE terhadap pekerja yang lain. Hal mana setiap pekerja yang sudah tidak bekerja di SSE langsung diputus akses ke email dan juga google drive.
Ketiga, keterangan dua ahli yang menyatakan bahwa tidak terdapat mens rea dan unsur perbuatan melawan hukum dalam kasus CL dan TA.
Berdasarkan hal tersebut di atas, AMAR sebagai kuasa hukum mendesak beberapa hal sebagai berikut:
- Kejaksaan Agung untuk memproses kasus pemerasan oleh jaksa RZ dkk dengan profesional dan transparan.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus pemerasan di Kejaksaan Agung jika Kejaksaan Agung tidak professional dan transparan.
- Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung untuk mengawasi kasus ini hingga berkekuatan hukum tetap.
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberi perlindungan terhadap semua saksi dalam kasus pemerasan oleh jaksa RZ dkk.
- Majelis hakim untuk membebaskan atau setidaknya melepaskan CL dan TA yang merupakan korban kriminalisasi.*
