4 days ago
4 mins read

Refleksi 27 Tahun PKB: Green Party dan Komitmen Transisi Energi

Hj. Ratna Juwita Sari, S.E., M.M., Anggota Komisi XII DPR RI Periode 2024-2029. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Sejak 2005, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendeklarasikan diri sebagai partai hijau (green party). Julukan sebagai partai hijau ini bukanlah asosiasi apalagi koinsidensi dengan logo dan seragam partai yang berwarna hijau, tapi merupakan bentuk komitmen dan visi jangka panjang yang dimiliki oleh PKB untuk memproduksi kebijakan yang pro terhadap lingkungan, mewujudkan relasi yang simetris dan mutualis antara manusia dengan alam, serta mendukung terciptanya keadilan ekologis.

Positioning PKB sebagai partai hijau memiliki signifikansi penting karena masyarakat masih menganggap bahwa isu perubahan iklim dan degradasi lingkungan adalah isu elit, padahal dampak yang ditimbulkan sangat terasa dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagai partai politik yang lahir dari rahim reformasi pada 1998, PKB berupaya untuk memperjuangkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam semua sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perubahan yang dimaksud di sini tidak semata atau melulu soal politik dan tata kelola pemerintahan, tapi juga menyasar pada pola relasi kebangsaan (baca: manusia Indonesia) dengan alam.

Pembangunan nasional berbasis industrialisasi yang digalakkan oleh rezim pemerintah orde baru sepanjang tiga dekade (1966-1998) telah merubah watak bangsa Indonesia menjadi sangat ekstraktif dengan sedikit kepedulian terhadap lingkungan. Alhasil, degradasi lingkungan, perubahan iklim, ketergantungan pada energi fosil, merupakan wajah bangsa Indonesia, yang suka  tidak suka, masih melekat hingga hari ini.

Genealogi perjuangan

Komitmen PKB sebagai partai politik hijau yang senantiasa memperjuangkan kemaslahatan bagi umat dimulai dari pencermatan secara saksama terhadap fenomena lingkungan yang terjadi. Perubahan iklim yang menimbulkan dampak derivatif seperti gangguan pada ketahanan pangan nasional, berkurangnya daya dukung hutan hujan tropis, munculnya penyakit menular yang mengganggu kesehatan masyarakat, dan berbagai bencana alam lainnya, disebabkan oleh industrialisasi yang terlalu bertumpu pada energi fosil.

Sebagai konsekuensinya, energi fosil yang dikonsumsi dalam jumlah besar dan secara terus-menerus tersebut memproduksi karbon dioksida dalam jumlah yang sangat masif yang terperangkap di atmosfer sebagai gas rumah kaca. Problematika gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim diperparah oleh perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan alam seperti melakukan penebangan hutan secara ilegal, pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian, industrialisasi yang abai terhadap analisis dampak lingkungan, hingga kegiatan tambang yang tidak dibersamai dengan reklamasi dan kegiatan pasca tambang untuk memulihkan kualitas dan daya dukung lingkungan.

Dengan berpijak pada persoalan-persoalan yang ada, salah satu kebijakan PKB dalam dua dekade terakhir untuk mendorong ekonomi dan industrialisasi yang ramah lingkungan adalah dengan mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan transisi energi, yakni mengurangi penggunaan energi fosil yang cenderung destruktif terhadap lingkungan, serta menggantinya dengan penggunaan energi hijau atau energi baru dan terbarukan (EBT).

Transisi energi ini secara teoretis sebetulnya mudah, apalagi merujuk pada keunggulan komparatif Indonesia yang menguasai sumber-sumber energinya seperti tenaga angin, gelombang air laut, tenaga surya, panas bumi, biomasa, uranium, thorium (uranium hijau), hidrogen, serta gas biogenik.

Yang membuat proses transisi energi tersebut tidak mudah dalam tataran praksis karena proses yang akan dijalankan membutuhkan perencanaan yang matang, pencermatan terhadap aspek eksternal (geopolitik) yang mempengaruhi, kesamaan cara pandang dari seluruh pemangku kepentingan, begitu juga dengan soal pembiayaan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Tantangan transisi energi

Harus diakui bahwa transisi energi bukanlah proses yang mudah untuk dilakukan. Di Amerika Serikat misalnya, kampanye presiden dan wakil presiden senantiasa menempatkan perusahaan-perusahaan minyak dan gas sebagai donatur utama para kontestan. Alhasil, ketika kontestan tersebut terpilih, eksistensi perusahaan-perusahaan migas tersebut harus senantiasa disokong, utamanya dari sisi konsumsi migas dalam bauran energi primer nasional.

Konsumsi migas selalu ditempatkan sebagai pilihan berbiaya murah ketimbang melakukan pengembangan energi hijau yang membutuhkan dana besar untuk infrastrukturnya. Dalam sekup global yang lebih besar, meskipun UNFCCC sudah dicanangkan sejak 1992 dan Protokol Kyoto disepakati pada 1997 sebagai kerangka kerja sama global untuk mengatasi perubahan iklim, para pihak (baca: negara-negara dunia) terpecah dalam dua kubu ekstrem, yakni negara maju dan negara berkembang dengan kepentingannya masing-masing.

Dalam konteks global tersebut, transisi energi menjadi sulit dilakukan karena mereka yang berstatus sebagai negara pencemar justru menolak untuk mengurangi penggunaan energi fosil di level domestik masing-masing.

Jika kita bandingkan dengan Indonesia, kondisi sosio-politik Indonesia sebenarnya jauh lebih lunak dan memungkinkan untuk melakukan akselerasi penggunaan energi hijau guna mendukung transisi energi.

Pertama, Indonesia tidak lagi berstatus sebagai eksportir minyak, melainkan importir minyak mentah netto sejak 2008. Ini jugalah yang mendasari keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC karena tidak mampu memenuhi kuota produksi yang ditetapkan.

Kedua, Indonesia, suka tidak suka, memiliki problematika dalam hal menaikkan lifting migas untuk memenuhi kebutuhan nasional, pun kondisi ini dipersulit karena Indonesia juga kewalahan dalam menemukan sumur-sumur produksi yang baru. Di tengah segala keterbatasan tersebut, keunggulan komparatif Indonesia yang memiliki sumber-sumber energi hijau seyogianya menjadi angin segar dan alternatif solusi.

Jika Indonesia cermat, apa yang dimiliki tersebut tidak sekedar menjadi keunggulan komparatif dari sisi sumber daya alam energi, tapi juga kuasa energi yang dapat mendudukkan Indonesia sebagai aktor geopolitik penting dalam percaturan global dengan okupasi energi sebagai senjatanya.

Manifestasi perjuangan

Dengan mencermati situasi dan dinamika yang berjalan di masyarakat, komitmen PKB sebagai partai hijau dimanifestasikan dalam banyak hal. Menyitir isitilah diplomasi, upaya PKB untuk menyelamatkan lingkungan dan mendukung transisi energi dilakukan secara multitrack.

Di level akar rumput yang menjadi basis konstituen PKB, PKB melalui kader-kadernya di daerah hingga pusat gigih menyuarakan habituasi hidup yang ramah lingkungan dengan mendorong program ecopesantren, jambanisasi, pembuatan biopori, serta pengurangan sampah plastik. PKB berpandangan bahwa habituasi hidup yang ramah lingkungan harus dimulai dari masyarakat akar rumput yang menempati piramida terbesar dalam bauran penduduk nasional.

PKB berupaya mendobrak pandangan masyarakat bahwa isu lingkungan dan transisi energi adalah isu elit, yang mana dampak lingkungan belum dirasakan hari ini. PKB berupaya membuka mata dan telinga para petani dan nelayan yang menjadi konstituen PKB bahwa gagal panen, kekeringan, El Nino, menurunnya jumlah tangkapan, yang menjadi problematika mereka sehari-hari, merupakan konsekuensi logis dari perubahan iklim yang sedang terjadi.

Selain melakukan penyadaran dan aksi nyata di level akar rumput, perjuangan PKB dalam menyelamatkan lingkungan dan mendukung transisi energi sebagai solusinya dimafestasikan melalui saluran legislatif, tempat kader-kader PKB merumuskan regulasi dan kebijakan yang pro terhadap lingkungan.

Sebagai gambaran, penulis bersama rekan-rekan di Komisi XII DPR RI memberikan dukungan penuh agar berbagai RUU yang pro-lingkungan dan energi hijau seperti RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT), RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, serta RUU Ketenaganukliran dapat disahkan sebagai legislasi nasional pada periode ini. Penulis juga mendesak pemerintah dan mengajak seluruh legislator untuk menginisiasi revisi terhadap UU Ketenagalistrikan agar lebih pro terhadap lingkungan dan masyarakat.

Perjuangan dari “medan tempur” legislasi ini harus diakui tidak mudah karena membutuhkan dialektika yang keras untuk memenangkan argumen dan menyamakan pandangan satu sama lain. Berbekal komitmen partai untuk mendukung pemeliharaan lingkungan, berbagai tantangan akan senantiasa dihadapi dengan objektif utama bahwa regulasi-regulasi tersebut dapat disahkan. Dirgahayu PKB yang ke-27, PKB green party untuk bangsa dan umat.*

Hj. Ratna Juwita Sari, S.E., M.M., Anggota Komisi XII DPR RI Periode 2024-2029.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Pertumbuhan Ekonomi Progresif Berbasis Energi

JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati,

Revitalisasi Layanan Publik Parpol

JAKARTA – Hasil survei nasional Indikator bertajuk ‘Evaluasi Publik Terhadap
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88