2 weeks ago
4 mins read

Pertumbuhan Ekonomi Progresif Berbasis Energi

Ratna Juwita Sari. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan dokumen Asumsi Dasar Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) di DPR RI pada 20 Mei yang lalu. Dokumen ini memiliki signifikansi penting sebagai dasar penyusunan bagi APBN 2026 yang akan datang.

Beberapa poin penting di sektor energi dalam asumsi pemerintah layak untuk digarisbawahi, dikritisi, dan diberikan masukan yang sifatnya konstruktif, semata-mata demi mendukung target pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan energi yang sinergis dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen di akhir periode dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, serta Indonesia sebagai bangsa dan negara yang memiliki daya tahan ekonomi yang tangguh.

Target ICP

Dalam dokumen KEM-PPKF, pemerintah menetapkan Indonesia Crude-oil Price (ICP) berada di angka US$ 60-80 per barel pada 2026. Target yang ditetapkan oleh pemerintah ini bisa dikatakan bersifat moderat, cenderung tidak ambisius. Jika kita cermati secara saksama angka ICP dalam lima tahun terakhir, angka ICP pemerintah cenderung turun. Pada Januari-Desember 2022, ICP berada di angka US$ 97,03/bbl, US$ 78,43/bbl pada Januari-Desember 2023, US$ 78,12/bbl pada Januari-Desember 2024, US$ 71,61/bbl pada 31 Desember 2024, serta US$ 76,81/bbl pada Januari 2025.

Dinamika geopolitik dan geoekonomi global terkini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan harga minyak mentah utama di pasar internasional yang dipengaruhi oleh optimisme pasar.

Pemerintah seyogianya mencermati beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan harga minyak mentah di dunia, di antaranya peningkatan permintaan harga minyak mentah oleh Tiongkok dan AS sebagai major states ekonomi dunia guna keperluan industrialisasi dan pemenuhan bahan bakar transportasi domestik, adanya sentimen pasar terkait pengetatan supply dan demand minyak mentah dunia menyusul adanya pengetatan sanksi yang lebih luas atas minyak mentah Rusia dan Iran, serta peningkatan investasi berbasis Dolar AS sebagai konsekuensi pelemahan nilai tukar Dolar AS di level global.

Dengan mencermati sirkumstansi di level global tersebut, pemerintah dapat bersikap lebih optimis dalam penetapan ICP dengan menaikkan harga minyak mentah Indonesia di kisaran US$ 65-85 per barel pada 2026 agar sektor migas dapat berkontribusi lebih besar terhadap pendapatan negara, yakni melalui skema PNBP.

Target lifting migas

Pemerintah menargetkan lifting minyak mentah pada 2026 sebesar 600-605 rbph, sama dengan target lifting pada 2025 sebesar 605 rbph. Asumsi yang ditetapkan oleh pemerintah ini tidak progresif dan cenderung moderat. Jika dilihat performansi lifting minyak mentah pada 2024 sebesar 595 rbph, dan trend lifting minyak mentah diproyeksikan menurun untuk beberapa tahun ke depan, maka kebijakan pemerintah yang menargetkan lifting minyak mentah pada 2026 pada level yang sama dengan 2025 memiliki rasionalisasi yang cukup mendasar.

Pemerintah melalui instansi terkait perlu mencermati persoalan yang mempengaruhi kapasitas lifting nasional, khususnya terkait jumlah sumur minyak di Indonesia yang berada pada kondisi mature sebesar 70 persen dari total keseluruhan sumur, serta minimnya penemuan sumur minyak yang baru.

Pemerintah melalui SKK Migas perlu memasifkan penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) sebagai upaya teknis lanjutan untuk mengangkat minyak yang masih terdapat di dalam sumur. Di sisi lain, pemerintah melalui SKK Migas harus mengoptimalkan penemuan cadangan baru melalui eksplorasi terhadap cekungan-cekungan yang potensial mengandung minyak mentah (petroleum basin).

Melalui usaha-usaha yang akan dilakukan tersebut, pemerintah harusnya berani menargetkan lifting minyak mentah Indonesia pada tahun 2026 bisa naik dalam kisaran 630–650 rbph. Agar dua strategi tersebut berjalan seirama dan saling bersinergi, dukungan pemerintah dalam bentuk modal yang besar untuk akuisisi teknologi tinggi di sektor eksplorasi minyak, serta kerja sama dengan kontraktor untuk melakukan eksplorasi mutlak diperlukan.

Kita semua perlu mengapresiasi langkah-langkah strategis yang sudah dilakukan oleh pemerintah seperti studi eksplorasi, peningkatan pengeboran sumur eksplorasi di kisaran 1000 sumur per tahun sejak 2024, perbaikan ketentuan kontrak bagi hasil Gross Split, serta penyederhanaan izin yang dibutuhkan dalam kegiatan hulu migas di Indonesia.

Pemerintah menargetkan lifting gas bumi pada 2026 sebesar 953 hingga 1.017 rbsmph. Asumsi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk tahun 2026 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi pada 2025 di angka 1.005 rbsmph. Jika menilik capaian pemerintah pada Q1 2025, realisasi lifting gas bumi mencapai 985.700 rbsmph atau sekitar 97,39 persen dari target.

Dengan berpijak pada capaian tersebut, target lifting gas bumi yang ditetapkan Pemerintah untuk 2026 memiliki rasionalisasi yang cukup dan sangat realistis untuk dicapai. Problematika yang mempengaruhi lifting gas bumi hampir sama dengan persoalan di sekitar lifting minyak mentah, yakni lokasi eksplorasi yang semakin kompleks di dalam negeri yang diakibatkan pergeseran sumber migas dari wilayah daratan (onshore) ke wilayah perairan khususnya laut dalam (offshore) yang notabene membutuhkan teknologi dan modal yang tinggi, gangguan cuaca ekstrem dan shutdown fasilitas, tertundanya kegiatan eksplorasi karena hambatan bencana dan perizinan, lesunya investasi asing di dalam negeri karena fluktuasi harga gas bumi dunia, serta belum masifnya penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Improved Oil Recovery (IOR) yang diyakini dapat meningkatkan kapasitas produksi dari sumur-sumur tua yang eksisting, dikarenakan hambatan dalam bidang investasi dan regulasi.

Pertumbuhan ekonomi progresif

Melalui pemetaan situasi dan kondisi, serta analisis berbasis tantangan dan ancaman di sektor migas tersebut, tidak berlebihan apabila kita perlu bersikap optimis dalam menatap pertumbuhan ekonomi nasional. Ada peluang besar untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi merujuk pada tingginya permintaan di sektor migas global, serta komitmen pemerintah untuk memperbaiki tata kelola migas di bidang eksplorasi dan pemanfaatannya, bahkan dari sisi tata

kelola. Asumsi pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam dokumen KEM-PPKF sebesar 5,2-5,8 persen perlu diperbaiki dengan menaikkan target pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen.

Pemerintah dapat memperbaiki fundamental ekonomi domestik dengan melakukan optimalisasi dan percepatan target-target pembangunan nasional seperti hilirisasi tambang, swasembada pangan, serta transformasi ekonomi berbasis digital yang dapat mengakselerasi skala produksi para pelaku usaha dalam dan luar negeri.

Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen tahun depan, pemerintah juga perlu mengatensi faktor-faktor eksternal di luar kendali untuk segera diformulasi mekanisme mitigasi dan respons-nya.

Pemerintah perlu mencermati gejolak geopolitik dalam bentuk perang Rusia dan Ukraina yang mempengaruhi rantai distribusi gas bumi di Eropa dan kawasan, konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan claimant states Asia Tenggara, instabilitas di Timur Tengah, perlambatan harga komoditas global, tensi perdagangan global yang fluktuatif, serta problematika pada rantai pasok dan rantai konektivitas sebagai aspek terdampak dari ketegangan dan konflik yang ada.

Dalam mengelola isu-isu yang sifatnya eksternal tersebut, pemerintah perlu mengoptimalkan diplomasi dari sisi ekonomi dengan memanfaatkan kanal- kanal kerja sama yang tersedia, serta menerapkan pola diversifikasi kerja sama agar tidak terjebak pada pola dependensi yang diterapkan oleh satu dua kekuatan dunia.

Optimalisasi kerja sama melalui ranah regional Asia Tenggara dan optimalisasi perdagangan yang sifatnya mutualis dengan negara-negara anggota BRICS dapat menjadi opsi rasional bagi pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi 6 persen pada 2026, secara jangka panjang, bukan saja selaras dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen di akhir periode, tapi juga cerminan perspektif luas dan kearifan pemimpin bangsa untuk membangun ketahanan ekonomi yang menjadi fundamen penting dalam menyokong terwujudnya stabilitas politik dan keamanan.

Pemerintah juga perlu berkomitmen untuk memperbesar penggunaan EBT dalam bauran energi nasional yang saat ini masih berada di kisaran 16 persen. Indonesia memiliki modal besar untuk mencapainya melalui kepemilikan energi surya, panas bumi, gelombang angin, hingga uranium dan thorium untuk pengembangan tenaga nuklir.

Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan political will pemerintah untuk menjalankannya, di samping tentu saja kecakapan untuk menarik investasi baik yang sifatnya padat modal maupun padat karya sebagai sumber pendanaan proyek-proyek tersebut.

Dengan kejelian memanfaatkan keunggulan sumber daya yang ada, diiringi dengan tata kelola yang baik, kita siap menyongsong Indonesia yang lebih kuat, maju, dan berdaya tahan di masa-masa yang akan datang.*

Hj. Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi XII DPR RI Periode 2024-2029.

 

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88