JAKARTA – Persoalan yang terjadi di bumi Papua, wilayah paling ujung di Timur Indonesia, adalah persoalan yang kompleks, dalam hal mana terkandung muatan historis, serta berdimensi politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Oleh sebab itu, guna mewujudkan ketahanan nasional, termasuk ketahanan daerah Papua di segala lini kehidupannya, dibutuhkan pendekatan dan penanganan yang dilakukan secara holistik, integral, dan komprehensif.
Pembangunan Papua dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional tidak bisa dilakukan secara one tool for all purposes, melainkan menggunakan pendekatan multidimensi dengan menggabungkan pendekatan keamanan (bullet approach), pendekatan kesejahteraan (butter approach), serta pendekatan sosiokultural.
Salah satu pendekatan sosiokultural adalah perlindungan hak asasi manusia guna memberikan keadilan bagi masyarakat Papua. Penegakan hak asasi manusia merupakan salah satu persoalan yang dipermasalahkan oleh masyarakat setempat, termasuk alasan yang mendasari muncul dan tumbuhnya Operasi Papua Merdeka (OPM) yang sekarang bersalin rupa menjadi Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB).
Masyarakat Papua berpandangan bahwa proses integrasi Papua ke dalam Indonesia pada 1962 melalui badan PBB diwarnai oleh bebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh Pemerintah Indonesia yang melakukan operasi penggalangan oleh intelijen. Lebih dari itu, pada masa orde baru, perlawanan masyarakat Papua yang menghendaki kemerdekaan disikapi secara represif oleh penguasa.
Munculnya perlawanan masyarakat juga dimotivasi oleh pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak di bidang ekonomi dan sosial budaya karena kebijakan sentralisasi orde baru hanya menguntungkan “Jakarta” dan menciptakan pemiskinan di Papua. Belum lagi apabila memasukkan variabel akseptansi pemerintah terhadap keberadaan korporasi asing, dalam hal ini Freeport McMoran yang tidak hanya memiskinkan masyarakat, tapi juga merusak lingkungan hidup Papua.
Indonesia sendiri pasca reformasi berkomitmen untuk lebih menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi warga negara. Hak asasi berbeda dengan hak biasa, karena hak asasi merupakan hak yang melekat pada diri manusia atau warga negara sejak lahir, tidak dapat dipisahkan, dan negara wajib untuk memelihara dan melindunginya. Pelanggaran terhadap hak tersebut oleh negara disebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi.
Pada tataran analisis yang bersifat lebih lanjut, kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak kapabel dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga tercipta ambivalensi antara Papua sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan Papua sebagai wilayah administratif yang tergolong sebagai wilayah termiskin di Indonesia merupakan bentuk pelanggaran hak asasi apabila merujuk pada konvensi internasional mengenai hak-hak ekonomi dan sosial budaya masyarakat.
Dalam rangka memberikan perlindungan hak asasi yang berkeadilan bagi masyarakat Papua, penting bagi pemerintah untuk memahami secara holistik, integral, dan komprehensif mengenai postur permasalahan yang ada di Papua itu sendiri. Hal ini dikarenakan dimensi hak asasi manusia bersifat menyeluruh, dalam hal mana persoalan hak asasi manusia adalah persoalan hak sipil (kebebasan sipil), hak politik, hak ekonomi, serta hak di bidang sosial budaya. Hak-hak asasi manusia tersebut dijamin oleh konvensi internasional yang diakui dan dipatuhi oleh negara- negara di dunia.
Indonesia sendiri pasca reformasi sejatinya telah berkomitmen dan bergerak secara nyata untuk memberikan perlindungan hak asasi warga negara melalui penetapan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pemetaan persoalan
Dengan berpijak pada pedoman hak asasi yang ada, maka pemerintah dapat memulai pemetaan persoalan hak asasi manusia yang ada. Pertama, persoalan hak sipil atau kebebasan sipil. Kehidupan demokrasi di Papua belum berjalan dengan baik disebabkan oleh kendala internal dan eksternal. Kendala internal adalah sistem noken atau pengambilan keputusan yang sangat tergantung pada kepala suku. Hal ini merupakan bagian dari adat istiadat Papua.
Namun demikian, kepala suku memiliki fragilitas untuk terpapar hal-hal yang sifatnya membahayakan demokrasi dan hak-hak sipil seperti yang ditunjukkan pada kasus kontestasi elektoral. Sedangkan kendala eksternal adalah minimnya sosialisasi dan pendidikan politik yang dijalankan oleh pemerintah daerah dan partai politik di Papua, sehingga masyarakat Papua memiliki kesadaran politik yang rendah. Pada tataran yang ekstrem, kesadaran politik yang rendah ini dikomodifikasi oleh KKB untuk memantik sentimen pemisahan diri dari NKRI.
Pada tataran hak politik, pelanggaran hak politik masyarakat Papua terjadi karena kesalahan kebijakan pemerintah di masa lalu yang menjalankan pendekatan militer secara represif, dalam hal mana residu pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu tersebut masih mengendap dan menimbulkan luka batin yang sangat dalam di sanubari masyarakat Papua.
Walaupun pemerintah, khususnya pemerintah pasca reformasi, berupaya seoptimal mungkin mengedepankan pendekatan kesejahteraan untuk memperlunak situasi di Papua, residu tersebut masih mengendap dan siap naik ke permukaan kapan saja dalam bentuk kekerasan bersenjata oleh KKB yang notabene masih mendapatkan simpati oleh sebagian masyarakat Papua.
Kompleksitas pelanggaran hak politik masyarakat Papua semakin tinggi tatkala aparatur negara yang bertugas dalam menjalankan pendekatan keamanan pemerintah seperti TNI dan Polri bertindak dengan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Agresivitas penegakan hukum dan keamanan oleh TNI dan Polri mungkin sudah melunak saat ini, tapi memori dan residu kekerasan di masa lalu masih mengendap. Kasus tewasnya Yeremia Zanambani yang belum mendapat keadilan masih tersimpan erat di memori kolektif masyarakat Papua.
Pelanggaran terhadap hak asasi ekonomi merupakan kompleksitas lainnya yang tak kalah rumit untuk diselesaikan di ranah Papua. Kita ketahui bersama bahwa Papua adalah wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa besar, ada kekayaan biodiversitas flora dan fauna, kekayaan sumber daya hutan dan perkebunan, terlebih lagi kekayaan bahan tambang dan mineral.
Inilah yang memantik dukungan Amerika Serikat pada integrasi Papua tahun 1960-an dahulu, yang mana konsesinya adalah akseptansi Pemerintah Indonesia terhadap keberadaan dan operasional Freeport McMoran. Keberadaan korporasi asing tersebut terbukti tidak berkorelasi lurus dengan kesejahteraan masyarakat Papua.
Hal ini diperparah oleh kebijakan sentralistik orde baru sebelum munculnya otonomi daerah. Pun, apabila kita kedepankan kebijakan otonomi daerah melalui dana otonomi khusus, maka masih terdapat indikasi pelanggaran hak ekonomi di sana dalam bentuk kurangnya kewaspadaan nasional pemerintah pusat untuk memitigasi penyalahgunaan dana tersebut oleh pemerintah daerah yang terkenal koruptif.
Kasus Lukas Enembe merupakan wajah telanjang betapa elite Papua menikmati sendiri kebijakan dana otonomi khusus tersebut. Di sini kita cermati bahwa ketiadaan good and clean governance merupakan akar dari munculnya pelanggaran hak asasi di bidang ekonomi terhadap masyarakat Papua.
Salah satu penyebab institusi penegakan hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung RI, dan KPK sangat berhati-hati menyelidiki kasus korupsi di Papua adalah karena elite Papua selalu menggunakan isu separatisme apabila mereka ditindak. Mereka kerap mengancam balik untuk menuntut kemerdekaan apabila hendak ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Terakhir adalah pelanggaran hak asasi sosial budaya. Seperti kita ketahui bersama bahwa Papua adalah ras Melanesoid, sedangkan Indonesia didominasi oleh ras Jawa, Sunda, dan ras-ras lokal lainnya. Secara sosiokultural, ada perasaan berbeda pada diri masyarakat Papua jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka berkulit gelap, rambut keriting, dan memiliki kebiasaan hidup yang berbeda.
Sentimen rasis muncul ketika kebijakan pemerintah diwarnai diskriminasi di masa lalu seperti sentralisasi pendapatan daerah ke pusat, serta hambatan untuk masuk dan berpartisipasi pada praksis kehidupan politik dan pemerintahan. Meskipun sudah ada kebijakan afirmasi yang ditelurkan oleh pemerintah pasca reformasi untuk melepaskan masyarakat Papua dari alienasi, akan tetapi praktik diskriminasi terhadap masyarakat Papua, khususnya mereka yang berada di luar daerah, kerap kali terjadi.
Pada masa lalu, Gus Dur pernah mencoba untuk menggunakan pendekatan berbasis budaya demi melunakkan luka batin masyarakat Papua dengan mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai simbol budaya. Namun hal ini tidak berlangsung lama ketika Gus Dur terguling pada 2001.
Kebijakan dan upaya strategis
Dengan merujuk pada postur permasalahan hak asasi manusia di masing-masing bidang tersebut, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia secara berkeadilan di Papua guna memperkokoh ketahanan nasional antara lain sebagai berikut:
- Di bidang hak sipil, perlu adanya pembangunan demokrasi dan kebebasan sipil secara holistik, integral, dan komprehensif di Papua dengan mengoptimalkan peran instansi pemerintah daerah, partai politik, tokoh masyarakat, serta tokoh kepemudaan.
- Di bidang politik, pendekatan keamanan yang dijalankan oleh TNI, Polri, hingga BIN harus dilakukan secara humanis dengan mengedepankan penghargaan tehadap demokrasi dan hak asasi manusia. Para aparat tersebut perlu dibekali dengan pemahaman yang komprehensif mengenai hak asasi manusia melalui penataran, seminar, diklat tentang hak asasi manusia.
- Di bidang ekonomi, pemerintah pusat perlu menempatkan pembangunan nasional di Papua sebagai prioritas, baik yang sifatnya fisik maupun non-fisik dalam rangka memberikan keadilan sosial bagi masyarakat Papua.
- Di bidang sosial budaya, pemerintah perlu menghargai dan memberikan dukungan bagi pengembangan kearifan lokal masyarakat Papua, dalam hal mana kearifan lokal tersebut perlu menjadi suatu hal yang selalu menyertai proses pembangunan daerah di Papua.
Guna memerkokoh ketahanan daerah Papua dan ketahanan nasional Indonesia pada sekup yang lebih besar, maka dibutuhkan optimalisasi perlindungan hak asasi manusia yang berkeadilan di Papua. Persoalan hak asasi manusia di Papua sendiri sejatinya bersifat sangat kompleks karena menyentuh banyak dimensi, mulai dari aspek kebebasan sipil, hak politik, hak ekonomi, serta hak sosial budaya.
Persoalan hak asasi manusia di Papua perlu dipecahkan dengan menganalisis persoalan di masing-masing bidang tersebut agar dapat dirumuskan kebijakan dan strategi perlindungan hak asasi manusia yang bersifat holistik, integral, dan komprehensif.
Dengan berpijak pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000, pemerintah perlu menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang terjadi di masa lalu sebagai bentuk upaya dan komitmen untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Keadilan akan sulit terwujud apabila masih ada beban sejarah yang menggelayuti relasi Papua sebagai daerah dan bagian integral dari NKRI.*
Boy Anugerah, Alumnus Tannasda dan Taplaikbs Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI)/Tenaga Ahli di DPR RI.