3 weeks ago
4 mins read

Membangun Ketahanan Demokrasi 

Wakil Ketua MPR RI dan Waketum PKB, Jazilul Fawaid. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Konsolidasi demokrasi merupakan tahapan paling krusial dari proses demokratisasi yang dijalankan oleh suatu negara. Pada tahap konsolidasi demokrasi, semua kemungkinan bisa terjadi seperti stagnasi demokrasi, pembalikan demokrasi, atau hal yang positif dalam bentuk akselerasi menuju demokrasi matang (mature democracy).

Agar konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung saat ini berjalan dengan baik dan mampu mengatasi semua hambatan yang ada, maka perlu dibangun suatu ketahanan demokrasi yang kokoh sebagai fondasi dasar untuk mencapai visi demokrasi yang ditetapkan.

Ketahanan demokrasi (democracy resilience) adalah kapasitas demokrasi yang dimiliki oleh suatu negara untuk berdaya tahan dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap demokratisasi yang telah dijalankan.

Dalam bahasa yang sederhana, ketahanan demokrasi adalah daya lenting dan kemampuan suatu negara untuk bangkit kembali setelah terpapar ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) terhadap proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Ketahanan demokrasi menjadi elemen vital untuk menopang suatu negara agar tidak terjebak pada praktik politik dan pemerintahan yang melanggar prinsip-prinsip universal demokrasi.

Tujuan nasional

Ketahanan demokrasi menjadi salah satu variabel penting yang perlu diatensi oleh segenap komponen bangsa yang berkomitmen untuk mewujudkan tujuan nasional. Demokrasi yang berdaya tahan tinggi merupakan fondasi untuk mewujudkan tujuan nasional secara efektif, efisien, dan berdampak langsung terhadap masyarakat.

Terlebih lagi Indonesia saat ini telah mencanangkan visi besar Indonesia Emas 2045, berkomitmen untuk menjadi negara pemenang (the champ) di panggung regional dan global, serta target besar untuk mengoptimalkan seluruh keunggulan komparatif (agraris, maritim, bonus demografi) menjadi keunggulan kompetitif yang berkorelasi lurus pada cita-cita terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Upaya untuk membangun ketahanan demokrasi adalah langkah konkret untuk meletakkan demokrasi sebagai alat (means) dalam mencapai tujuan-tujuan nasional (objectives). Jika kita mencermati model pembangunan demokrasi di banyak negara berkembang (developing countries), belum ada kesinambungan atau linieritas antara demokratisasi yang dijalankan dengan kesejahteraan masyarakat sebagai outcomenya.

Dalam bahasa yang lebih lugas, demokratisasi yang dilakukan tidak sinkron dengan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang bisa dicermati dari indikator-indikator di bidang perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi (economic growth), tingkat inflasi (inflation), angka pengangguran terbuka (unemployment), dan sebagainya.

Hal tersebut terjadi karena demokrasi yang dibentuk belum memiliki daya tahan yang kokoh. Ketahanan demokrasi yang rendah menjadi faktor utama yang menghambat tercapainya target-target konkret pembangunan nasional.

Pemerintah Indonesia pasca reformasi sejatinya telah berkomitmen untuk membangun demokrasi secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dalam banyak hal seperti penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh BPS RI sebagai dashboard proses demokratisasi baik di level daerah maupun nasional. Pemerintah juga memberikan atensi terhadap masukan dan analisis dari lembaga-lembaga global seperti Freedom House dan the Economist Intelligent Unit (EIU) yang secara rutin menerbitkan indeks demokrasi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Ini menjadi modal sosial politik penting bagi penyelenggara negara dalam memajukan demokrasi Indonesia. Hanya saja ada dua persoalan krusial di sini.

Pertama, apakah capaian demokrasi dalam bentuk IDI tersebut linier dan sinkron dengan target pembangunan nasional lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), daya saing nasional, dan sebagainya? Kedua, apakah model kuantifisir tersebut mampu secara utuh menangkap pesatnya dinamika sosial politik yang berjalan di masyarakat? Atau ada diskrepansi (gap) antara hasil kuantitatif dengan realitas sebenarnya di masyarakat?

Bagi saya pribadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dicarikan jawabannya. Poinnya adalah, jangan sampai demokratisasi yang dilakukan bergerak secara sendiri dan tidak terkoneksi dengan target-target konkret pembangunan nasional lainnya.

Oleh sebab itu, pengukuran dan pencermatan terhadap ketahanan demokrasi yang sudah terbentuk menjadi perlu untuk dilakukan. Bisa jadi banyaknya persoalan dan tantangan nasional yang kita hadapi saat ini terjadi karena demokrasi yang dibentuk belum memiliki resiliensi yang tangguh, sehingga di dalamnya memiliki kerentanan-kerentanan.

Hal ini tidak dialami oleh Indonesia saja, bahkan Amerika Serikat yang mengklaim sebagai nenek moyang demokrasi juga pernah mengalaminya. Kebijakan perang global melawan teror (Global War on Terrorism) di era Bush yang sangat intimidatif tehadap negara lain dan kebijakan Buy American di era Trump merupakan fakta empirik bahwa Amerika Serikat tak segan bertindak ambivalen terhadap demokrasi yang selalu mereka gaungkan.

Langkah-langkah strategis

Lantas, bagaimana membangun ketahanan demokrasi yang kokoh bagi Indonesia?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membangun kesadaran politik (political awareness) yang kuat di masyarakat. Kesadaran politik adalah suatu kapasitas untuk menilai proses dan dinamika politik kebangsaan yang berjalan.

Pada tataran yang lebih mendasar, kesadaran politik adalah kemampuan untuk memahami apa saja yang menjadi hak dan kewajiban politik sebagai warga negara. Kesadaran politik akan menentukan banyak hal, utamanya adalah partisipasi politik masyarakat dalam tata kelola politik dan pemerintahan.

Masyarakat dengan kesadaran politik yang tinggi merupakan modal sosial yang kuat bagi ketahanan demokrasi. Masyarakat jenis ini tidak mudah untuk dipecah belah dengan isu SARA atau politik identitas dalam kontestasi politik elektoral. Masyarakat jenis ini memiliki visi yang kuat dalam menyalurkan aspirasi, bahkan kritiknya terhadap pemerintah, sehingga ada checks and balances yang tercipta yang tentunya menjadi iklim yang sehat bagi demokrasi.

Hal kedua yang harus dilakukan adalah melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi dapat terjerumus menjadi demokrasi semu (pseudo-democracy) atau bahkan demokrasi kacau (mobocracy) apabila tidak dipagari dengan rambu-rambu hukum yang kuat. Inilah yang menyebabkan mengapa begitu banyak terjadi hoaks, ujaran kebencian, fitnah, dan kampanye negatif dalam kontestasi elektoral.

Penggunaan media sosial yang sejatinya bisa mengeskalasi peradaban politik nasional justru berkembang menjadi sarana untuk merusak persatuan dan kesatuan. Hal-hal tersebut tentu tidak akan terjadi apabila dilakukan penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum secara tegas akan menjadi detterence effect terhadap pihakpihak yang hendak merusak ketahanan demokrasi nasional.

Hal ketiga yang tak kalah penting adalah mencermati setiap dinamika yang berkembang dan potensial mempengaruhi bobot demokrasi yang sudah terbentuk dan demokratisasi yang berjalan. Saya menaruh perhatian besar terhadap apa yang disebut sebagai megatrend demokrasi. Megatrend ini bukanlah suatu kecenderungan atau perubahan yang berlangsung singkat dan situasional, tapi berlangsung secara jangka panjang dan memiliki dampak besar di masa yang akan datang.

Oleh sebab itu, untuk menavigasi demokratisasi dengan baik, kita sebagai suatu bangsa dan negara perlu mengelola megatrend demokrasi ini dengan kebijakan yang tepat dan terukur. Ada beberapa megatrend demokrasi yang bisa kita identifikasi bersama dengan berpatokan pada durasi dan potensi keberlangsungannya ke depan seperti otonomi daerah, penguatan peran partai politik sebagai pilar demokrasi, perkembangan civil society, rezim Pemilu langsung, institusionalisasi demokrasi, serta partisipasi politik generasi muda.

Ketahanan demokrasi nasional perlu dibangun dan diperkokoh secara berkesinambungan oleh seluruh komponen bangsa tanpa kecuali. Baik pemerintah maupun masyarakat dengan segenap elemen di dalamnya memiliki tanggung jawab yang sama besar untuk mewujudkannya. Demokrasi bukanlah suatu konsepsi dan alat tunggal (a single tool). Ia terhubung dan menjadi penentu proses pembangunan nasional.

Demokrasi yang kita bangun sepatutnya adalah demokrasi yang berdaya tahan yang memiliki daya lenting yang kuat ketika terpapar ancaman dan mampu bangkit lagi dalam mengejar tujuan-tujuan nasional. Dengan komitmen dan konsen yang kuat untuk membangun ketahanan demokrasi, apa yang kita canangkan ke depan akan lebih mudah untuk dicapai.*

Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A./Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Catatan Akhir Periode: Mewujudkan Keamanan Komprehensif (Comprehensive Security) 

JAKARTA – Dalam mengarungi dinamika berbangsa dan bernegara yang tidak

Kabinet Zaken: Solusi Prabowo untuk Mewujudkan Pembangunan dan Stabilitas Politik

JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana membentuk kabinet zaken