JAKARTA – Ia orang yang ramah, benar-benar ramah dan murah senyum. Berdekatan dan berbincang dengannya begitu menyejukkan.
Kata-katanya tertutur rapi, tsaqilan (berbobot), penuh makna; buah konsistensi kaum penegak shalat lail.
Aura kehangatan yang membekap dirinya mungkin tak lepas dari berkah gelar hafizh yang ia sandang; sang penghafal Quran.
Kepemimpinannya yang dilumuri kepedulian juga tak lepas dari konsistensinya melakoni shaum sunah. Ia benar-benar sosok yang mencintai dan dicintai.
Ismail Haniyah; pemimpin Hamas yang juga Perdana Menteri Palestina, berkuasa di Gaza waktu itu. Ia memimpin rakyatnya menghadapi gelombang serbuan operasi Cast Lead Israel dengan gigih.
Sebuah kehormatan bagiku dan tiga jurnalis Indonesia lainnya—bersama dengan relawan MER-C—bisa bersilaturahmi dengan Sang Pejuang di kantornya yang sangat sederhana. Sebuah kantor pemerintahan yang tak semua warga Gaza tahu di mana lokasinya.
Perjalanan kami mencapai tempat ini penuh liku-liku, bak menyusuri labirin nan rumit. Berjalan dari satu lorong ke lorong lainnya, berbelok ke satu tikungan ke tikungan yang lain, hingga akhirnya kami tiba di sebuah gedung mungil.
Sore waktu itu, Haniyah menerima kami di sebuah aula. Ia ditemani Menteri Kesehatan Palestina, Dr Basem Na’im, dan sejumlah petinggi di Gaza. Kami para jurnalis dan relawan MER-C dikomandani oleh dr Joserizal Jurnalis (alm).
Tema utama pertemuan waktu itu adalah rencana pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza. Sebuah rumah sakit traumalogi untuk warga yang terdampak perang.
“Kami sangat berterima kasih atas perhatian dan kepedulian Anda dan seluruh rakyat Indonesia terhadap Palestina. Kami akan membantu semampu kami agar proses pembangunan berjalan lancar,” kata Haniyah, menyambut baik proposal MER-C.
Dalam kesempatan itu, Haniyah juga menyampaikan beberapa masalah mendasar yang menimpa warga Gaza. Mulai dari sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari, terbatasnya pasokan bahan bakar, pemadaman listrik yang terjadi tiap hari hingga kesulitan mengakses air bersih.
Menurut Haniyah, untuk mencukupi kebutuhan air bersih seluruh warga Gaza dibutuhkan 82.000 sumur bor. Sementara saat ini jumlah sumur bor yang ada tak sampai 100 buah.
“Selain masalah air, kami juga tengah memikirkan cara bagaimana bisa memiliki pembangkit listrik sendiri agar tidak bergantung kepada Israel,” ungkapnya.
Begitu ia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba listrik di ruang pertemuan padam. Semua kaget dan terdiam seketika. Namun tak berapa kemudian lampu-lampu di aula kembali menyala.
“And this is one of the problems, (ini—pemadaman listrik—juga salah satu masalah). Baru saja kita bicara tentang listrik, tiba-tiba dia mati mendadak,” kata Haniyah yang disambut gelak tawa hadirin.
Pertemuan resmi MER-C dengan Ismail Haniyah dan jajarannya diakhiri dengan ramah tamah. Pihak tuan rumah menyediakan aneka minuman dan kue basah. Setelah itu, kami bersalaman dan berkenalan.
Haniyah memberikan dan menyematkan syal satu per satu pada kami, sebuah syal khusus yang ia tanda tangani.
Saat bersalaman dan berbincang dengannya, aku tergelak karena ia menawariku untuk tinggal di Gaza, namun aku menolak karena telah memiliki istri dan anak di Indonesia—yang tak bisa kutinggalkan.
Ia terkejut. “Ah, bagaimana mungkin seorang jurnalis pejuang takut meninggalkan anak dan istri,” ujarnya. “Soal itu (istri), nanti kami juga bisa carikan di Gaza. Bagaimana?”
“Agak berat, Syekh. Dengar-dengar maharnya sangat mahal,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tak kuasa menahan tawanya.
Haniyah. Lelaki nan hangat itu kini telah berpulang. Namun, kenangan dengannya takkan pernah hilang. Semoga Allah SWT membukakan pintu surga untukmu, Syekh.*
Chairul Akhmad