3 months ago
2 mins read

Menanti Perbaikan Polri pada Hari Bhayangkara ke-78

Polri menggelar upacara bendera. (Foto: Tribatanews)

JAKARTA – Amnesty International Indonesia mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menghentikan tindakan-tindakan kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan oleh anggota-anggotanya.

Aksi-aksi tersebut berpotensi terus berlangsung apabila Revisi Undang-Undang (RUU) Polri diloloskan. Pasalnya, Amnesty menilai RUU tersebut masih memuat pasal-pasal yang bermasalah.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan kalau banyak aksi kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan melibatkan anggota Polri.

“Aksi kekerasan berlebih dan praktik kesewenang-wenangan lainnya terhadap mereka yang membela haknya, terhadap mereka yang kritis, terhadap mereka yang memiliki pandangan politik berbeda, masih terus terjadi, dan ini sering melibatkan anggota Polri,” ujarnya.

Dalam kurun waktu 2019-2023, sekurang-kurangnya terdapat 58 kasus penangkapan yang sewenang-wenang oleh polisi terhadap 412 orang pembela hak asasi manusia (HAM). Adapun kelompok yang paling banyak ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150), dan masyarakat adat (44).

Selain itu, beberapa jurnalis, aktivis buruh, aktivis lingkungan, petani, dan nelayan juga menjadi korban penangkapan saat mereka menggunakan hak untuk berpendapat dan berkumpul.

Pada 18 April dan 11 Mei lalu, tiga nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), mengalami kriminalisasi saat memperjuangkan hutan mangrove dari pengrusakan. Mereka ditangkap polisi atas dasar tuduhan merusak pondok yang didirikan perambah di hutan lindung itu.

“Ini salah satu sinyal bahwa Polri masih tidak mengindahkan hak masyarakat untuk berpendapat. Sebagai penegak hukum polisi seharusnya memberi ruang dan melindungi warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa menghadapi risiko penangkapan,” sambung Usman.

Polisi juga masih melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang berlebih dalam penggunaan gas air mata dan meriam air ketika menghadapi aksi-aksi demonstrasi.

Amnesty juga menemukan aparat kepolisian mendominasi kasus-kasus penyiksaan terhadap warga sipil. Selama periode 2019-2024, mereka mendapati Polri terlibat atas dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus yang melibatkan 227 korban.

Baru-baru ini, masyarakat dibuat terkejut dengan dugaan penggunaan kekerasan berlebihan dan penyiksaan oleh oknum Polri terhadap sejumlah anak di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).

Penertiban wilayah dari aksi tawuran berujung kepada wafatnya seorang remaja berusia tiga belas tahun. Oknum Polri juga diduga menyundut rokok dan memukulkan senjata kejut listrik, terhadap anak-anak yang ditangkap dan dituduh melakukan tawuran.

Usman menyatakan Polri harus mengakui kekurangan-kekurangan mereka pada momen Hari Bhayangkara ini.

“Pada Hari Bhayangkara ini Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia. Pengakuan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk benar-benar memperbaiki diri, tegakkan hukum atas aparatnya yang terlibat dalam kekerasan yang sewenang-wenang dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang,” lanjutnya.

RUU Polri bermasalah

Selama ini, Polri menjadi sasaran kritik terkait dengan pelanggaran HAM, tindakan sewenang-wenang, dan kurangnya akuntabilitas. Momen RUU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi kesempatan memperbaiki kelemahan-kelemahan itu.

Namun, draf RUU itu memuat beberapa pasal yang justru memperumit keadaan dengan memperkuat kewenangan Polri tanpa adanya mekanisme kontrol yang cukup. Beberapa pasal dalam drafnya, seperti pasal 14 dan 16, mengandung ketentuan yang dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berkumpul.

Pasal-pasal tersebut juga memberikan kewenangan yang lebih besar kepada kepolisian dalam melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber dan melakukan penggalangan intelijen. Semua itu berpotensi meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian.

Adapun draf revisi juga tidak memberikan perlindungan yang cukup untuk para pembela HAM yang kerap jadi korban intimidasi dan kekerasan aparat kepolisian.

Oleh karena itu, Usman mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah merevisi kembali RUU Polri dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.

“Kami mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi kembali draf RUU Polri ini dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu HAM. Revisi UU Polri harus memastikan adanya keseimbangan antara kewenangan kepolisian dan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara,” tegasnya.* (Bayu Muhammad)

Baca juga: Catatan di Hari Ulang Tahun ke-78 Polri

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Protes MotoGP Mandalika Dibungkam

JAKARTA – Amnesty International Indonesia menyebut pengerahan aparat keamanan skala

40 Tahun Impunitas Tragedi Priok: Kebijakan Pancasila yang Belum Terkoreksi

JAKARTA – Memperingati 40 tahun terjadinya tragedi Tanjung Priok, Amnesty