7 months ago
5 mins read

Mengelola Isu Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) di Indonesia

Ilustrasi boikot. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Konflik Israel dan Palestina yang meletus pada akhir 2023 lalu belum kunjung reda hingga kini meski Israel mendapat tekanan dahsyat dari dunia internasional.

Beberapa negara besar Eropa yang semula mendukung Israel mulai berbalik sikap. Sivitas akademika dari kampus-kampus tersohor dunia juga berunjuk rasa menuntut gencatan senjata antara kedua belah pihak yang bertikai di Jalur Gaza.

Salah satu fenomena yang menarik adalah menyeruaknya Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) oleh komunitas global untuk menghentikan aksi koersif Israel di Palestina.

Gerakan ini juga beroperasi di Indonesia dan mendapatkan respons positif. Namun demikian, ada implikasi negatif apabila Gerakan BDS tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah.

Sejarah konflik

Sebelum masuk pada Gerakan BDS di Indonesia, pertama-tama penting bagi kita semua untuk memahami terlebih dahulu anatomi dan postur konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina.

Konflik yang terjadi di antara kedua negara tidaklah sesederhana klaim Israel bahwa Hamas, salah satu faksi politik di Palestina, melakukan serangan terlebih dahulu dengan meluncurkan rudal dan roket yang menyasar warga Israel, bahkan menembus sistem pertahanan kubah besi (Iron Dome) yang selama ini mereka banggakan.

Benar bahwa Hamas melakukan serangan tersebut, menimbulkan korban jiwa di pihak Israel dari serangan yang mereka lakukan, serta melakukan penahanan (penyanderaan) terhadap beberapa warga Israel.

Namun, apa yang dilakukan oleh Hamas tersebut merupakan suatu respons strategis atas apa yang terjadi selama puluhan tahun terhadap warga Palestina. Israel tak kunjung menghentikan aneksasi terhadap wilayah dan bangsa Palestina sejak pernyataan pembentukan negara Israel pada 1948.

Israel melalui pemerintahan Zionis terus merebut tanah-tanah bangsa Palestina untuk dijadikan pemukiman bangsa Yahudi yang terus berdatangan ke Israel, bahkan rezim Zionis tak segan untuk melakukan pengusiran paksa, penyiksaan, bahkan pembunuhan brutal terhadap warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak.

Respons dunia internasional terhadap kekejaman Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang dihuni oleh bangsa Palestina sungguh tidak memadai.

PBB melalui Dewan Keamanan (DK) yang sejatinya mengemban tugas untuk mewujudkan perdamaian seakan tidak berfungsi karena keberadaan Amerika Serikat dengan hak vetonya yang notabene merupakan sekutu abadi Israel.

Sikap politik Amerika Serikat yang senantiasa mendukung kebijakan Israel ini juga selalu diikuti oleh aliansi strategis Amerika Serikat di Eropa yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Amerika Utara (NATO).

Sikap serupa juga ditempuh oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat di Jazirah Arab seperti Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, serta Yordania, tiga negara Arab dengan kekuatan militer yang tangguh.

Alhasil, tidak ada upaya kolektif dari dunia internasional yang sifatnya memadai untuk mendukung perjuangan bangsa Palestina. Palestina seakan berjuang sendiri dan terus menerus mengalami genosida dari Israel yang selalu mendapatkan pembenaran dari kekuatan global.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa telah mempraktikkan sikap hipokrit yang sangat kental terhadap Palestina. Hal ini berbeda dalam kasus perang Rusia dan Ukraina, atau ketegangan antara Tiongkok vis a vis Jepang dan negara lain.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa beramai-ramai menyerang Rusia dan Tiongkok dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, perusak demokrasi, agresor, dan penjahat perang. Baik Rusia maupun Tiongkok mengalami decoupling dari Amerika Serikat dan sekutunya.

Rasionalitas gerakan BDS

Respons hipokrit dari negara-negara besar tersebut telah menjadi pendulum bagi masyarakat global peduli terhadap isu Palestina untuk menyusun metode perjuangan baru, sebuah metode perjuangan yang melampaui batas-batas negara, tidak berada pada tataran sikap ofisial dan militeristik, serta berwajah nir-kekerasan.

Pada 2005, muncul Gerakan BDS, singkatan dari boikot, divestasi, dan sanksi. Gerakan ini menjalankan strategi boikot, pemutusan kerja sama, serta pemberian sanksi terhadap perusahaan-perusahaan global dari negara-negara yang berkontribusi mendukung kekejaman Israel di Palestina.

Pendekatan yang dilakukan oleh Gerakan BDS ini dijalankan secara cermat dan saksama, artinya pelabelan negatif terhadap perusahaan-perusahaan tertentu dilakukan melalui analisis yang mendalam dan berbasis bukti yang kuat. Sebagai contoh, Amerika Serikat secara eksplisit bahkan vulgar mendukung segala kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Palestina.

Amerika Serikat bahkan menjatuhkan hak vetonya guna membendung Rusia dan Tiongkok yang pro-Palestina. Dengan fakta empirik sedemikian, Gerakan BDS tak pernah sungkan untuk menyuarakan kepada masyarakat global agar melakukan boikot, divestasi, dan sanksi terhadap seluruh perusahaan Amerika Serikat, baik perusahaan sepatu, pakaian, makanan, otomotif, tanpa kecuali.

Gerakan BDS beroperasi secara transnasional, jauh melampaui batas-batas negara. Mereka menggunakan media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook untuk menjangkau audiens di seluruh dunia. Mereka melakukan persuasi kepada publik di media sosial. Mereka memahami secara psikologis kebatinan audiensnya.

Pertama, kejahatan perang dan kemanusiaan Israel di Palestina sudah melampaui batas. Masyarakat global tidak lagi peduli apakah ini soal agama atau murni diskriminasi dan penjajahan. Yang mereka pahami adalah ini soal kemanusiaan yang melampaui apapun.

Kedua, mereka ingin berkontribusi secara konkret dalam mewujudkan perdamaian di Palestina. Akan tetapi arsitektur institusi global yang berjalan saat ini sudah dimanipulasi (untuk tidak menyebut bobrok) oleh kekuatan pendukung Israel.

Eksistensi 7 juta Yahudi yang menggerakkan pemerintahan di negara-negara besar bukan sekedar mitos, tapi fakta empirik yang terasa “bau” dan pergerakannya, mewujud dalam sikap hipokrit PBB sebagai lembaga perdamaian dunia.

Oleh karena itu, masyarakat global memerlukan strategi alternatif untuk berkontribusi, strategi yang terlepas dari hipokrisi dan kemandulan lembaga-lembaga yang ada. BDS adalah terobosan penting untuk mendukung perjuangan Palestina. Melalui boikot, divestasi, dan sanksi, logistik Israel untuk membiayai kejahatan yang dilakukan di Palestina dapat disumbat.

Gerakan BDS di Indonesia

Gerakan BDS juga beroperasi di Indonesia. Di laman Instagram, pengikutnya hampir menyentuh angka 2.500 orang. Gerakan BDS juga beroperasi melalui media sosial Twitter. Gerakan BDS ini mendapatkan respons positif, bahkan tumbuh subur di Indonesia. Faktor pendukungnya cukup banyak.

Pertama, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Apa yang terjadi di Palestina sudah tentu akan memantik simpati bangsa Indonesia. Kedua, masyarakat Indonesia menyadari bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Palestina tidak memadai. Alih-alih mewujudkan kemerdekaan, menghentikan agresi Israel saja tidak mampu.

Pemerintah Indonesia hanya mampu berseru-seru di ruang hampa tanpa output dan outcome perjuangan yang memadai. Sementara itu, pemerintah seakan pura-pura bodoh dengan menegasikan fakta geopolitik bahwa kekejaman Israel di Palestina tidak terlepas dari orkestrasi Amerika Serikat dan sekutu di belakangnya.

Mungkin kalkulasi militer, politik, dan ekonomi yang membuat pemerintah selalu berjuang mendukung kemerdekaan Palestina melalui jalur konvensional, sekedar seruan dan meeting di forum internasional.

Hal ini memantik kegeraman masyarakat. Hadirnya Gerakan BDS menjadi saluran untuk mengartikulasikan kegeraman tersebut. Perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Amerika Serikat dan Israel di tanah air seperti MacDonald, Unilever, Nestle, Puma, dan lain-lain menjadi sasaran BDS.

Gerakan BDS, di satu sisi menjadi solusi perjuangan yang segar bagi masyarakat yang ingin berkontribusi. Tapi di sisi lain, menimbulkan kompleksitas dan perdebatan di level domestik Indonesia. Gerakan BDS bergerak di tataran ekonomi.

Dalam konteks ekonomi, persoalannya tidak sesederhana bahwa perusahaan X,Y,Z itu terafiliasi dengan Israel atau tidak. Ada dinamika lain yang perlu dicermati. Pertama, perusahaan-perusahaan tersebut bisa saja memiliki lisensi yang berbeda dengan yang beroperasi di negara lain.

Kedua, perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi di Indonesia yang artinya menyumbang dari sisi pajak bagi pemerintah, yang artinya kontributif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketiga, ini yang terpenting, bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah mendukung penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Ketika Gerakan BDS dilakukan, ada implikasi-implikasi serius yang tercipta. Gerakan BDS yang dilakukan terhadap produk-produk perusahaan tersebut akan berdampak pada melemahnya kapasitas finansial perusahaan-perusahaan tersebut yang pada tahap selanjutnya berdampak pada kemampuannya untuk mempekerjakan karyawan.

Alhasil, pengurangan jumlah karyawan, pemotongan gaji, bahkan PHK sangat potensial terjadi apabila BDS berlangsung secara simultan dan jangka panjang. Di samping itu, secara politik ekonomi nasional, Gerakan BDS berpotensi untuk menghambat investasi.

Ini bisa menimbulkan efek turunan yang dahsyat mengingat Indonesia saat ini sedang menggarap proyek IKN yang membutuhkan dana 466 triliun rupiah, sebagian besar diproyeksi bersumber dari foreign investment.

Pengelolaan isu

Lantas bagaimana strategi pemerintah? Pendekatan kewaspadaan nasional harus senantiasa dikedepankan. Pendekatan kewaspadaan nasional akan menuntun pemerintah pada upaya-upaya pencapaian kepentingan nasional yang diiringi dengan sikap kehati-hatian dan mawas diri secara penuh terhadap risiko.

Kompleksitas AGHT yang ada jangan sampai menjerumuskan pemerintah pada kondisi yang mengancam stabilitas nasional.

Secara konkret, ada lima upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, pemerintah perlu mendudukkan Gerakan BDS sebagai alternatif perjuangan untuk mendukung kemerdekaan Palestina, sebuah cita-cita adiluhung yang diamini oleh para pendiri bangsa. Artinya, Gerakan BDS bukan harus diberangus, tapi dikelola agar resultansinya positif.

Kedua, pemerintah perlu melakukan pengawasan secara ketat terhadap agitasi dan propaganda yang dilakukan oleh Gerakan BDS di media sosial. Tujuannya, agar gerakan ini murni sebagai gerakan sosial untuk Palestina, bukan gerakan yang mendiskreditkan perusahaan dan negara tertentu berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi sempit.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada implikasi sampingan yang negatif dari eksistensi gerakan ini, seperti pemantik munculnya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di Indonesia yang selama ini sudah berurat berakar.

Keempat, pemerintah melakukan konsolidasi di antara pemangku kepentingan di bidang ekonomi perdagangan, serta investasi seperti Kemenko Perekonomian RI, Kemendag RI, Kemenperin RI, dan BKPM mengenai apa-apa saja implikasi negatif secara ekonomi dari Gerakan BDS. Implikasi negatif tersebut perlu dituangkan dalam peta masalah dan dirumuskan solusi mitigatif dan kuratifnya.

Kelima, pemerintah perlu mendudukkan Gerakan BDS sebagai sparring partner perjuangan. Gerakan BDS tidak akan mendapatkan ekosistemnya di tanah air apabila upaya-upaya diplomatik pemerintah di level internasional bertaring dan impactful.

Pemerintah harus insyaf bahwa upaya-upaya yang dilakukan selama ini cenderung formalitas, seremonial, dan tidak berdampak apapun. Hanya seruan dan kecaman lantang di ruang hampa.*

Boy Anugerah, Pemerhati Isu Strategis/Alumnus Program Tannasda dan Taplaikbs Lemhannas RI.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Ransomware Ganas 2024 dan Korbannya di Indonesia

JAKARTA – Ransomware secara de facto menjadi malware yang paling