Dua di antaranya: pertama, serangan siber ransomware jarak jauh di tahun 2018. Ini menimpa jaringan komputer usang di kota Atlanta. Seluruhnya menyebabkan institusi lokal di negara bagian Georgia itu, dipaksa menggunakan pena dan kertas kembali selama lebih dari satu minggu.
Setelah peretas membobol sistem, dan pemerintah kota menolak permintaan peretas sebesar US $51.000 dalam bentuk Bitcoin, kota malah kehilangan uangnya hingga US $17.000.000. Uang itu digunakan sebagai biaya perbaikan yang terkait langsung dengan peretasan, maupun biaya ikutannya.
Sedangkan yang kedua, saat dilakukan pengelabuan oleh peretas yang menyebabkan hilangnya ratusan dolar, uang pemerintah daerah yang bersumber dari pajak warga kota. Ini tergolong jenis penipuan phising. Pada kasus yang terjadi di Fresno, California ini, phising dilakukan peretas, dengan menyamar sebagai kontraktor yang bekerja di institusi layanan publik daerah.
Peretas menagih warga kota atas layanan konstruksi fiktif yang telah diberikannya. Kop surat kontraktor dan nomor rekening pribadi, digunakan untuk mengelabui warga Fresno. Saat petugas kordinator pembayaran memenuhi tagihan, pengiriman sebesar US $400.00, masuk ke rekening yang salah. Dan bukan hanya uang yang salah rekening, data-data warga yang melakukan pembayaran turut terkirim pada peretas.
Dan yang ketiga, dikutip dari tulisan Grzegorz Pytel, 2022, berjudul ‘The Most Painful Examples of Data Loss’. Pytel menuliskan berbagai kasus pencurian dan pelanggaran data sejak tahun 2012 hingga 2021. Satu di antaranya, sulit dilupakan masyarakat global, yang terkuak pada bulan April 2021.
Saat itu tersebar informasi, adanya 500 juta data pribadi pengguna Facebook yang dipublikasikan secara online. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap data pribadi. Data terpublikasi berupa nomor telepon dan alamat surat elektronik. Dan dari pelacakan diketahui, data bersumber dari Facebook yang mengalami kebocoran.
Akibat lemahnnya fungsi contact importer. Pengguna dari lebih seratus negara, terdampak kebocoran dan pelanggaran data ini. Menurut Facebook, seluruhnya mulai terjadi di tahun 2019. Yang implikasi potensial kebocoran dan pelanggaran datanya, berupa terjadinya phishing maupun pencurian identitas.
Nampak dari seluruh uraian: nilai kehilangan data tak sebatas besarnya uang yang diminta para peretas. Juga hilangnya waktu maupun potensi uang yang tak jadi diterima, lantaran layanan yang terhenti. Kehilangan lebih terlihat dari beruntunnya persoalan yang muncul berikutnya. Ini termasuk berbagai upaya perbaikan yang harus dilakukan, disalahgunakannya data yang diretas, tak dapat dipulihkannya keadaan ke kondisi semula, hingga hancurnya reputasi institusi pelindung data.
Kehilangan data adalah bencana. Maka menjadi janggal, jika tak disesali dengan mendalam. Maka perlu diuji: sudah benarkah pemaknaan kita hari ini, terhadap data. Utamanya di zaman, data adalah kehidupan itu sendiri?*
Dr. Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital/Pendiri LITEROS.org.