4 months ago
7 mins read

Beban Duka di Jabaliya

Muhammad (65) warga Jabaliya, Gaza Utara. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

Perlawanan tak seimbang

Ahmad Khadad, warga Jabaliya yang selamat dari agresi Israel menuturkan, perang di awal 2009 itu sangat tidak seimbang. Jumlah pasukan Hamas yang menjaga Jabaliya tidak signifikan dibanding ribuan tentara Israel yang datang dengan segenap kekuatan tempurnya.

Bahkan pria yang kehilangan dua anaknya ini menganggap Hamas tidak kuat melawan Israel karena ketidakseimbangan persenjataan di kedua belah pihak. Hamas hanya bertahan sebisanya dengan senjata seadanya.

“Mereka tidak punya RPG (Roket Peluncur Granat) dan senjata berat lainnya. Mereka hanya berbekal senapan AK 47 yang usang dan kekurangan amunisi. Mana cukup untuk melawan pasukan Israel yang berjumlah ribuan yang dilengkapi senjata serba canggih,” ujarnya.

Khadad memperkirakan jumlah serdadu Israel yang menyerbu Jabaliya mencapai 3.000 personel. Sementara jumlah pasukan Hamas tak sampai 100 orang. Tak heran jika Jabaliya, menjadi bulan-bulanan Israel.

“Anda lihat sendiri, desa ini hampir musnah. Ratusan bangunan rumah hancur lebur. Ribuan orang terluka dan ratusan warga lainnya menjadi syahid,” katanya getir.

Khadad memang tidak melebih-lebihkan ceritanya. Bekas reruntuhan dan puing-puing bangunan menghiasi setiap sudut Jabaliya. Wilayah yang dekat dengan perbatasan Israel ini sangat terbuka dan rentan menjadi sasaran tembak. Apalagi Hamas tidak memiliki cukup pasukan untuk menjaga wilayah ini dari serbuan Israel.

“Tentara Israel bisa menyerang dengan sesukanya. Mereka didukung oleh pesawat tempur yang tak henti-hentinya melepaskan bom. Belum lagi tank-tank Merkava yang turut membantu serangan darat. Kami hanya mampu berlindung di rumah, karena tak bisa lari kemana-mana,” tutur Khadad.

Ketika ditanya kenapa warga tidak melawan? Khadad hanya tersenyum sinis. “Bagaimana kami mau melawan? Senjata tak ada, peluru tak punya. Hamas sendiri kewalahan menghadapi Israel karena tak punya apa-apa. Kami hanya mampu bertahan dan memohon perlindungan kepada Allah,” jawabnya.

Tembakan selamat datang

Jarak antara perkampungan warga Jabaliya dengan perbatasan Israel sangat dekat, tak lebih dari dua kilometer. Jalanan yang membelah kampung ini rusak parah. Beberapa bagian aspalnya mengelupas, sebagian lainnya malah hanya berupa tanah biasa.

Sekitar 100 meter di luar perkampungan yang mengarah ke wilayah Israel, yang tampak di sisi kiri-kanan jalan hanyalah padang pasir dan lahan kosong.

Beberapa bekas bangunan hancur masih teronggok bisu di beberapa sudut lahan kosong ini. Seorang warga Jabaliya menuturkan, kawasan ini dulunya adalah perkampungan padat yang luluh-lantak akibat gempuran Israel. Dari sinilah tank-tank serdadu Zionis memuntahkan pelurunya.

Makin dekat dengan perbatasan Israel, nampak sebuah masjid kecil dengan cat putih yang nampak kusam. Di belakang masjid terdapat makam warga. Sebagian besar pejuang yang gugur melawan Israel juga dimakamkan di tempat ini.

Sangat mudah untuk membedakan warga yang meninggal dengan wajar dan mereka yang bertempur. Di atas kuburan para syuhada terpampang poster mereka yang menempel di pacak kayu yang tertancap di bagian kepala makam.

Di sebelah kiri pekuburan, persis di belakang masjid, terdapat lahan kosong dengan dengan kontur berbukit. Tanah makam dan perbukitan mini ini dibatasi oleh jalan setapak tanpa aspal.

Tanah di seberang jalan dipenuhi pohon-pohon zaitun milik warga. Hanya beberapa puluh meter dari perkebunan zaitun, terdapat pagar kawat berduri yang membatasi wilayah Gaza dan Israel.

Pada jalan setapak yang menuju wilayah Israel, dekat dengan kawat berduri yang menjadi perbatasan kedua wilayah, terdapat sebuah pos militer Israel. Bangunan persegi berwarna hijau itu dijaga sejumlah pasukan Zionis. Dari kejauhan, sebuah tank Merkava tampak nangkring menjaga perbatasan.

Di sebelah kanan pos militer terdapat tembok putih dengan ketinggian sekitar lima meter. Menurut warga sekitar, di balik tembok putih itulah terdapat barak-barak tentara Israel. Nun jauh di belakang tembok putih, nampak perkampungan kaum Yahudi.

Dari perbatasan yang hanya dipisah kawat berduri inilah Israel kerap menembak warga Jabaliya yang dianggap mencurigakan. Padahal, warga hanya melakukan aktifitas sehari-hari, seperti mengolah tanaman zaitun mereka. Di atas tembok, jauh di angkasa, nampak balon udara berwarna merah melayang-melayang mengitari perbatasan.

Dari kejauhan, balon udara ini hanya sebesar ibu jari. Namun dengan balon inilah militer Israel memantau dan mengawasi perbatasannya dengan Gaza, karena dilengkapi dengan kamera pengintai beresolusi tinggi.

Tiap gerak-gerik warga di sekitar kebun zaitun maupun pemakaman terlihat jelas di layar monitor pusat komando perbatasan.

“Tentara Israel dapat melihat kita dengan jelas lewat balon itu. Bahkan hingga ke detil tanah ini,” kata seorang warga sambil menunjuk tanah yang dipijaknya.

Kebetulan di siang yang terik itu, warga Jabaliya tengah melakukan pemakaman terhadap seorang penduduk yang meninggal karena sakit. Areal pekuburan dipenuhi pelayat dan pengantar jenazah. Beberapa orang mendekat ke arah para wartawan yang tengah melakukan peliputan.

Aku dan tiga orang jurnalis televisi swasta saat itu tengah memotret dan merekam suasana sekitar kebun zaitun dan perbatasan dari gundukan tanah yang paling tinggi. Tiba-tiba terdengar empat kali suara tembakan di udara.

Abdullah, warga Gaza yang menjadi pemandu para jurnalis berteriak lantang, “Lari, lari, lari! Mereka menembaki kita.”

Namun para jurnalis tak terpengaruh dengan suara tembakan tersebut. Rekan-rekan jurnalis televisi malah tetap Live On Tape (LOT) di lokasi. Warga yang tengah sibuk dengan urusan pemakaman juga nampak terkejut, namun setelah itu tenang kembali. Seolah-olah tembakan semacam itu sudah biasa mereka dengar.

“Paling mereka hanya melakukan psywar terhadap kita. Mereka hanya ingin mengucapkan selamat datang,” candaku pada Abdullah.

Sorot mata lelaki tirus itu nampak tak senang mendengarnya. “Ini Gaza, Palestina,” ujarnya. “Israel tidak pernah main-main dengan segala macam psywar. Mereka tak segan-segan menembaki kita semaunya. Tidakkah kau lihat balon udara itu? Mereka sudah tahu kedatangan kita,” ketusnya.

Buumm! Belum usai mulut si ceking ini memuntahkan isinya. Tiba-tiba terdengar dentuman keras agak jauh dari tempat kami. Seperti ledakan bom. Tanah yang kami pijaki bergetar.

Kali ini kami mulai panik, berhamburan turun dari gundukan dan mendekati kuburan. Bergabung dengan warga yang juga nampak gelisah. Berbagai macam omongan terlontar dari mulut orang-orang yang tengah disibukkan dengan urusan jenazah.

Abdullah juga nampaknya kian khawatir. “Lebih baik kita kembali ke Kota Gaza sekarang. Saya tidak mau bertanggung jawab jika terjadi sesuatu terhadap kalian,” gumamnya.

Sementara itu, warga Jabaliya terus melanjutkan pemakaman jenazah di tengah “psywar” Israel. “Beginilah Gaza. Kami sudah terbiasa dengan serangan Israel yang tiba-tiba. Maut adalah bagian dari kehidupan kami,” ujar salah seorang warga dengan lirih.*

Selanjutnya: Sang Penjahat Perang

Foto-foto warga Gaza yang gugur terpampang pada poster di sebuah rumah di Distrik Bait Hanoun, Gaza Utara. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

Baca juga:

Perjalanan Menembus Gaza

‘Santa’ dari al-Arish

Di Gaza Mereka Terdera

Dari Indonesia untuk Gaza

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di

Hamas Kirim Delegasi Gencatan Senjata ke Mesir

JAKARTA – Hamas telah mengirimkan perwakilan mereka untuk mendalami kemajuan