Tak berapa lama, di tengah desak-desakan dengan warga Gaza yang ingin kembali pulang itu, terdengar suara kencang membelah udara, “Andunisi (Indonesia), Andunisi!”
Dari dalam kerumunan terlihat seorang tentara Mesir mendekati kami sambil terus meneriakkan kata-kata ‘Andunisi’ seraya melambaikan tangan. Kami pun bergerak menuju ke arah si serdadu.
“Kalian yang dari Indonesia itu ya?” semburnya begitu kami bertemu.
“Iya,” jawabku.
“Mana paspor kalian. Kumpulkan. Lalu ikuti aku!” ujarnya.
Tak butuh waktu lama mengumpulkan paspor karena kami memang telah menyiapkannya. Setelah kuambil satu-satu per satu paspor kawan-kawan, segera kuserahkan pada si tentara. Ia lantas mengajak kami berjalan menembus gerbang tanpa halangan apapun. Tentara yang berjaga-jaga di pintu gerbang hanya diam saja begitu kami masuk dan berjalan menuju kantor imigrasi Rafah.
Si tentara yang tak mengenalkan namanya itu membawa kami terus memasuki gedung. Sebagaimana beberapa hari sebelumnya, semua barang bawaan kami harus dipindai dulu sebelum memasuki ruang tunggu imigrasi. Usai pemindaian barang, si tentara meminta kami duduk di ruang tunggu. Sementara dirinya bergegas memasuki sebuah ruangan dan tak kembali lagi hingga beberapa saat lamanya.
Pandangan kusapu ke seluruh ruangan yang cukup luas ini. Wajah-wajah warga Gaza yang diizinkan masuk ruang tunggu ini terlihat resah. Aku mencari-cari sosok lelaki yang kami temui di pelabuhan, namun tak juga tampak batang hidungnya. Lelaki yang tak kuketahui namanya itu seolah lenyap tak berbekas. Tak ada tanda-tanda penampakan dirinya. Demikian pula dengan tentara yang membawa paspor kami. Ia belum juga keluar dari ruangan yang ia masuki.
Waktu terasa bergerak lambat. Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan, sangat menyiksa. Sudah hampir satu jam, si tentara belum juga muncul lagi. Entah kemana dia? Kami tak punya pilihan selain tetap menunggu. Tak ada yang bisa dilakukan selain duduk di bangku, berdiri, kemudian duduk lagi, demi membunuh waktu. Untuk bergerak keliling ruangan rasanya berat sekali.
Tiba-tiba sebuah suara khas menyentak kebisuan kami; ‘Andunisi’. Aku bergegas mencari sumber suara itu. Dari sebuah pintu ruangan, keluar seorang lelaki berseragam tentara. Dari mulutnyalah keluar kata-kata ‘Andunisi’. Namun, tentara itu bukan orang yang membawa paspor kami sebelumnya. Ia orang yang berbeda. Saat dia melihatku berdiri, ia langsung melambaikan tangan, memintaku mendatanginya.
“Kamu yang dari Indonesia ya?” mulutnya langsung menodongkan tanya.
“Iya,” jawabku.
“Masuk sini,” ujarnya seraya membawaku memasuki sebuah ruangan.
Selain dirinya, ada lelaki lain di ruangan itu. Lelaki yang juga berseragam putih. Ia duduk di sebuah kursi, kedua tangannya yang tergeletak di atas meja menggenggam tumpukan paspor. Itu adalah paspor kami. Terlihat dari lambang burung Garuda yang tampak menyembul di sela jari-jarinya.
“Kalian berapa orang dari Indonesia?” tanya lelaki itu.
“Kami berlima,” jawabku.
“Apa tujuan kalian datang ke Gaza?”
“Kami adalah relawan yang akan membangun rumah sakit di Gaza.”
“Aku izinkan kalian masuk ke Jalur Gaza, tapi hanya selama tujuh hari. Kalau kalian keluar dari Gaza melebihi tujuh hari, maka kalian akan kujebloskan ke penjara,” ujarnya sedikit ketus.
“Baik, Tuan. Terima kasih,” ucapku.
“Kamu tangan tangan di sini,” ujarnya seraya menyodorkan kertas putih bertuliskan huruf-huruf Arab. “Teman-temanmu juga nanti suruh tanda tangan sesuai dengan nama masing-masing. Kalau sudah, kamu keluar lewat pintu di ujung itu.”
Ia mengembalikan paspor kami yang telah distempel bersama dengan kertas-kertas yang harus ditanda tangani. Aku pun keluar ruangan dan segera menjumpai kawan-kawan. Kubagikan paspor dan meminta mereka membubuhkan tanda tangan di kertas putih, berdasarkan nama masing-masing.
Setelah itu, kami berjalan menuju lorong kecil di ujung gedung. Beberapa tentara berjaga-jaga di lorong ini. Salah satu tentara meminta kertas-kertas yang telah kami tanda tangani, lalu menyuruh kami berjalan mengikuti lorong hingga keluar gedung imigrasi.
Di belakang gedung terdapat sebuah bus yang menunggu penumpang. Seorang petugas meminta kami naik ke dalam bus kecil itu dan membayar ongkos. Tak hanya kami, warga Gaza yang akan kembali pulang juga naik ke bus ini. Bus lalu berjalan perlahan setelah semua kursi penumpang terisi penuh.
Tak sampai dua menit, tiba-tiba bus berhenti. Kami diminta turun dan harus memasuki sebuah gedung lain. Ternyata gedung ini sudah masuk dalam wilayah Palestina, hal ini terlihat dari sebuah tulisan besar di atasnya yang berbunyi, ‘Selamat datang di Palestina’.
Aku menengok ke belakang, gedung imigrasi Mesir itu ternyata dekat sekali dengan gedung imigrasi Palestina ini. Seharusnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tak perlu naik bus. Namun kami tak mau ambil pusing. Yang penting kami telah tiba di wilayah Jalur Gaza, Palestina.
Beberapa petugas imigrasi laki-laki dengan seragam khas Hamas lantas menyambut kami dan memeluk kami satu per satu dengan hangat. Hanya Desi yang tak mendapat pelukan karena dia wanita. Wajah-wajah mereka tampak ramah dan menyebarkan kedamaian. Berbeda sekali dengan apa yang kami alami di gedung sebelumnya yang masuk dalam wilayah Mesir.
Udara panas yang membungkus tanah Palestina ini tak terasa menyesakkan, malah mendadak sejuk. Entah kenapa? Aku tak tahu jawabannya. Para petugas imigrasi Gaza kemudian membawa kami memasuki sebuah ruangan untuk stempel paspor. Setelah semua paspor kami distempel, mereka membawa ke sebuah ruangan. Tampaknya seperti ruangan tamu yang tak seberapa lebar.
Beberapa meja dengan beragam buah dan minuman tertata rapi di atasnya memenuhi tengah ruangan. Kursi-kursi kayu mengitari ruangan itu hampir terisi penuh para tamu. Yang tersisa tinggal lima kursi yang memang disediakan untuk kami. Setelah beramah tamah dengan mereka yang berada di ruangan ini, kami baru tahu ternyata mereka juga relawan kemanusiaan dari berbagai negara Afrika.
Tempat ini bernama Rafah, sama dengan Rafah di pintu gerbang yang masuk dalam wilayah Mesir. Namun aura Rafah di sini jauh berbeda dengan Rafah yang di sana. Di sini kami disambut dengan senyum suka cita penuh cinta.
“Selamat datang di Bumi Palestina. Semoga kunjungan Anda membawa keberkahan bagi kami semua warga Palestina di Jalur Gaza,” demikian ucap seseorang menguluk salam, lantas mempersilakan kami menikmati hidangan ala kadarnya.
Sambil menikmati buah dan minuman segar, sang insinyur menelepon dr Joserizal Jurnalis agar menjemput kami di kantor imigrasi Gaza.
Tak berapa lama kemudian, Joserizal beserta salah seorang relawan datang menjemput kami menggunakan taksi sewaan. Ia sungguh tak percaya bahwa kami benar-benar telah masuk Gaza. Sebab, surat izin dari badan intelijen Mesir sampai saat ini belum jua keluar.
“Bagaimana kalian bisa masuk?” tanya Joserizal padaku saat kami baru saja menghempaskan pantat di bangku mobil.
“Ada ‘Santa’ di al-Arish,” jawabku singkat.
Joserizal terhenyak dalam kekagetan. Sorot matanya yang tajam seolah menuntut lidahku memberi jawaban yang sebenarnya. Aku bergeming, tak melanjutkan kata-kata.
“Benar kan kata saya, untuk masuk Gaza itu susah-susah mudah,” ujarnya seolah menepis rasa penasarannya atas jawabanku. “Jalur resmi tak berhasil, jalur tak resmi malah berhasil. Inilah yang disebut dengan pertolongan invisible hands (tangan-tangan tak terlihat).”
Dan taksi pun melaju ke pusat Kota Gaza dengan kecepatan tinggi.*
Selanjutnya: Di Gaza Mereka Terdera

Baca juga: