1 year ago
12 mins read

‘Santa’ dari al-Arish

Pantai Mina Jalur Gaza, Palestina. (Foto: Dok. Chairul Akhmad)

Namanya Osama al-Mahamid. Ia adalah Manajer ACA Shipping Groups, yang bertanggung jawab atas pengiriman bantuan dari Libya ke Gaza. Ia menuturkan, saat Kapal Amalthea mencoba mendekati pantai Gaza, patroli angkatan laut Israel langsung mencegat dan mengancam akan melakukan serangan.

Namun, Amalthea tetap nekat melaju mendekati bibir pantai. Hal ini membuat militer Israel sewot. “Jika kalian mendekati Gaza, akan kami tembak,” demikian ancaman Israel lewat pengeras suara dari kapal perang.

ACA Shipping Groups adalah perusahaan pemilik kapal yang disewa oleh Saiful Islam Qaddafi—putra Presiden Libya yang juga pemimpin QICDF—untuk mengirimkan bantuan ke Gaza. “Namun kami tidak takut. Justru mereka yang penakut. Mereka hanya berani memprovokasi dan menebar ancaman,” kata Osama.

Melihat kenekatan Amalthea, pasukan patroli Israel yang terdiri dari empat kapal perang dan satu helikopter mulai mendekat hingga jarak beberapa meter saja. Kapal perang Israel berputar-berputar mengelilingi Amalthea, sementara helikopter hanya bermanuver di udara.

“Kami tetap gigih dan tidak gentar. Melihat kami nekat, mereka kembali berteriak-teriak mengancam akan menyerang,” tutur Osama.

Angkatan laut Israel nampaknya naik pitam dan mulai melepaskan tembakan ke udara. “Cahaya dan sinar putih bertebaran di angkasa. Mungkin suasananya mirip dengan kapal Mavi Marmara,” kata Osama dengan senyum dikulum.

Melihat situasi yang mulai tegang, Osama dan anak buahnya tak mau mengambil risiko. Mereka memutuskan mundur dan menepi di perairan Mesir. Osama melakukan kontak dengan otoritas Pelabuhan al-Arish dan meminta izin berlabuh.

Bak gayung bersambut, otoritas Pelabuhan al-Arish segera mempersilakan Amalthea bersandar. “Warga Mesir menyambut gembira kedatangan kapal ini. Mereka senang bisa membantu menyalurkan bantuan Libya ke Gaza melewati pintu gerbang Rafah,” kata Osama.

Begitu mendarat, isi kapal tak serta merta diturunkan karena harus menunggu truk kontainer yang akan mengangkutnya ke Gaza. Begitu telah truk telah terkumpul, isi perut kapal pun segera dibongkar. Proses bongkar muat berlangsung hingga dua hari dan membutuhkan 22 truk untuk menguras habis isi kapal.

Otoritas Pelabuhan al-Arish juga menyambut baik seluruh awak kapal maupun para relawan asal Libya tersebut.

“Kami di sini disambut dengan ramah dan hangat. Warga al-Arish bangga karena pelabuhan mereka dapat digunakan sebagai tempat bongkar muat bantuan kemanusiaan yang dikirim Libya,” kata salah seorang relawan bernama Azis.

Walau demikian, tak semua truk langsung bisa menembus Rafah. Pemberangkatan truk ke kota yang telah tiga tahun lebih diblokade Israel itu berangkat satu per satu dalam rentang waktu hingga satu jam.

“Ini untuk mempermudah proses pemeriksaan di Rafah hingga gampang disalurkan ke Gaza,” kata salah seorang pejabat pemerintah al-Arish yang enggan disebutkan namanya.

Menurut sang pejabat, walau pintu gerbang Rafah telah dibuka, namun tak berarti proses keluar masuknya orang maupun barang akan mudah. Hal ini tak lepas dari kondisi keamanan yang belum terlalu kondusif.

“Kita sangat ingin membantu warga Gaza yang merupakan saudara kami, namun kami juga harus berhati-hati dalam melakukan proses tersebut. Ada situasi dan kondisi tertentu yang memang menuntut kita untuk berlaku demikian,” lanjutnya.

Merasa liputan sudah sudah cukup, kami pun keluar dari Pelabuhan al-Arish. Di dekat gerbang, lelaki itu ternyata sudah menunggu. Ia membawa kami keluar dari pintu gerbang, sementara para petugas jaga, masih dalam sikap sama. Diam tanpa suara.

Hanya beberapa meter dari gerbang pelabuhan, sang lelaki menghentikan langkah lantas menatapku sembari berucap, “Jadi benar kalian ingin masuk ke Jalur Gaza?”

“Iya, Tuan,” jawabku yang juga diamini kawan-kawan lain.

“Kalau begitu, besok jam 10.00 pagi kalian sudah ada di perbatasan Rafah. Nanti akan ada yang membawa kalian melewati imigrasi Rafah dan masuk ke Gaza,” ujarnya singkat lantas kembali memasuki pelabuhan.

“Terima kasih,” ucap kami berbarengan. Ia tak menjawab dan menoleh ke arah kami. Tubuh besarnya menghilang di balik tembok pos jaga pelabuhan.

Tak jauh dari tempat kami berdiri, ternyata Abdullah, si sopir taksi, sudah menunggu dengan mobilnya di dekat trotoar. Ia lantas mendekat, dan membawa kami kembali ke Hotel Palestina.

“Bagaimana dengan tawaran Bapak tadi?” tanyaku pada kawan-kawan, saat mobil melibas jalanan menuju al-Arish. “Apakah besok jam 10.00 kita langsung ke Rafah tanpa menunggu lagi surat dari Kairo?”

Anton dan Sadudin mengangguk setuju. Sementara Desi masih belum yakin. Namun setelah kuyakinkan, bahwa tadi saja orang itu bisa membawa kita masuk pelabuhan, apa salahnya kita besok coba kembali Rafah. Kalau memang tak bisa masuk, ya sudah, tinggal balik lagi ke al-Arish. Di sana kita menunggu lagi sampai benar-benar izin dari Kairo keluar.

Akhirnya, kami pun sepakat untuk berangkat ke Rafah keesokan harinya. Abdullah kami minta menjemput di hotel pada pukul 09.00. Sopir yang penghapal al-Quran itu pun menyanggupi.

“Oya, siapa ya nama orang tadi?” Desi mengajukan tanya.

Aku tercekat kaget. Lupa bertanya siapa namanya dan apa jabatannya? Dan bagaimana besok kami akan menemukannya di Rafah?

“Moga saja besok ada keajaiban,” kataku kepada kawan-kawan. “Dan kita pada akhirnya bisa masuk Gaza. Amin.”

“Amin,” timpal mereka serentak dengan penuh kesungguhan.

Masuk Gaza

Tepat seperti yang dijanjikan kemarin, Abdullah telah nongol di depan pintu hotel pada pukul 09.00 pagi. Kebetulan kami juga telah sepakat untuk membawa semua peralatan dan perlengkapan, lantas check out dari hotel.

Kami juga telah menuturkan apa yang kami alami kemarin pada insinyur MER-C yang tak ikut dengan kami ke pelabuhan. Ia memang bertugas menunggu informasi soal surat dari Kairo.

“Baiklah, kalau begitu,” kata si insinyur. “Jika memang kalian berniat langsung check out dan berangkat ke Rafah. Aku ikut saja.”

Begitu semua barang bawaan telah dinaikkan ke taksi, Abdullah pun membawa kami keluar dari al-Arish. Aku minta dia kali ini agar tancap gas sedikit biar kami tak terlambat tiba di Rafah.

Tanpa berpanjang harakat, si hafizh (penghapal Quran) itu langsung menggeber mobilnya. Sekitar setengah jam kemudian, kami pun telah tiba di pintu gerbang Rafah. Lautan manusia masih terlihat menyesaki jalanan dan sekitar pintu gerbang. Sama seperti beberapa hari yang lalu.

Kami meminta Abdullah untuk memarkir mobil di tempat yang agak dekat dengan gerbang. Hal ini demi memudahkan kami terlihat oleh si lelaki dewa penolong itu. Kami lantas keluar dari mobil dan langsung mengeluarkan barang-barang bawaan.

Setelah membayar Abdullah dan mengucapkan terima kasih, kami pun melangkah mendekati pintu gerbang dengan perlahan. Mengikuti arus manusia yang juga berebut menuju dinding pembatas itu.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Duka Cita PP Muhammadiyah atas Kematian Yahya Sinwar

JAKARTA – Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan rasa duka cita

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88