1 year ago
5 mins read

Perjalanan Menembus Gaza

Dari kiri ke kanan: Anton Saputra (TV One), Joserizal Jurnalis (Ketua Presidium MER-C), Chairul Akhmad, Desi Fitriani (Metro TV). (Foto: Dok Chairul Akhmad)

Perjalanan ke Gaza rencananya akan kami tempuh melalui jalur darat, melewati al-Arish. Namun sebelum berangkat ke al-Arish, kami terlebih dahulu disambut dan dijamu oleh Duta Besar Indonesia untuk Mesir, AM Fachir.

Dalam sambutannya, Fachir berharap perjalanan MER-C ke Gaza akan lancar dan tidak menemui hambatan.

“Kami telah mencoba membantu semaksimal mungkin dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Semoga perjalanan ke Gaza tidak mengalami gangguan atau hambatan,” harap sang Dubes.

Sebelumnya, memang telah beredar kabar bahwa kemungkinan masuk ke Gaza cukup sulit, walau pintu gerbang perbatasan Rafah dibuka. Situasi ini sempat mengkhawatirkan kami. Walau demikian, kami bertekad untuk tetap masuk Gaza dengan segala daya dan upaya.

Usai makan siang bersama di kantin KBRI Kairo, pada pukul 14.00 waktu Mesir, kami yang kini disebut Relawan MER-C berangkat ke al-Arish menggunakan minibus sewaan.

AM Fachir sendiri yang melepas keberangkatan kami dengan rona wajah berjuta makna. Aku tak mampu menebak selapis pun apa yang tersimpan di balik lipatan wajah itu.

Perjalanan dari Kairo ke al-Arish kami tempuh dalam waktu sekitar lima jam. Jarak antara kota terdekat dengan pintu Rafah ini dengan Kairo sekitar 500 kilometer. Di al-Arish kami menginap di Hotel Palestina untuk kemudian langsung berangkat ke Rafah keesokan harinya.

Pagi itu, sekitar pukul 11.00, suasana di gerbang Rafah sangat padat. Lalu-lalang warga yang akan masuk ke Gaza tampak berjubel di depan pintu gerbang.

Aparat keamanan yang terdiri dari polisi dan tentara Mesir sibuk mengawasi dengan ketat kerumunan orang yang berlomba-lomba menembus pintu gerbang.

Kami pun demikian, terjebak dan turut mengantre di antara kerumunan manusia yang akan menyeberang perbatasan. Sebagian besar para pelintas batas ini adalah warga Gaza yang baru kembali dari Kairo atau al-Arish.

Begitu lolos dari pemeriksaan di pintu gerbang, kami harus melewati kantor imigrasi yang merupakan pintu keluar Mesir yang berbatasan dengan Gaza, Palestina.

Pemeriksaan di sini lebih ketat daripada di pintu gerbang. Setelah melalui proses pemeriksaan panjang yang memakan waktu hingga empat jam lamanya, hanya lima orang yang diperbolehkan masuk.

Sementara lima relawan lainnya, termasuk aku, seorang insinyur MER-C, dan tiga jurnalis dari stasiun televisi swasta ditolak masuk Gaza. Alasannya, kami belum mendapatkan surat izin dari badan intelijen Mesir.

Tak mau menunggu lama dan terjebak dalam penantian panjang tanpa tepi, kami berlima kembali ke al-Arish. Menunggu hingga surat izin yang dimaksud keluar.

Entah kenapa, tiba-tiba wajah Fachir menyeruak. Memblokade pandanganku yang tertuju pada tanah kering di sebelah kanan jalan yang membentang lurus ke al-Arish, kala mobil bergerak pelan.

Hingga tiga hari lamanya, surat yang dimaksud tak jelas juntrungannya. Sementara pihak KBRI mengaku telah berupaya melobi kementerian luar negeri dan badan intelijen Mesir, namun belum menampakkan tanda-tanda yang menggembirakan.

‘Kapal Harapan’ yang diserang

Di tengah penantian yang tak berujung ini, pada Jumat (16/7/2010), muncul kabar bahwa kapal bantuan kemanusiaan dari Libya merapat di Pelabuhan al-Arish karena tak diizinkan masuk Jalur Gaza oleh pemerintah Israel.

Kapal kargo bernama Amalthea ini membawa bantuan dari Qaddafi International Charity and Development Foundation (QICDF).

Kapal kargo itu membawa 1.800 ton bantuan kemanusiaan yang terdiri dari bahan makanan seperti susu, gula, beras, minyak goreng dan obatan-obatan. Total penumpang kapal berjumlah 21 orang yang terdiri dari 12 awak kapal dan 9 relawan QICDF.

Namanya wartawan, apalagi saat meliput di luar negeri, segala hal yang cukup menarik harus dijadikan berita. Demikian pula dengan kami berempat.

Tak perlu berpusing tujuh keliling, kami segera cabut ke pelabuhan. Menumpang taksi sewaan yang biasa mangkal dekat hotel tempat kami menginap.

Sang sopir taksi bernama Abdullah yang ternyata alumnus Universitas al-Azhar Kairo itu, membawa kami menuju pelabuhan dengan kecepatan sedang.

Sebelumnya, kami juga telah menyewa dia untuk menjadi sopir tetap selama kami menginap di Hotel Palestina yang mungil itu.

Gerbang Rafah yang memisahkan antara wilayah Mesir dan Palestina. (Foto: Chairul Akhmad)

Selanjutya: ‘Santa’ dari al-Arish

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Implikasi Perang Israel-Iran

JAKARTA -Situasi geopolitik Timur Tengah memanas setelah pecah perang terbuka

Duka Cita PP Muhammadiyah atas Kematian Yahya Sinwar

JAKARTA – Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menyampaikan rasa duka cita
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88