4 months ago
5 mins read

Perjalanan Menembus Gaza

Dari kiri ke kanan: Anton Saputra (TV One), Joserizal Jurnalis (Ketua Presidium MER-C), Chairul Akhmad, Desi Fitriani (Metro TV). (Foto: Dok Chairul Akhmad)

KAIRO – ‘Operation Cast Lead’ demikian sandi operasi militer Israel yang digelar di Gaza, Palestina, akhir 2008 silam.

Beberapa malam setelahnya, ketika dunia tengah berpesta menyambut Tahun Baru 2009 dalam gemerlap kembang api yang membelah langit malam, Gaza berduka didera hujan rudal dan bom yang meluluhlantakkan kota.

Serangan Israel ke Gaza yang berlanjut beberapa bulan lamanya setelah itu, termasuk dalam operasi militer skala besar yang digelar Negeri Zionis ke Jalur Gaza. Wilayah Palestina berupa enclave padat yang dihuni sekitar 1,5 juta jiwa ini terpisah dari bagian Palestina lain; Tepi Barat.

Dampak serangan Israel ini tentu saja menyisakan kematian manusia dan kehancuran di hampir tiap sudut kota. Gencatan senjata pada akhirnya sejenak mampu meredam amuk dan jual beli tembakan di wilayah tepi laut itu.

Saatnya, negara-negara di dunia maupun lembaga kemanusiaan tergerak menghantarkan bantuan demi meringankan beban warga yang dibekap lara.

Demikian pula yang dilakukan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), salah satu lembaga kemanusiaan yang cukup terkenal di tanah air. Lembaga ini telah banyak berbuat dalam membantu masyarakat yang menjadi korban, entah akibat bencana ataupun konflik berdarah.

MER-C berupaya sekuat tenaga agar segera bisa berkunjung ke Gaza demi menyalurkan bantuan kemanusiaan yang dititipkan rakyat Indonesia.

Tak hanya obat-obatan, makanan ataupun pakaian, MER-C bahkan berniat mendirikan rumah sakit di sana. Sebuah rumah sakit traumatologi yang dibutuhkan masyarakat yang wilayahnya rawan disapa perang.

Akhirnya, setelah berbulan-bulan mencoba membuka akses agar dapat menembus Gaza, kesempatan itu datang di tahun berikutnya, tepatnya pada pertengahan 2010. Dan berikut adalah kisah perjalananku meliput ke Jalur Gaza, saat masih bekerja di Majalah Sabili.

Keinginan menulis kembali perjalanan yang kutempuh belasan tahun lalu tak lepas dari makin memburuknya kondisi Gaza saat ini, terutama di Rafah yang bisa disebut sebagai ‘The Last Fortress’ atau ‘Benteng Terakhir’.

Dalam ingatanku, saat dulu menulis tentang Rafah, tempat ini adalah…

Dinding terakhir yang memisahkan Palestina dengan Mesir, negeri tetangga—yang karena satu dan banyak hal—tak bisa disebut ramah untuk mau menyodorkan tangan pada saudaranya.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika Rafah dibombardir Israel, maka seluruh penduduk Gaza yang mengungsi di sana bakal tumpas tandas, terkubur dalam lubang genosida tak terperikan.

Padahal, Rafah adalah satu-satunya tempat berpijak, di saat seluruh wilayah Gaza porak-poranda dihantam badai operasi militer yang kini bertajuk ‘Swords of Iron’ atau ‘Pedang Besi’.

Invasi besar-besaran Israel kali ini bermula sejak Hamas menggelar serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Tampaknya Israel memang benar-benar bernafsu melumat Gaza secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dengan tangan besi yang memegang pedang besi.

Bukan TSM ala gugatan di sebuah mahkamah karena ada pihak-pihak yang jadi pencundang dalam suatu kontestasi. TSM-nya ‘Pedang Besi’ berbuah petaka, sementara TSM-nya gugatan di mahkamah itu, hanya berbuah kecewa. Itu pun hanya beberapa jenak. Selanjutnya, akan berakhir dengan sikap menerima dan saling mengetuk pintu.

Dampak amuk Israel benar-benar mengerikan. Dalam lima bulan ini, Gaza tak hanya luluh lantak, tapi juga lumat di titik terdalam nestapa akibat bengisnya maut yang disebar serdadu Zionis.

Dan di Rafah, di ‘Benteng Terakhir’ itu, warga Gaza hanya menunggu waktu untuk menyusul saudara mereka yang telah berdamai dengan ajal dan berkalang tanah.

Rafah. Sebenarnya adalah nama kota di sebuah perbatasan. Memecah dua wilayah yang dulunya satu. Tempat yang memisahkan manusia ini ditandai dengan sebuah pintu gerbang besi berjeruji. Seolah belenggu di satu sisi, dan kebebasan di sisi yang lain.

Perbatasan Rafah, demikian orang kerap menyebutnya, terletak sekitar 40 kilometer dari al-Arish—sebuah kota di utara Mesir yang tak seberapa luas. Sebagaimana halnya palang perbatasan, seharusnya ia bisa dilalui siapa saja, asal memenuhi segala syarat aturan manusia.

Namun, tidak demikian dengan Rafah. Ada kondisi tertentu yang membuatnya istimewa dan menjadi sorotan dunia. Salah satunya adalah karena ia adalah jalan masuk ke Kota Gaza, Palestina.

Dan setiap yang berhubungan dengan Palestina harus diperlakukan ‘serba lebih’, karena dianggap dapat menyusahkan bangsa lainnya.

Rafah bukanlah sembarang perbatasan. Ia dapat menjadi mesin pembunuh sekaligus pencipta kehidupan suatu kaum. Bagi Bangsa Palestina, Rafah kerap memupus harapan mereka.

Dan hari-hari ini, Rafah kemungkinan akan jadi penentu berakhir atau tidaknya lakon manusia yang hidup di Gaza.

Sebuah perjalanan

Pesawat Singapore Airlines yang membawaku bersama seorang jurnalis dari TV One dan dua orang dari Metro TV serta enam relawan MER-C itu, tinggal landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Selasa (13/7/2010), pukul 17.00 WIB.

Perjalanan ke Mesir dilalui dengan dua kali transit; di Singapura dan Dubai. Keesokan harinya, Rabu (14/7/2010) pukul 07.00 waktu Mesir atau pukul 11.00 WIB, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Kairo.

Di pintu keluar bandara kami dijemput oleh beberapa staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo, kemudian diantar menuju kantor KBRI menggunakan minibus. Lalu lintas Kairo terlihat lengang pagi itu. Negeri Piramida ini belum menampakkan wajah aslinya.

“Aktivitas warga Mesir dimulai pukul 10.00 atau 11.00, karena saat ini tengah musim panas,” ujar Amir Syaifuddin, salah seorang staf KBRI Kairo, ketika bus keluar meninggalkan bandara.

Kata-kata Amir itu terucap seolah menjawab penasaran kami yang terlihat bingung melihat jalanan yang lengang melalui jendela kaca.

Misi MER-C ke Gaza kali ini adalah untuk melanjutkan misi sebelumnya yang masih belum tercapai, yaitu membangun rumah sakit di Gaza, tepatnya di Distrik Bait Lahiya.

Pemerintah atau otoritas Palestina di Gaza telah menyediakan tanah wakaf seluas 1,5 hektare di lokasi yang terletak di bagian utara itu.

Rencananya, rumah sakit ini nantinya akan diberi nama Rumah Sakit Indonesia, karena pembangunannya didanai secara penuh oleh warga Indonesia yang peduli Gaza.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Israel dan Hezbollah Saling Serang

JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan urusan

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di