5 months ago
3 mins read

Reformasi Putar Balik

Acara People's Water Forum 2024 di Denpasar diintimidasi massa PGN. (Foto: YLBHI)

JAKARTA – Hari ini menandai 26 tahun lahirnya era Reformasi, sebuah tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Namun, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melihat kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu kini kian terancam.

“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan,” papar Usman di Jakarta, Selasa (21/5/2024).

Usman menyebutnya sebagai reformasi putar balik. “Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita reformasi,” sambungnya.

Usman menilai cara-cara represif yang lazim terjadi di Orde Baru, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul masih terjadi hingga kini.

Ia menuturkan, pada Senin 20 Mei, sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN)menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali.

Dalam video yang diperoleh Amnesty, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai “forum tandingan” World Water Forum (WWF) yang digelar di Nusa Dua.

Massa yang menuding panitia diskusi “melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali” lalu merobek dan merampas atribut acara dan melakukan kekerasan kepada peserta forum.

Sumber Amnesty juga menyebutkan, massa PGN sebelumnya telah beberapa kali datang dan meminta pembatalan PWF 2024. Padahal PWF 2024 adalah forum masyarakat yang ditujukan sebagai ruang untuk mengawasi privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat.

Sebelumnya, aparat negara juga meminta pembatalan agenda PWF kepada panitia dan pengelola beberapa tempat yang sayangnya dengan cara-cara intimidasi.

“Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan. Kesan meminjam tangan-tangan massa non-negara yang membenturkan demi mengamankan acara internasional juga kuat,” ujar Usman.

“Kami mendesak pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan,” tegasnya.

Upaya membungkam pers lewat RUU Penyiaran

Usman menyatakan upaya pembungkaman kebebasan pers seperti di Orde Baru juga dipraktikkan. Yang terkini adalah upaya mengebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Contohnya, Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik.

“Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik,” kata Usman.

Pengusutan pelanggaran HAM berat jauh dari harapan

Usman melanjutkan, saat membiarkan kebebasan sipil kian tergerus, negara tampaknya juga masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden Joko Widodo, kata dia, di bulan-bulan akhir masa pemerintahannya, gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023 lalu.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998, khususnya perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil, hingga kini belum diusut tuntas.

Tragedi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota selama 13-15 Mei 1998 menimbulkan dampak serius bagi korban dan warga masyarakat secara luas, dengan memakan korban lebih dari 1.000 jiwa. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu masih belum diusut tuntas.

“Juga terjadi kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998,” kata Usman.

Menurut catatan Amnesty International, pada Juni 1998, Tim Relawan untuk Kemanusiaan merilis laporan yang mengklaim bahwa 168 perempuan—sebagian besar di antaranya adalah etnis Tionghoa—diperkosa atau mengalami pelecehan seksual selama kerusuhan pada Mei 1998.

“Pengungkapan kasus perkosaan massal ini masih samar. Apa yang terjadi? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Selain merugikan korban secara fisik, kasus ini juga merusak kehormatan secara emosional dan psikologis,” lanjut Usman.

Ia meminta para pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan, terutama dalang-dalangnya, harus diadili. Kegagalan negara dalam mengusut kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bisa terjadi tanpa konsekuensi.

“Hal ini tidak hanya merampas hak setiap individu untuk hidup aman, tetapi juga menciptakan rasa takut dan trauma yang berkelanjutan, khususnya bagi warga Tionghoa,” ujarnya.

Begitu pula dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Hingga kini, langkah konkret dari pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, untuk mengusut kasus-kasus tersebut masih belum terdengar. Begitu pula masih banyak pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang belum terpenuhi.

Situasi ini menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus  pelanggaran HAM berat. Akhirnya ini memperkuat kesan bahwa negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain.

Menurut Usman, ketidakpastian dalam kelanjutan proses hukum dan non-hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat berpotensi memperpanjang penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh para korban dan keluarga mereka.

Negara tidak boleh mengesampingkan, apalagi menghentikan proses yudisial dan non-yudisial terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama para pelakunya masih melenggang bebas.

Kejaksaan Agung juga harus mengambil langkah konkret untuk segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Usaha penyelesaian non-yudisial juga tetap harus terus dilakukan, dan hak-hak korban serta keluarga mereka harus segera dipulihkan.

“Ini merupakan langkah awal yang penting dalam menjunjung tinggi keadilan bagi para korban dan keluarga mereka,” tandas Usman.*

Baca juga:

Pegiat HAM Minta Kasus Penyiksaan OAP Diusut Tuntas

Pemerintah dan Komnas HAM Diduga Langgar Hak Ribuan Buruh Freeport

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pemerintah Cabut Izin PT Mayawana Persada

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Protes MotoGP Mandalika Dibungkam

JAKARTA – Amnesty International Indonesia menyebut pengerahan aparat keamanan skala

40 Tahun Impunitas Tragedi Priok: Kebijakan Pancasila yang Belum Terkoreksi

JAKARTA – Memperingati 40 tahun terjadinya tragedi Tanjung Priok, Amnesty