JAKARTA – Lahir dari rahim kekacauan sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh Perang Dunia Satu di Eropa, partai-partai beraliran Fasisme menjelma jadi suatu kekuatan politik yang kuat dan berpengaruh di sana pada awal abad ke-20.
Tapi pengaruhnya tidak terbatas di Benua Eropa saja, melainkan menyebar ke tempat-tempat lainnya di dunia. Termasuk, salah satunya adalah Indonesia.
Pada 1933, terinspirasi oleh Adolf Hitler, pemimpin Partai Nasional-Sosialis (Nazi) di Jerman waktu itu, seorang priyayi Jawa bernama Dr RP Notonindito mendirikan Partai Fasis Indonesia (PFI).
Partai tersebut merupakan yang pertama dan mungkin satu-satunya mengusung ideologi fasisme, khususnya nasional-sosialisme di Indonesia,
Di tengah-tengah pergolakan dunia dan kehidupan masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda, Notonindito ingin mengembalikan kejayaan Kerajaan Mataram dan Majapahit.
Semakin memperkuat cita rasa fasismenya, PFI didirikan oleh seorang pribumi di tanah Jawa. Maka tidak berlebihan jika partai bentukan Notonindito disebut sebagai gerakan fasisme Jawa.
Kendati mendapatkan inspirasi dari Hitler dan Partai Nazi di Jerman, Notonindito tidak sepenuhnya mendasarkan PFI kepada fasisme di sana.
Bukan fasisme Nazi
Wilson dalam buku Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme menjelaskan gagasan-gagasan Notonindito memiliki akar kebudayaan Jawa.
“Ide-idenya tidak bersumber pada Nazi, melainkan pada kebudayaan Jawa,” terangnya.
Notonindito dan PFI-nya juga berbeda pendapat mengenai kekuasaan dan bentuk negara dengan Hitler dan Partai Nazinya.
“PFI menghendaki sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja, sedangkan Nazi menghendaki kekuasaan partai Tunggal, yaitu Partai Nazi,” tulis Wilson.
Sayangnya atau malah untungnya, PFI tidak berumur panjang. Pemikiran-pemikiran mereka dianggap terlalu ekstrem. Sehingga, mereka ditentang oleh kelompok-kelompok pergerakan lainnya, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI).
Notonindito dan PFI juga mendapatkan serangan yang keras dari kalangan pers saat itu.
Bahkan, Pandji Timoer mencurigai kehadiran PFI akan membunuh aliran revolusioner di Indonesia.
Oleh karena itu, PFI dibubarkan pada tahun yang sama ketika pendiriannya. Notonindito juga tidak pernah muncul lagi dalam kancah perpolitikan nasional.* (Bayu Muhammad)