5 months ago
2 mins read

PKI Jadi Pragmatis setelah Peristiwa Madiun 1948

Tokoh PKI Amir Sjarifoeddin. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Awal 1950-an merupakan masa yang buruk bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaannya babak belur, organisasinya hancur lebur.

Sekitar 36 ribu anggotanya ditangkap karena terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Beberapa tokoh pentingnya seperti Amir Sjarifoeddin dieksekusi mati.

Masa-masa itu merupakan persimpangan antara hidup dan mati bagi PKI. Tapi berbeda dengan 1965, partai berlogo palu dan arit itu berhasil selamat. Sikap pragmatis pemimpin-pemimpinnya menarik PKI dari jurang ambang kehancuran.

Adalah tugas Dipa Nusantara (DN) Aidit untuk memperbaiki keadaan dan menyelamatkan partai. Dan ia berhasil melakukan tugas sulit tersebut melalui kompromi kepada Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran nasionalis.

Kesempatan Aidit datang ketika perpolitikan Indonesia dibuat lumpuh oleh jatuh-bangunnya pemerintahan era Demokrasi Liberal.

Perbedaan ideologis dan kebijakan yang terlalu tajam antara partai-partai mengakibatkan mereka dengan mudahnya menarik dukungan dari kabinet-kabinet yang silih berganti.

Saat itu, partai-partai yang ada sibuk mencari dukungan yang diperlukan untuk menyusun dan menjalankan suatu kabinet. Di sini terjadi gayung bersambut antara PKI dan PNI.

Pencarian PNI untuk dukungan dari partai-partai lain menjadikan PKI dilirik. Dan PKI menanggapi lirikan itu dengan memutuskan beraliansi dengan PNI di parlemen.

Setidaknya hingga terjadinya Peristiwa Madiun 1948, PKI cenderung berdiri sebagai kekuatan politik tersendiri. Dengan kebanggaan dan rasa percaya diri akan kekuatannya dan posisinya di masyarakat. Tapi anggapan itu dibantahkan ketika para pimpinan dan anggota ditangkapi atas tuduhan memberontak terhadap pemerintah.

Kini, PKI mengubah posisinya itu jadi apa yang disebut oleh mereka sebagai ‘rezim nasional’. Jose Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965 menjelaskan posisi tersebut sebagai ‘pengakuan terhadap keabsahan beberapa tujuan nasionalisme radikal’.

Artinya, PKI tidak hanya mengakui kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga kelompok nasionalisme radikal di PNI. Oleh karena itu, mereka siap untuk mewadahi aliansi antara diri mereka sendiri dengan PNI.

Wacana ‘rezim nasional’ tersebut diwujudkan ketika PKI memberi dukungan terhadap pembentukan kabinet pemerintahan oleh Ali Sastroamidjojo I, seorang PNI pada 1953.

Bersama dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU), PKI menaruh badan di belakang kabinet Ali. Di sana, mereka membela kabinet dari serangan-serangan Partai Masyumi dan PSI yang beroposisi.

Salah satunya adalah ketika Masyumi mengadakan demonstrasi unjuk kekuatan di Jakarta pada Februari 1954, PKI-PNI mengadakan aksi tandingan.

Kemudian, PKI dan organisasi serikat buruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang terafiliasi dengannya membela pemerintahan saat mereka didemo oleh KBSI pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI) karena masalah ekonomi pada Mei 1955.

PKI dan SOBSI mengecam demonstrasi itu sebagai tindakan reaksioner, anti kelas pekerja, dan upaya-upaya sabotase terhadap negara.

Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia 1951-1963 menjelaskan keuntungan yang diperoleh PKI dari sikap dan tindakannya mendukung PNI.

Menurutnya, keuntungan PKI beraliansi dengan PNI sangat jelas, yaitu ‘kebebasan dari represi pemerintah, mengembalikan kehormatan partai (setelah Peristiwa Madiun 1948), dan (pecahnya) kubu non-komunis dan anti-komunis’.

Dan itu semua mendatangkan dampak yang nyata kepada PKI. Partai tersebut mengalami pertumbuhan yang pesat selama Kabinet Ali I memerintah. Keanggotaannya bertambah dari 130 ribu orang menjadi hampir satu juta orang. Hal itu dimungkinkan oleh berkurangnya larangan dan campur tangan pemerintah terhadap aktivitas-aktivitas PKI.

Kemudian, pejabat-pejabat PKI dapat muncul kembali di permukaan. Setelah tiarap usai gagalnya pemberontakan komunis di Madiun 1948, mereka kini PKI kini dapat tampil saat bekerja sama dengan kaum nasionalis melawan sisa-sisa imperialisme Belanda di Indonesia.

Dukungan PKI itu memungkinkan Kabinet Ali Sastroamidjojo I untuk bertahan selama dua tahun. Hal itu menjadikan kabinet tersebut memiliki umur terlama setelah Kabinet Zaken Djuanda yang didirikan beberapa tahun kemudian.

Tapi bukan berarti PKI memberikan dukungannya secara cuma-cuma. Partai itu juga mempercayakan agenda-agenda revolusioner kepada PNI. Selain itu, PKI juga mengkritik kabinet Ali dalam berbagai kesempatan.

Secara keseluruhan, pragmatisme PKI dalam mendukung PNI telah menyelamatkan dan membesarkan partai.

Mendekati tahun 1955, kondisi PKI jauh berbeda dari tahun 1948. Partai tersebut tidak lagi jadi partai yang lemah, tapi berhasil menghadapi tantangan eksistensialnya dan menjadi kekuatan politik yang dipertimbangkan di Indonesia.* (Bayu Muhammad)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Penjelasan Sukarno tentang Peristiwa Gerakan 30 September

JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan kejadian yang

Perdebatan Petinggi Masyumi dengan Musso

JAKARTA – Pada 8 September 1948 pagi hari, beberapa saat