Selain itu, diplomasi yang dilakukan oleh berbagai negara Arab, termasuk Mesir, Turki, dan Yordania masih belum membuahkan hasil yang manis. Konflik Israel-Palestina yang mengakibatkan peperangan dan kematian di Jalur Gaza belum juga berakhir.
Di sini kita dapat melihat kecacatan dalam argumen pihak-pihak yang menginginkan agar Jakarta membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv dalam rangka menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Pertama, dikatakan bahwa Gus Dur merasa pihak-pihak yang ia temui dari elemen Yahudi, Arab, Muslim, dan Kristen menginginkan perdamaian.
Nyatanya, konflik antara Israel-Palestina terkini yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa tidak mencerminkan adanya keinginan, terutama dari Israel untuk berdamai.
Kedua, dikatakan pula bahwa Gus Dur percaya Indonesia bisa mengupayakan perdamaian Israel-Palestina jika melakukan peresmian hubungan diplomatik dengan negara berbendera bintang Daud itu.
Kepercayaan tersebut dipatahkan oleh fakta bahwa negara-negara yang melakukan peresmian hubungan diplomatik dengan Israel, terutama Mesir dan Yordania masih belum dapat mengakhiri konflik dan mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Padahal, seperti dalam kasusnya Mesir dan Yordania, mereka telah berhubungan dengan Israel sejak lama. Tapi belum dapat mendatangkan hasil yang memuaskan bagi rakyat Palestina.
Harus kita akui Gus Dur punya segala pembenaran untuk membuka hubungan Indonesia dengan Israel. Gus Dur juga tidak salah apabila berharap Indonesia dapat berkontribusi mengakhiri konflik Israel-Palestina waktu itu.
Tapi sayangnya keadaan sudah berubah. Optimisme dan euforia perdamaian yang dialami Gus Dur telah berubah menjadi pesimisme dan kesedihan dunia melihat bangsa Palestina digempur oleh Israel.
Harapan kemerdekaan Palestina yang diwujudkan melalui pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel telah sirna. Sejarah menjadi buktinya.
Oleh karena itu, posisi Indonesia kini sudah benar. Seperti yang disampaikan oleh pihak pemerintah, seperti Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka.
Israel telah berulangkali gagal menetapi komitmennya menghentikan konflik dan berdamai dengan Palestina habis menerima tunas pohon zaitun perdamaian yang diulurkan oleh negara-negara lain.
Kini, waktunya mereka mengulurkan tunas pohon zaitan perdamaian itu, dalam bentuk kemerdekaan Palestina sesuai dengan rencana solusi dua negara, kepada dunia. Baru setelah rakyat Palestina diberikan kemerdekaannya, Indonesia bisa membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Jika Gus Dur masih hidup, ia mungkin akan menarik kembali rencananya mendamaikan Indonesia dengan Israel. Sebab, Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang berusaha meresapi pikiran dan perasaan dunia di sekitarnya sebelum akhirnya membuat suatu kebijakan.
Ia tidak akan ingin Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum semua pihak meletakkan senjatanya dan siap untuk kembali berdamai.* (Bayu Muhammad)
