JAKARTA – Malaysia kini dikenal sebagai negara dengan politik berbagi kekuasaan antara warga-warganya yang beretnis Melayu, Tionghoa dan India. Dengan etnis Melayu yang mendominasi, tapi masih memberikan ruang bagi keterlibatan warga-warga dari etnis lainnya.
Ciri-ciri tersebut sudah ada sejak Malaysia belum merdeka dan masih berada di bawah kekuasaan Inggris. Ketika Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Persatuan Tionghoa Malaysia (MCA) bersekutu dalam pemilihan umum (pemilu) tingkat kota di Malaysia 1952. Lawan yang mereka hadapi adalah Partai Kemerdekaan Malaya (IMP).
Pemilu itu menjadi eksperimen. Rakyat negeri itu sedang diuji dengan pilihan antara politik rasial di mana etnis-etnis yang ada berbagi kekuasaan yang diusung koalisi UMNO-MCA, atau sistem politik non-komunitarian yang dimajukan oleh IMP.
Hasilnya menunjukkan kecenderungan yang jelas. Aliansi UMNO-MCA mendapatkan sembilan kursi. Sementara itu, IMP hanya mendapatkan dua kursi.
Tapi, ada hal yang tidak nampak di balik persaingan antara UMNO-MCA dengan IMP, yaitu persaingan antara dua Bapak pendiri negara Malaysia, yaitu Tunku Abdul Rahman yang memimpin UMNO dan Datuk Onn Ja’afar yang memimpin IMP.
Keduanya memang bertarung keras sejak lama. Abdul Rahman berseberangan dengan Onn di UMNO. Onn sendiri merupakan mantan anggota UMNO.
Abdul Rahman merupakan seorang pengacara muda yang memiliki karier politik gemilang di UMNO. Sementara itu, Onn merupakan politikus ulung yang sudah terkenal di kalangan orang Melayu, bangsawan-bangsawannya, dan pemerintah kolonial Inggris.
Keduanya memiliki peran yang besar dalam pembentukan negara Malaysia. Dengan Abdul Rahman yang bernegosiasi secara intens dengan Inggris, dan Onn yang membangun rasa nasionalisme Melayu.
Masalah yang menjadi sumber pertentangan antara mereka berdua adalah mengenai kebijakan negara terhadap minoritas Melayu. Abdul Rahman menentang sikap Onn yang lebih terbuka kepada orang-orang non-Melayu.
Permasalahan itulah yang memaksa Onn mundur dari kursi kepemimpinan UMNO pada 1951. Ia menjadi tidak populer di kalangan orang Melayu karena sikapnya. Meskipun sikap Onn juga didorong oleh pemerintahan Inggris yang ingin Malaysia modern menjadi negara yang bersatu, tidak terpecah-pecah oleh perbedaan rasial warga-warganya.
Abdul Rahman naik menggantikan Onn jadi pemimpin UMNO. Dan Onn mendirikan partai IMP yang baru untuk memperjuangkan visinya mengenai Malaysia yang inklusif.
Pemilu Kuala Lumpur 1952 menjadi ladang beradunya dua partai yang berbeda, dengan dua ideologi yang berbeda, yang diusung oleh dua orang berbeda.
Tapi bukan sekadar perspektif kebangsaan yang membuat Abdul Rahman bisa memenangkan pemilu tersebut, hal itu juga diakibatkan oleh sikap Onn yang kasar terhadap orang-orang di sekitarnya. Hingga tidak dapat membangun aliansi yang efektif, seperti halnya Abdul Rahman dengan Tan Cheng Lock dari MCA.
Hal itu dicatat oleh Sejarawan Malaysia Cheah Boon Kheng dalam Malaysia: The Making of a Nation.
Dalam buku tersebut, Cheah mengungkapkan Tan awalnya sepakat untuk membawa MCA bergabung dengan IMP. Namun, hal itu digugurkan oleh sikap Onn sendiri.
Bergabungnya MCA dengan UMNO mengejutkan “Karena pemimpin MCA, Tan Cheng Lock sudah setuju untuk bergabung dengan IMP Datuk Onn dan membawa serta MCA, tapi ini tidak terjadi dikarenakan kepribadian kasar Onn yang membuat musuh baik di kawan maupun lawan,” tulis Cheah.
Salah satunya adalah ketika pemimpin MCA di Selangor, Kolonel HS Lee tidak dimintai konsultasi mengenai pendirian IM. Dia bahkan tidak diundang oleh Onn dalam pertemuan perdana IMP di situ. Sikap-sikap seperti ini menjadikan hubungan antara IMP dan MCA pahit.
Dengan latar belakang ini Abdul Rahman membangun aliansi UMNO dengan MCA pimpinan Tan untuk bertarung di pemilu Kuala Lumpur.
Keberhasilan persekutuan UMNO-MCA tersebut menjadi dasar pembentukan koalisi Perikatan yang nantinya akan diikuti oleh Kongres India Malaysia (MIC), satu lagi partai berbasis identitas dan kepentingan rasial yang mewakili orang-orang beretnis India di Malaysia.
Di kemudian hari, koalisi tersebut akan berubah lagi menjadi Barisan Nasional (BN) yang kita kenal sekarang, masih dengan partai-partai yang bergabung ketika membentuk koalisi perikatan.* (Bayu Muhammad)
