1 year ago
2 mins read

Mengakhiri Konflik Israel-Palestina dengan Solusi Dua Negara

Peta Palestina. (Foto: Tehrantimes)

JAKARTA – Panasnya konflik Israel-Palestina baru-baru ini memunculkan kembali perbincangan mengenai “two-state solution” yang digadang-gadang bisa menyelesaikan pertikaian antara dua negara tersebut.

Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam UI Yon Machmudi berpendapat, solusi dua negara yang mencanangkan pembentukan negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dengan Israel merupakan yang terbaik.

Yon khawatir dengan potensi terjadinya diskriminasi terhadap rakyat Palestina yang akan timbul apabila mereka tetap berada dalam kekuasaan Israel dan tidak memiliki negaranya sendiri yang merdeka.

“Kemudian apartheid system yang dilakukan dengan menjadikan Israel sebagai Jewish State, negara khusus orang Yahudi ini berpotensi kepada diskriminasi dan sistem apartheid yang akan dijalankan apabila kemudian Palestina menjadi bagian Israel, atau yang disebut one-state solution,” ujar Yon kepada Totalpolitik.com.

Menurut Yon, kehidupan bersama bangsa Arab-Palestina dengan Yahudi di Israel menjadi tidak mungkin. Sebab, Israel kini menjadi negara rasis yang memberikan keutamaan kepada pemeluk agama Yahudi.

“Di mana kemudian tidak ada hak-hak secara setara (antara) warga negara yang tinggal dan hidup di Israel,” katanya.

Ditanyai mengenai kecenderungan masyarakat Israel menentang penerapan solusi dua negara, Yon mengatakan mayoritas warga negara itu memang menolak pendirian negara Palestina.

Pasalnya, pemerintahan yang kini dipegang oleh partai sayap kanan Likud pimpinan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dan kelompok-kelompok ekstremis kanan menolak wacana kemerdekaan Palestina.

“Kalau dari sisi Israel mereka tidak menginginkan negara lain. Mereka hanya menginginkan satu negara, yaitu dominasi atas warga Palestina. Di mana bangsa Yahudi menjadi superior,” jelas Yon.

Di sisi yang lain, hal itu memunculkan reaksi dari warga Palestina. Merasa aspirasi nasional mereka tidak mendapatkan dukungan, rakyat Palestina membulatkan tekad mereka untuk meraih kemerdekaan dari Israel.

“Kemudian di kalangan Palestina sendiri, mereka melihat karena Israel tidak memberikan dukungan kepada realisasi two-state solution, maka kemudian berkembang gerakan perlawanan yang lebih ekstrem lagi yang tujuannya adalah menghapuskan kemudian mengusir orang Israel dari wilayah yang dulu adalah wilayah Palestina,” sambungnya.

Mempertimbangkan radikalisasi yang terjadi, yaitu semakin enggannya rakyat Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan secara damai, Yon menilai solusi dua negara menjadi ideal.

“Oleh karena itu, two-state solution itu menjadi mediasi, bridging di antara kecenderungan zero sum game, yang meniadakan satu dengan yang lain,” imbuh Yon.

Jika tidak diupayakan, maka Yon meramal permasalahan yang ada akan terus menimbulkan konflik. Rakyat Israel dan warga Palestina akan terus menjadi korban ke depannya.

Yon juga menyinggung dukungan komunitas internasional terhadap solusi dua negara. “Ini nampaknya sudah mulai menguat ya ketika Amerika, Uni Eropa sudah mulai berbicara bahwa two-state solution inilah yang memungkinkan dilakukan,” ujar Yon.

Dengan adanya dukungan yang baru dari negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat (AS) yang semakin menunjukkan minatnya untuk menjadi pihak mediator, Yon memprediksi tuntutan kelompok-kelompok pejuang Palestina akan menjadi semakin realistis.

Jika komunitas internasional bisa membuat Israel berjanji mentoleransi pendirian negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan mereka, pihak Palestina akan menerimanya.

Adapun wilayah-wilayah pendudukan yang nantinya akan diserahkan kepada Palestina apabila solusi dua negara ini terwujud adalah Jalur Gaza dan Tepi Barat.

“Kalau memang itu yang dijanjikan, saya kira mereka akan bisa sepakat ya untuk mendapatkan kemerdekaan dalam batas wilayah yang lebih jelas, kedaulatan yang lebih jelas. Terutama kembali kepada wilayah batasan sebelum perang 1967. Jadi wilayah Tepi Barat yang penuh kemudian Gaza dan juga Yerusalem sebagai ibu kota negaranya,” kata Yon.

Bagi Yon, kegagalan mewujudkan solusi dua negara berarti konflik Israel-Palestina akan terus berlanjut. Dan tidak akan berhenti hingga pihak yang satu mengalahkan pihak lainnya secara total. “Karena kalau tidak berarti perang akan berlanjut terus dan siapa yang kalah akan kehilangan kesempatan untuk menjadi negara,” sambungnya.

Apabila itu terjadi, Yon memperkirakan dampak konflik Israel-Palestina akan jadi semakin besar.* (Bayu Muhammad)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Implikasi Perang Israel-Iran

JAKARTA -Situasi geopolitik Timur Tengah memanas setelah pecah perang terbuka

Suriah Pasca Bashar al-Assad dan Potensi Perang Saudara Suriah Kedua

JAKARTA – Pada tanggal 8 Desember 2024, pasukan pemberontak Suriah
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88