6 months ago
4 mins read

Hasan Nasbi (4-habis): Sang Pengagum Soeharto

Anggota Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran Bidang Komunikasi, Hasan Nasbi. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Hasan Nasbi mengakui kekalahannya pada Sunny terkait pencapresan Anies Baswedan. Ia menyerahkan kunci Alphard pada kawannya itu, dan mencuitkan kejadian tersebut di akun Twitter-nya (X).

“Salaman Alphard juni 2022 dengan ring 1 Mas Anies. Berani dan gentle datang ke kantor buat salaman. Sementara ring 2 sampai ring 10 itu cuma berani ngetwit-twit saja. Kalau buat jajan aja masih datang ke kantor ring 1, nggak usahlah sok-sokan paten nantang-nantang begitu di timeline saya. Hehe.”

Bagaimana kalkulasi Anda kok bisa kalah lawan Sunny?

Memang di awal saya bertanya-tanya. Keyakinan saya Anies maju lewat mana? Menurut saya, walaupun ini tiga (partai-partai koalisi Anies) kumpul, saya yakin nggak bisa ketemu.

Membayangkan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan Pak Surya Paloh bisa ketemu, benar-benar merumuskan siapa yang jadi ketua koalisi itu kan susah. Susah buat saya itu.

Tapi kita nggak ngitung faktor Cak Imin (Muhaimin Iskandar) waktu itu. Kesalahan saya adalah tidak mau buka mata bahwa Cak Imin ini masih bisa (diperhitungkan). Mungkin Sunny memperhitungkan, cuma dia nggak mau cerita. Kan bisa saja. Mungkin aja dia sudah punya perhitungan itu. Makanya dia simpan itu.

Kalau dia kasih tahu, kan saya berubah pikiran. Bisa saja dia punya perhitungan jauh lebih kompleks. Tapi begitu dia (Anies) sudah bertemu dengan Cak Imin, buat saya udah lancarlah itu. Udah nggak mungkin nggak nyalon. Makanya, bulan Juli sudah saya kirim Alphard-nya. Jadi kayak gitu-gitu. Kalau kita kalah, ya kalah aja.

Tapi dalam konteks ini, buat saya losing the battle but winning the war. Itu saja. Alphard boleh lepas, kita bisa ganti sama yang lain nanti. Itu harusnya kita maknai sebagai—nanti kita dibilang penjudi lagi—berbagi hadiah aja.

Padahal, sebenarnya sebelum (saya) udah banyak itu. Cuma nggak ada yang viral aja. Kebetulan taruhannya Alphard, makanya viral. Coba taruhannya sapi, pasti nggak viral.

Oke, bisa diceritakan bagaimana awal mula ketertarikan Anda dalam dunia politik?

Kuliahnya Ilmu Politik. Tahun 1998 kuliah Ilmu Politik. Gimana, nggak punya hobi lain. Nggak punya interestlain. Buku saya hampir semua buku politik. Mungkin 99 persen buku saya itu buku politik.

Tontonan saya—di luar movie, di luar film Hollywood—adalah tontonan politik. Kadang-kadang interest itu muncul begitu saja. Dari mana asalnya, nggak tahu. Ketertarikan ke dunia politik itu kan nggak pernah putus.

Tapi saya habis lulus kerja jadi wartawan dulu. Saya jadi wartawan Kompas dulu setahun. Habis itu, saya balik jadi researcher di UI satu tahun. Habis itu, saya kerja jadi pollster sebelum (mendirikan) Cyrus.

Saya kerja di Litbangnya Jurnas, namanya Indonesian Research and Development Institute (IRDI). Itu punyanya Andi Mallaranggeng. Delapan bulan saya di sana. Setelah itu, saya gabung sama Bang Andrinof Chaniago. Pada 2010, saya bikin sendiri.

Sejak kapan lembaga Anda dikenal publik?

Pengakuan pertama buat kita itu secara secara luas waktu Pilkada DKI 2012. Kenapa kita dapat pengakuan? Karena waktu itu kebetulan sebagian besar konsultan, ada di pihak Foke. Di sana logistiknya luar biasa. Jadi konsultan yang kalah itu bayarannya gede-gede. Kita yang menang bayarannya nggakbesar waktu itu. Tapi karena kita menang, ya tetap aja dapat pengakuan.

Work of mouth-nya waktu itu sudah nggak ada lagi proposal-proposal. Karena marketing kita waktu itu namanya Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Gimana orang nggak percaya itu? Langsung kuat portofolio waktu itu.

Orang tinggal ngantri aja. Orang kita milih-milih klien. Sebagian besar kita tolak. Kalau yang jauh-jauh kita nggak ambil, kecuali yang benar-benar dekat. Kalau kita nggak kenal-kenal amat,nggak kita ambil.

Jadi Anda tidak ‘bermain’ di daerah?

Kalau kita mau jujur, untuk daerah-daerah yang geografisnya sulit itu, berasa betul mahal pilkadanya. Penduduknya mungkin sedikit, tapi kalau sudah pindah pulau, dikit-dikit pindah pulau atau dikit-dikit dia naik pesawat.

Nah, itu rumit. Kita berasa dunia itu lambat rasanya. Karena untuk pindah satu desa ke desa lain,itu hitungannya lama. Kalau Jakarta penduduknya padat tapi kejangkau semua. Kecuali, Kepulauan Seribu.Tapi itu kan sedikit. Sisanya kan kejangkau semua.

Madura bagaimana?

Kalau Pilkada Madura, ya mungkin agak berat. Kan ke Bawean. Ya, tapi kan itu sedikitlah. Yang paling ngebuat kita nggak bisa masuk itu adalah daerah-daerah yang patron client-nya kuat. Nggak berguna konsultan politik. Itu udah ikut kepala desa, ikut ini, tokoh yang ini. Konsultan politik udah nggak ada gunanya.

Tapi kalau yang cair kayak Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, di level provinsinya cair, kita masih bisa bekerja. Sumatera Utara, Sumatera Selatan, gitu-gitu kan cair tuh. Kita bisa (bekerja). Tapi kalau patron-clientnya kuat, konsultan politik itu kayak nggak ada gunanya. Apalagi kalau udah noken.

 Ada tokoh politik yang Anda dikagumi?

Tokoh panutan saya Soeharto. Orang pasti nggak suka. Loh panutan orang itu kan nggak mesti dia benar terus. Bisa aja dia ada salah. Tapi sebagai panutan tetap panutanlah. Orang kita tahunya Soeharto waktu itudari kecil. Gimana coba? Dia dengan konsisten berusaha mengendalikan pertumbuhan penduduk, dengan program Keluarga Berencana (KB).

Saya ini kecil sampai umur lima tahun (berobatnya) di Posyandu loh. Tiap bulan itu kita dibawa ke Posyandu. Saya lihat adik-adik saya sampai umur lima tahun ke Posyandu.

Kita dengan semangat nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa itu luar biasa. Pagi itu kita senam pagi. Belajar berbaris. Sekali seminggu atau sekali sebulan dapat bubur kacang hijau, dapat susu. Itu saya sekolah di kampung.

Mungkin ada kesalahan-kesalahan (Soeharto) lainnya di level-level atas segala macam. Tapi dia bikin wajib belajar ini bisa jalan. Dia bikin SD Inpres. Jadi dengan instruksi presiden berdiri itu SD, terutama di daerah-daerah pelosok.

Sekolah saya pertama ketika saya masuk kelas satu itu SD Inpres. Beberapa tahun kemudian jadi SD Negeri. Begitu Presiden Soeharto instruksikan berdiri itu sekolah, berdiri dia. Namanya SD Inpres. Karena kita mengejar pembangunan sumber daya manusia.

Dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya, saya ucapkan terima kasih pada Beliau. Yang saya alami begitu. Mungkin dalam pikirannya mahasiswa beda lagi. Dia sudah ngelihat hal yang lain. Yang udahmahasiswa, yang udah jadi aktivis, ngelihatnya beda. Urusan HAM-lah, urusan apalah segala macam. Kalau kita melihatnya waktu itu gitu.

Apa saran Anda pada kawan-kawan muda yang tertarik menggeluti dunia politik?

Saya nggak pernah menyarankan ke dunia konsultan politik sih sekarang. Karena sudah selesai (pemilunya). Kalau pilkadanya ada setiap tahun, nggak apa-apa tentu jadi konsultan politik. Sekarang nggak ada lagi.

Pilkada cuma 2024, habis itu kosong sampai 2029. Gimana kamu mau bikin kantor, habis itu tutup? Kalau misalnya orang yang ingin terjun jadi political adviser, itu bolehlah. Kan bisa jadi political adviser siapa pun.

Tapi memang kita harus punya basis keilmuan yang kuat. Kita juga harus detail memantau perkembangan setiap hari. Nggak bisa setiap bulan mantaunya. Dan rajin mencatat perubahan, karena itu yang akan jadi pelajaran.

Orang itu kadang kemampuan komparatifnya agak kurang. Belajar sejarah juga penting. Banyak orang jadi konsultan politik, tapi sejarahnya nggak ngerti. Sejarah politik nggak ngerti. Ahistoris dia jadinya.* (Bayu Muhammad/Chairul Akhmad)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Pemerintah Jokowi Bagi Jutaan Sertifikat Tanah per Tahun

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku pihaknya telah membagikan

Hibah dan Kerja Sama Perusahaan Internasional Mengalir ke Otoritas IKN

JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Otorita Ibu Kota Negara