6 months ago
3 mins read

Hasan Nasbi (3): ‘Taruhan’ Penyelesai Masalah

Pendiri Cyrus Network, Hasan Nasbi. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Hasan termasuk sosok yang dekat dengan Presiden Joko Widodo, bahkan ia berhasil memenangkan Jokowi hingga tiga kali dalam kontestasi politik. Satu kali dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta, dan dua kali dalam pilpres.

Perkenalannya dengan Jokowi bermula sejak Desember 2011 silam. Saat pertama kali bertemu Walikota Solo itu, ia mengaku hanya ingin memberitahukan hasil riset lembaganya. Berdasarkan hasil riset tersebut, Jokowi sangat potensial menjadi calon Gubernur DKI.

“Memang misinya ngasih itu kok. Orang dia yang paling tinggi kok. Jadi, nggak ada opsi buat nggak ngasih. Orang kita bujuk dia buat maju di DKI kok,” tutur Hasan.

Berapa angka Jokowi dalam riset Anda itu?

Itu bukan riset elektabilitas, ya. Itu riset soal kompetensi. Jadi menurut expert, siapa yang paling kompeten untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Nomor satu waktu itu Pak Jokowi. Nomor dua, Fadel Muhammad. Nomor tiga, Sandiaga Uno. Nomor empat, kalau nggak salah Fauzi Bowo.

Saya melihat ini ada peluang Pak Jokowi bisa mengalahkan Foke. Karena menurut persepsi expert ada. Nah, persepsi expert ini kan tinggal dibesarkan jadi persepsi publik gitu. Itu lagi-lagi membaca data saja.

Kalau elektabilitasnya, masih satu digit Pak Jokowi waktu itu. Paling enam persen. Foke sudah hampir 30 persen. Tapi begitu Pak Jokowi itu diberitakan, makin mendekat. Bulan Maret 2012 itu sudah tinggal tipis saja beda antara Pak Jokowi dengan Pak Foke.

Kembali ke soal Prabowo, bagaimana kesan pertama Anda saat bertemu dia?

Ketika sudah berdiskusi dengan Pak Prabowo, ketika sudah berbicara dengan dia, saya ngerasa Pak Prabowo banyak berubah. Saya ngerasa Pak Prabowo yang saya persepsikan pemarah, nggak begitu. Saya rasa Pak Prabowo yang hobi gebrak-gebrak meja, saya tidak temukan sama sekali. Dan saya bertemu dengan Pak Prabowo yang kelihatan sekali tulus, ikhlas mengakui sesuatu.

Misalnya, mengakui kekalahan dari Pak Jokowi. Mengakui bahwa dia banyak belajar dari Pak Jokowi. Itu nggak gampang loh. Kita saja ini sesama analisis politik, mengakui analis-analis politik lain lebih hebat saja,susah loh. Ini calon presiden mengakui capres lain sebagai lebih hebat daripada dia, itu luar biasa. Ketika itu saya rasa, ‘Wah ini orang oke, jiwanya oke.’ Kan ini soal tak kenal maka tak sayang aja.

Anda jadi yakin bahwa dia cocok jadi presiden?

Sebelumnya, saya nggak kenal Pak Prabowo. Setelah beberapa kali ketemu dengannya, saya makin yakin dia mampu kok. Pak Prabowo pintar banget. Kalau kita challenge dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dan berkelas, dia bisa jawab. Pak Prabowo ternyata orangnya capable dan humble. Pak Prabowo ternyata orangnya berjiwa besar. Itu saya temukan dalam perjalanan itu bersama Beliau.

Bagaimana dengan perbandingan data hasil survei? Apakah angka Prabowo memang lebih tinggi dari Anies dan Ganjar?

Saya yakin mereka (tim 01 dan 03) juga membaca hal yang sama. Cuma nggak mau mengakui aja. Karena mungkin ngebacanya pakai perasaan. Bedanya mereka mungkin baca data pakai perasaan, itu aja. Nggaklah pasti temuan kita sama.

Begitu dia simulasi head-to-head, pasti Prabowo juga yang menang. Cuma mereka menolak mengakui itu. Atau mereka memang dari awal sudah memutuskan mau dukung Ganjar, misalnya. Atau di sebelah sini misalkan sudah memutuskan dukung Anies.

Ya, itu kan sudah pilihan. Bisa saja kamu berpihak kepada pihak yang kalah. Dan kita tidak bisa salahkan. Karena ini soal pilihan. Dia misalnya memang merasa saya tidak mungkin dukung Pak Prabowo. Jadi harus memilih antara Anies dan Ganjar, bisa begitu.

Atau hanya bisa mendukung capres yang didukung oleh PDI-P, misalnya. Di luar PDI-P nggak mungkin saya dukung, bisa begitu. Nggak salah juga. Tapi kalau yang pakai perasaan, biasanya kemungkinan kalahnya besar. Karena ngebaca datanya nggak objektif. Gitu aja.

Jadi nggak boleh ya, baca data pakai perasaan?

Kalau saya membaca data, ya baca data aja. Kan dalam politik kita nggak boleh pakai sentimen. Pakai kebencian apalagi. Kita benci semua orang itu nggak bisa. Makanya saya pas sama tim Anies itu tetap dekat kok. Kawan juga kok. Sama timnya Ganjar juga tetap dekat. Nggak musuhan kok. Mereka kalau ada yang sentimen sama saya, itu urusan lain.

Tapi, saya sama orang-orang itu nggak ada sentimen sama sekali kok. Karena begitu kamu pakai perasaan, ketutup nih. Objektivitasnya sudah ketutup. Jadi konsultan pakai perasaan itu, berhenti jadi konsultan. Kita membuka peluang untuk kalah itu sebenarnya. Begitu sudah pakai perasaan, itu nggak objektif lagi.

Bagaimana dengan Cyrus, cara kawan-kawan di sana baca data?

Nggak ada spesifik ngajarin (Cyrus Network) kayak gitu, nggak ada. Tapi kan dari perjalanan 14 tahun, harusnya mereka ngerti sendiri. Bagaimana cara baca data, bagaimana cara memperlakukan klien, bagaimana cara melihat hasil survei. Saya nggak ngajarin, maksudnya kalau diomongin itu nggak.

Harusnya mereka tahu sendiri, karena 14 tahun kita mengajari dengan cara seperti itu. Bukan kita nggak pernah kalah, kita kan pernah kalah. Tapi di tengah kekalahan itu pun, kita membaca datanya objektif. Pilkada 2017 kan kalah. Kita dukung Ahok waktu itu. Kalah dari Anies Baswedan. Kalah, ya kalah. Nggak perlu banyak alasan. Tapi membaca datanya kita tetap objektif.

Bukankah waktu itu putaran pertama Ahok menang?

Memang menang Ahok putaran pertama. Putaran kedua Ahok kalah, ya memang kalah. Di survei juga kalah. Hampir nggak beda loh angka yang kita dapatkan dengan hasil di akhir itu. Hampir nggak pernah beda.

Bukan proyeksinya salah. Memang kalah. Hasil survei kita juga menunjukkan, dia (Ahok) nggak menang kok. Cuma kadang-kadang kan kita suka ngegas aja, ‘Boleh nih, kalau ada yang mau taruhan.’ Tapi nggak ada juga yang berani taruhan. Karena kalau ada yang berani taruhan, kalah kita waktu itu.

Anda taruhan sama siapa waktu itu?

Awalnya, Pilkada DKI tahun 2012. Jadi ada senior saya, dia yakin banget Foke menang. Saya bilang, ‘Tapi Jokowi bisa mengalahkan Foke.’ Terus dia bilang, ‘Ya, kalau gitu kita taruhan aja. Daripada kita berdebat terus, taruhan aja.’ Ini senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Taruhan 50 juta waktu itu. Putaran satu Pilkada DKI, menang saya.

Putaran kedua dia yakin juga Foke bakal mengalahkan Jokowi. Saya bilang, ‘Kalau angkanya begini, saya yakin sekarang Jokowi yang menang mengalahkan Foke putaran dua.’ Diajak taruhan lagi sama dia. Ya, gitu-gitu aja. Soal buntu-buntu aja. Ketika deadlock diskusinya, perang-perang keyakinan ini mau diselesaikan dengan cara apa? (bersambung)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Pemerintah Jokowi Bagi Jutaan Sertifikat Tanah per Tahun

JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku pihaknya telah membagikan

Hibah dan Kerja Sama Perusahaan Internasional Mengalir ke Otoritas IKN

JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Otorita Ibu Kota Negara