11 months ago
3 mins read

Biden Hadapi Tekanan untuk Hentikan Perang di Gaza

Presiden Amerika Serikat Joe Biden. (Foto: Timeofisrael)

JAKARTA– Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) meloloskan resolusi meminta gencatan senjata untuk segera dilakukan di Gaza, Senin (25/3/2024).

Isi resolusi tersebut menuntut agar dilakukan gencatan senjata selama bulan Ramadan. Selain itu, resolusi tersebut juga meminta diadakannya pembebasan tawanan-tawanan. Dan jaminan akses bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza.

Hampir semua anggota DK PBB menyetujuinya, dengan pengecualian Amerika Serikat (AS) yang delegasinya memutuskan untuk abstain dalam proses pengambilan suara.

Namun, sikap abstain AS tersebutlah yang memungkinkan resolusi ini lolos di DK PBB. Suatu kejutan mengingat AS-lah yang membatalkan resolusi-resolusi serupa dengan menggunakan hak veto-nya belum lama ini.

Kali ini, delegasi AS mengangkat tangannya bukan untuk menyuarakan veto. Tapi untuk abstain. Sehingga, resolusi DK PBB yang sangat dibutuhkan oleh warga Palestina di Jalur Gaza bisa lolos.

Lebih jauh lagi, Kepala Delegasi AS, Linda Thomas-Greenfield, menyatakan pihaknya mendukung penuh beberapa tujuan penting dari resolusi yang diloloskan.

Bahkan, Linda juga memberikan pesan perdamaian untuk umat Islam di seluruh dunia yang sedang menjalankan ibadah mereka pada bulan Ramadan.

“Resolusi ini benar dalam mengakui bulan Ramadan. Kita harus berkomitmen untuk (mewujudkan) perdamaian,” kata Linda dalam keterangannya setelah pengambilan suara berakhir.

Sebelumnya, AS menggunakan hak veto-nya terhadap resolusi-resolusi DK PBB yang menuntut diadakannya gencatan senjata di Gaza.

Akhir tahun lalu, mereka menggunakan hak veto-nya terhadap resolusi yang diajukan oleh Uni Emirat Arab (UEA). Mereka beralasan kalau gencatan senjata pada waktu itu hanya akan menanam benih untuk perang selanjutnya. Karena mereka percaya kalau gencatan senjata hanya akan menguntungkan pihak Hamas.

Kemudian, AS menggunakan kembali hak veto-nya ketika Algeria mengajukan resolusi untuk gencatan senjata di Gaza pada bulan Februari lalu. Kali ini, mereka beralasan gencatan senjata akan mengancam pembicaraan antara pihaknya, Mesir, Israel, dan Qatar untuk mengupayakan pembebasan tawanan dari Hamas.

Sikap AS yang memungkinkan resolusi gencatan senjata kali ini lolos sudah mendatangkan tanggapan dari Israel. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membatalkan kunjungan dua penasihatnya ke Washington DC.

Adapun kunjungan tersebut seharusnya diadakan untuk membahas rencana Israel untuk menyerbu Rafah, perbatasan Palestina dengan Mesir di Gaza. Serbuan itu diproyeksikan berdampak terhadap satu juta warga Palestina yang sedang mengungsi. Presiden AS Joe Biden meminta agar pihaknya bisa berkomunikasi dengan Israel seputar itu.

Kantor Perdana Menteri Netanyahu menyatakan sikap AS jelas adalah kemunduran dari sikap konsisten AS (terhadap isu konflik Israel-Palestina).

Sebetulnya, keputusan AS untuk abstain dalam resolusi PBB yang terakhir konsisten dengan sikapnya terhadap Israel akhir-akhir ini. Bukan rahasia lagi, hubungan antara Washington dengan Tel-Aviv sedang memburuk. Biden semakin khawatir dengan tindakan Israel yang terus menyerbu Gaza dan membahayakan keamanan di kawasan Timur Tengah.

Baru-baru ini, Israel berencana untuk memperluas operasi militernya dengan menyerbu Rafah. Hal itu ditentang oleh Biden yang mengatakan Rafah menjadi “garis merah” dalam hubungan AS-Israel yang tidak boleh dilewati.

Tidak gentar dengan ancaman itu, Netanyahu menyatakan kalau militer Israel akan tetap menyerbu Rafah. Ia beralasan tidak ada cara lain untuk menghabisi Hamas selain melakukan serangan darat ke situ.

Jelas, respons Netanyahu dan sikap pemerintahan Israel membuat Biden kesal secara pribadi. Bahkan, ia mengaku frustasi dengan ketidakmampuannya meyakinkan Israel untuk mengubah kebijakan militernya. Dalam beberapa kesempatan, ia menghina Netanyahu dengan kata ‘brengsek’.

Tapi, ada hal yang lebih mengkhawatirkan untuk Biden. Dan itu berkaitan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di AS, di mana ia akan melawan musuh lamanya, Donald Trump.

Selama ini, pemerintahan Biden dianggap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dalam menanggapi agresi Israel di Jalur Gaza dan Palestina secara keseluruhan. Bahkan, ia juga dianggap memiliki pendirian yang pro-Israel, tidak berbeda dengan Presiden-Presiden AS sebelumnya.

Hal itu mengurangi dukungan Biden di kalangan warga Arab-Amerika dan mereka yang beragama Islam. Sehabis serangan Israel ke Jalur Gaza, Biden menyaksikan tingkat dukungannya merosot ke angka 17 persen.

Sementara itu, Biden membutuhkan suara mereka dalam Pilpres 2024 mendatang. Seperti dalam pilpres sebelumnya, mereka memainkan peran yang penting di negara-negara bagian yang Partai Demokrat dan Republik bersaing dengan ketat.

Seperti di Michigan, Trump hanya mendapatkan 10.000 suara. Di sisi lain, Biden mendapatkan 154.000 suara. Terdapat 220.000 pemilih Muslim yang teregistrasi di negara bagian tersebut. Apabila Biden gagal memperoleh tingkat dukungan yang kurang lebih sama dengan pilpres tahun lalu, ia bisa saja kalah melawan Trump.

Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai kalau Biden sepertinya ingin memperluas kembali dukungannya di kalangan masyarakat yang peduli dengan konflik di Palestina.

“Biden atau pemerintahan yang berkuasa saat ini kelihatannya ingin mendapatkan dukungan masyarakat secara luas. Khususnya, mereka-mereka yang pro terhadap Palestina, yang peduli terhadap Palestina di Amerika,” terang Ujang kepada Totalpolitik.com

Apalagi, dampaknya secara elektoral tidak hanya dirasakan oleh Biden. Namun juga oleh gubernur dari Partai Demokrat yang menang di Arizona. Di negara bagian tersebut, ia memenangkan 17.000 suara. Di situ, ada 50.000 pemilih Muslim yang teregistrasi.

Karena itu, Ujang menilai penting bagi Biden untuk menggaet kembali dukungan dari kalangan yang simpati terhadap konflik yang terjadi berlarut di Jalur Gaza. “Salah satu caranya adalah dengan mendapatkan simpati soal isu Gaza tersebut,” terang Ujang.

Memutuskan abstain adalah salah satu strategi Biden guna meraup simpati dan dukungan masyarakat Amerika dari kalangan imigran, khususnya Timur Tengah.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Seruan Revolusi Akal Sehat Donald Trump

JAKARTA – Pada tanggal 20 Januari 2025 Donald Trump dilantik

Indonesia Harus Jaga Keseimbangan dalam Sengketa Laut Cina Selatan

JAKARTA – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto