JAKARTA – Bapak pendiri bangsa, Sukarno, memikirkan banyak hal untuk Indonesia. Salah satunya mengenai sistem politik yang akan dipakai kelak setelah merdeka. Hal itu penting karena berdampak kepada kehidupan masyarakat. Dan Sukarno menginginkan sistem politik yang bisa merangkul semua golongan masyarakat.
Hal itu disampaikan oleh pria yang kerap disapa Bung Karno itu dalam pidatonya mengenai Pancasila pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu,” tandasnya saat itu.
Lantas, sistem apa yang bisa mewujudkan itu? Bung Karno menemukan jawabannya di dalam sistem permusyawaratan atau perwakilan.
Di hadapan para hadirin, ia menggambarkan adanya suatu badan perwakilan. Anggota-anggotanya berasal dari masyarakat untuk mewakili kepentingan-kepentingan mereka. Dalam badan perwakilan itu, setiap ketidakpuasan dibicarakan untuk dicarikan jalan keluarnya.
Sistem yang dicanangkan oleh Bung Karno mirip dengan sistem parlementer yang lazim ditemukan di negara-negara Barat. Dan ini menyiratkan pengetahuannya soal itu. Lebih jauh lagi, mungkin juga kesepakatan Bung Karno terhadap sistem tersebut.
Yang jelas, Bung Karno tidak memiliki sikap yang antagonis terhadap sistem parlementer pada saat itu. Dan lebih jauh lagi terhadap gagasan demokrasi yang mendasari adanya sistem parlemen.
Hanya saja, ia memiliki gagasan yang berbeda mengenai parlemen dan juga demokrasi. Dalam pidato yang sama, ia menolak demokrasi seperti di Barat, tetapi demokrasi permusyawaratan yang memberikan hidup.
Ia berkata, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!”
Apa yang diartikan oleh Bung Karno sebagai demokrasi politik-ekonomi itu?
“… badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid,” lanjutnya.
Maksudnya, Bung Karno menginginkan demokrasi yang juga memberikan keadilan sosial, tak hanya keadilan politik. Rakyat juga dipenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonominya, sehingga bisa hidup dengan bermartabat di masyarakat.
Ini merupakan inovasi Bung Karno yang lahir dari refleksinya terhadap demokrasi Barat. Menurut Bung Karno, demokrasi ala Barat berhasil mendatangkan keadilan politik, yaitu kesetaraan politik di antara warga negaranya. Tetapi tidak menghadirkan keadilan sosial atau ekonomi.
Bung Karno melihat, kalau demokrasi Barat yang lahir dari rahim Revolusi Prancis (1789-1799) telah dibajak oleh kaum borjuis dari tangan-tangan rakyat jelata. Padahal, merekalah yang memperjuangkan demokrasi itu sebelumnya, di bawah semboyan “liberté, égalite, fraternité.” Dengan harapan kalau demokrasi yang akan datang bisa memperbaiki keadaan mereka, terutama dalam aspek perekonomian.
Pembajakan terjadi saat kaum borjuis dan kapitalis merebut kursi paling banyak di parlemen pascarevolusi menggunakan alat-alat yang mereka miliki.
“… kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio… Semuanya itu menjamin, bahwa biasanya utusan-utusan rakyat-jelata kalah suara,” tulis Sukarno dalam esainya yang berjudul “Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial” (1941).
Memang, terdapat wakil-wakil rakyat jelata juga di parlemen, tetapi jumlah mereka sedikit. Dan kehadirannya tak bisa mengubah keadaan perekonomian mereka. Rakyat jelata tetaplah miskin.
Bung Karno berpikir kalau demokrasi parlementer ala Barat memang mendatangkan suatu keuntungan bagi rakyat jelata. Mereka bisa memilih wakil-wakilnya di parlemen. Bahkan mereka bisa dipilih. Dan sedikit banyaknya, mereka bisa terlibat dalam pengambilan keputusan atas kehidupan mereka sehari-hari. Rakyat jelata telah diberikan keadilan politik.
Namun, semuanya berhenti di situ. Tak ada perbaikan yang bisa diberikan kepada rakyat jelata perihal kondisi perekonomian mereka. Di luar keberadaan mereka di parlemen, mereka tetaplah rakyat kecil yang tak punya apa-apa. Hal ini juga berlaku kepada wakil-wakil rakyat jelata yang duduk di parlemen.
Bung Karno mengutip Jean Jaures (1859-1914), seorang anggota parlemen Prancis yang beraliran sosialis, “… pada saat yang ia menjatuhkan menteri-menteri, maka ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan zonder (tanpa) ketentuan sedikit pun jua apa yang akan ia makan di hari esok.”
Demikianlah nasib seorang perwakilan rakyat jelata, yang merupakan seorang buruh di sistem demokrasi ala Barat. Seperti kata Bung Karno, “Di lapangan politik ia souverain (berdaulat), tetapi di lapangan ekonomi ia sama sekali lemah dan tak berdaya apa-apa.”
Maka, Bung Karno mengajukan agar demokrasi di Indonesia tak hanya digerakkan untuk mencapai keadilan politik, tapi juga keadilan ekonomi. Dan ia namakan “sosio-demokrasi” dalam pidatonya soal Pancasila. Itulah sistem politik yang ada dalam pikiran Bung Karno.*