Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) muncul dalam banyak dokumen dan pernyataan pihak militer ketika mendiskusikan strategi yang mereka anut untuk mempertahankan Indonesia dari ancaman domestik dan eksternal.
Hal itu merujuk kepada strategi yang diambil oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama Angkatan Darat (AD), untuk mempertahankan Ibu Pertiwi saat diserang oleh militer Belanda pada tahun-tahun awal kemerdekaannya.
Kini, strategi tersebut diturunkan menjadi doktrin pertahanan nasional Indonesia dalam Undang-Undang (UU) Nomor (No) 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Hanneg).
Dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan keamanan baru pada abad ke-21, suatu Konferensi Nasional Sishankamrata juga pernah diadakan untuk mengkaji dan mempertajam kembali strategi tersebut.
Sishankamrata juga kerap disebut oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto, ketika membahas isu-isu yang berkaitan dengan militer. Salah satunya adalah ketika ia membicarakan pembentukan Komponen Cadangan (Komcad)
Perang rakyat semesta
Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution yang saat itu berpangkat kolonel menulis banyak tentang itu dalam buku karangannya berjudul Pokok-Pokok Gerilja yang terbit pada 1953.
Dalam bukunya, Nasution menjelaskan perang gerilya dipilih oleh Republik Indonesia saat menghadapi musuh yang lebih kuat. Strategi itu bertujuan untuk memecah kekuatan musuh dan menguras tenaga mereka selagi TNI membangun kekuatan tempurnya sendiri.
Strategi yang digunakan AD saat menghadapi Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II (1947–1949) mau tidak mau mendekatkan mereka dengan rakyat, terutama yang tinggal di pedesaan.
Nasution mengatakan bahwa rakyat yang memiliki semangat kemerdekaan membantu TNI dalam perjuangannya melawan penjajah. Rakyat membantu dalam menyediakan transportasi, komunikasi, dan logistik yang dibutuhkan TNI pada saat-saat kritis itu.
Tidak hanya itu, rakyat juga melakukan perlawanan pasif terhadap pasukan Belanda yang datang untuk kembali menjajah Indonesia. Salah satunya adalah dengan menunjukkan sikap yang non-kooperatif terhadap mereka.
Rakyat juga harus menyaksikan kehancuran yang ditimbulkan oleh perang gerilya di wilayah mereka. Pertempuran yang terjadi dari waktu ke waktu dan penggunaan taktik bumi hangus untuk menyangkal sumber daya bagi musuh menjadi pemandangan sehari-hari.
Demikian, perang yang dikobarkan oleh Indonesia saat itu merupakan perang rakyat semesta untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945.
Perang di era kontemporer
Dalam Pokok-Pokok Gerilja, Nasution menjelaskan perang yang terjadi pada saat itu adalah perang semesta atau yang disebut total war dalam bahasa Inggris.
Ketika Perang Dunia I dan Perang Dunia II berkobar pada awal abad ke-20, negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Rusia, Inggris, dan Jepang melakukan mobilisasi semesta terhadap sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alamnya.
Joseph Maiolo dalam Cry Havoc: How the Arms Race Drove the World to War 1931–1941 mengkaji bagaimana negara-negara itu mengerahkan segenap sumber daya mereka untuk menyaingi dan mengalahkan kekuatan angkatan bersenjata satu sama lain.
Sehingga, ketika Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels, mengatakan wollt ihr den totalen krieg — apakah [kalian] ingin perang semesta — ia hanya memberikan pertanyaan retoris atas fenomena yang sudah berlangsung.
Perang seperti itu lah yang ada dalam pikiran Nasution ketika ia menulis bahwa seni berperang tidak hanya melibatkan militer, tetapi juga politik, psikologi, dan ekonomi yang merupakan urusan sipil.
Menurut Nasution, perang tidak hanya dilakukan oleh pihak militer tetapi juga rakyat. Terlebih, mereka yang menyatakan perang dan damai. Merekalah yang membentuk angkatan-angkatan bersenjata untuk keperluan mereka sendiri.
“Rakyatlah yang berperang, bukan hanya tentara. Rakyatlah yang menyatakan perang dan menentukan perdamaian dan menciptakan angkatan bersenjata,” tulis Nasution.
Pemikiran Nasution itu masih relevan hingga kini. Di mana-mana, perang tidak hanya melibatkan militer tetapi juga sipil sebagai unsur penopangnya.
Dalam kasus perang Rusia-Ukraina, publik tidak hanya membahas kemampuan angkatan bersenjata masing-masing negara untuk mengalahkan satu sama lain. Mereka juga membahas kemampuan industri masing-masing kubu untuk memproduksi persenjataan dan amunisi yang dibutuhkan untuk terus berperang.
Perang Israel di Jalur Gaza dan kini merambat ke Lebanon Selatan lebih naas lagi. Bukan hanya kapasitas militer dan industri, tetapi juga dukungan dan partisipasi langsung rakyat dalam pertempuran yang berkobar menjadi topik pembicaraan.
Mendampingi statistik angka kematian di masing-masing kubu adalah angka kemampuan memproduksi dan mengirimkan berbagai senjata dan pelurunya ke garis depan pertempuran.
Selama perang Rusia-Ukraina berkobar, kemampuan perekonomian AS dan Uni Eropa (UE) sebagai penyokong utama Ukraina diperhatikan apakah bisa terus mendanai pengeluaran yang diperlukan untuk membangun dan memelihara angkatan bersenjata Ukraina.
Di Jalur Gaza, Lebanon, Rusia dan tempat-tempat lain, opini publik terhadap pihak-pihak yang bertempur di sisi mereka sangat penting. Semangat atau kejenuhan rakyat jadi tolak ukur apakah suatu pihak bisa meneruskan perangnya.
Fenomena seperti ini lah yang dimaksud oleh Nasution ketika ia mengatakan unsur politik, psikologi, dan ekonomi diperlukan dalam rangka mengobarkan perang semesta.
Sishankamrata abad ke-21
Nasution membayangkan suatu mobilisasi semesta terhadap SDM dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Kekuatan-kekuatan masyarakat dan industri dikerahkan untuk membangun kekuatan tempur yang besar.
Akan tetapi, Indonesia belum memiliki pasukan dan juga industri yang kuat saat itu untuk bisa membangun bala tentara yang dapat menyaingi Belanda. Sehingga, petinggi-petinggi TNI termasuk Nasution memilih untuk bergerilya.
Menghadapi keterbatasan tersebut, TNI memutuskan berfokus membangun dan memperbesar jumlah pasukan mereka, meskipun harus mengalami kekurangan senjata yang diatasi dengan cara merampas alat-alat tempur lawan dari waktu ke waktu.
Barry Turner dalam AH Nasution and Indonesia’s Elites: “People’s Resistance” in the War of Independence and Postwar Politics, menjelaskan Nasution ingin membagi tentara jadi tiga bagian, yaitu pasukan tempur, elemen teritorial, dan kader teritorial.
Pasukan reguler menjadi kekuatan tempur bergerak cepat. Mereka akan dibantu oleh milisi cadangan dalam melaksanakan operasinya. Kemudian, komponen cadangan sipil juga akan dilatih untuk menambah kekuatan manakala dibutuhkan.
Hingga kini, peningkatan kekuatan tempur dalam artian penambahan jumlah personelnya terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan membentuk Komcad beberapa waktu lalu yang berfungsi untuk menambah kekuatan TNI yang sudah ada.
Kemudian, isu penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) di seluruh Indonesia juga mencuat dan masih jadi bahasan. Seperti mengambil inspirasi dari strategi perang rakyat semesta Nasution yang mengintegrasikan administrasi sipil dengan militer, beberapa Kodam baru akan dibentuk di setiap provinsi Indonesia.
Fenomena ini harus menjadi perhatian bersama. Masih ada banyak fokus lainnya di luar penambahan dan penguatan kekuatan militer itu sendiri kalau Indonesia ingin serius menggunakan strategi sishankamrata.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perang pada abad ke-21 ini tidak hanya melibatkan unsur militer tapi juga sipil. Kondisi tersebut mirip dengan apa yang dihadapi oleh Nasution pada abad sebelumnya. Sekarang, unsur sipil menjadi penting dalam persiapan dan penyelenggaraan perang.
Mulai dari kondisi psikologis, kehidupan politik, hingga kemampuan industri menjadi faktor yang menentukan kemenangan atau kekalahan dalam perang. Ketidakstabilan politik dan industri yang tidak kuat akan menyulitkan suatu negara berperang pada era kontemporer ini.
Situasi tersebut tidak hanya terjadi dalam kasus perang Rusia-Ukraina dan perang di Timur Tengah. Lebih dekat lagi dengan Indonesia, hal itu juga terjadi dalam persaingan yang memanas antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di kawasan Asia-Pasifik.
Artikel Center for Strategic and International Studies membahas persaingan AS-RRT dengan membandingkan jumlah kapal perang yang dimiliki oleh masing-masing negara. Selain itu, mereka juga membahas kapasitas galangan kapal masing-masing negara untuk membangun kapal perang setiap tahunnya. Kemampuan RRT untuk membangun kapal perang yang terus meningkat setiap tahunnya mulai mengkhawatirkan AS.
Perang rakyat semesta telah hadir di pintu depan Indonesia. Kemampuan rakyat untuk memobilisasi segenap tenaga mereka untuk membangun kekuatan yang bisa menyaingi negara lain menjadi sangat menentukan.
Masalahnya, kemampuan Indonesia untuk menerapkan strategi sishankamrata itu masih terbatas. Di aspek politik masih banyak kontroversi terkait relasi sipil-militer yang mengakibatkan adanya ketegangan dalam hubungan mereka.
Contohnya, Revisi Undang-Undang (RUU) TNI menjadi perdebatan sengit di mana beberapa kalangan rakyat mencurigai adanya upaya mengembalikan dwifungsi.
Kemudian, industri pertahanan Indonesia — meskipun telah berkembang — masih belum bisa mengawal modernisasi TNI secara optimal. Indonesia juga masih jauh dari kemandirian alat utama sistem senjata (alutsista) dan masih banyak mengimpor senjata dari luar negeri.
Padahal, konsepsi perang rakyat semesta, strategi sishankamrata, dan keperluan zaman mengharuskan Indonesia untuk memperkuat aspek sipil — yaitu politik dan industri — selain aspek militernya.
Sehingga, pemerintah dan pihak TNI harus memikirkan dan mengupayakan penguatan aspek tersebut. Baru setelah itu Indonesia baru dikatakan menjalankan sishankamrata untuk menghadapi tantangan abad ke-21 secara optimal. Dan TNI bisa lebih menyatu atau manunggal dengan rakyat dalam usaha dan tujuannya mempertahankan negara dan bangsa.
Bayu Muhammad, Reporter Totalpolitik.com.