2 years ago
1 min read

Gamal Abdul Nasser Hampir Mau Berdamai dengan Israel

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser. (Foto: Timeofisrael)

JAKARTA – Israel dan Mesir berdamai pada 1979. Sebenarnya, hal itu bisa terjadi lebih awal lagi pada 1955. Tapi sikap militeristik yang dimiliki petinggi-petinggi militer Israel menggagalkan perdamaian tersebut.

Sehingga, mendorong Israel dan Mesir untuk perang selama beberapa kali lagi sebelum akhirnya berdamai.

Dengan bantuan Presiden Amerika Serikat (AS) Dwight D Eisenhower dan CIA, Perdana Menteri (PM) Israel Moshe Sharett, menjalin komunikasi rahasia dengan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.

Isi korespondensi mereka diungkapkan oleh Patrick Tyler dalam bukunya yang berjudul Fortress Israel: The Inside Story of the Military Elite Who Run the Country – and Why They Can’t Make Peace.

Dua pemimpin tersebut sepakat untuk menunjuk perwakilan tingkat tinggi untuk pembicaraan yang dipercaya oleh Sharett bisa menurunkan ketegangan antara Israel dan Mesir.

Sebetulnya, tindakan ini sangat berisiko untuk Nasser. Dalam suatu kesempatan, Nasser menyampaikan kepada pejabat CIA bahwa ia bisa dijadikan sasaran pembunuhan oleh rakyatnya jika mereka tahu ia sedang berkomunikasi dengan Israel secara rahasia.

Kendati demikian, isi pembicaraan antara Sharett dan Nasser sangat produktif. Mereka membicarakan kemungkinan diizinkannya kapal-kapal berbendera Israel untuk melewati Terusan Suez. Hal itu akan dikembangkan di kemudian hari menjadi pengakuan Mesir terhadap Israel.

Pembicaraan antara mereka juga membahas pembelian kapas-kapas Mesir oleh Israel, bantuan lobi Mesir di Washington oleh Israel, dan mengurangi kekerasan di perbatasan.

Digagalkan Militer Israel

Sayangnya, diplomasi rahasia antara Sharett dan Nasser digagalkan oleh serangan tentara Israel ke Jalur Gaza pada Februari 1955.

Dalam Operasi Panah Hitam, tentara Israel, atas pengetahuan dan restu implisit Menteri Pertahanan (Menhan) David Ben-Gurion menyerang garnisun Mesir di sana.

Operasi tersebut dipimpin oleh Ariel Sharon yang nantinya akan menjadi PM Israel yang terkenal keras terhadap Palestina di kemudian hari.

Dua kompi penerjun payung menyerbu Gaza dan mengepung markas dan stasiun kereta api yang dikuasai oleh Mesir. Israel berhasil menghancurkan markas tentara Mesir dan membunuh 38 orang serdadunya. Hanya delapan tentara Israel yang wafat dalam pertempuran itu.

Ironisnya, Sharett yang merupakan PM tidak mengetahui rencana Ben-Gurion dan pihak militer negaranya untuk menyerang Gaza.

Sebetulnya, Sharett dan Ben-Gurion memang tidak memiliki hubungan yang baik. Keduanya tengah memperebutkan pengaruh dan kekuasaan di Partai Buruh tempat mereka berasal. Dan memiliki perspektif yang berbeda mengenai isu keamanan Israel.

Tyler dalam bukunya memercayai kalau serangan Israel ke Jalur Gaza itu menyebabkan Nasser untuk mengubah sikapnya.

“Tak bisa diragukan bahwa kekacauan yang diakibatkan Ben-Gurion terhadap tentara-tentara Mesir musim dingin itu memengaruhi pandangan Nasser,” tulisnya.

Nasser langsung memutus semua hubungan rahasianya dengan Sharett. Ia juga mulai beralih mencari pemasok senjata lainnya, yaitu ke Uni Soviet, untuk menggantikan AS setelah terjadinya penyerangan Israel ke Gaza.* (Bayu Muhammad)

Baca juga:

Janji Proklamasi Kemerdekaan Israel kepada Bangsa Arab

Hubungan Diplomatik Indonesia-Israel dalam Asa Gus Dur

Mengakhiri Konflik Israel-Palestina dengan Solusi Dua Negara

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Implikasi Perang Israel-Iran

JAKARTA -Situasi geopolitik Timur Tengah memanas setelah pecah perang terbuka

Israel dan Hezbollah Saling Serang

JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan urusan
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88