5 months ago
2 mins read

Polemik RUU Penyiaran Berlanjut

Demo menolak RUU Penyiaran. (Foto: Detik)

JAKARTA – Kontroversi seputar draf Revisi Undang-Undang (RUU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terus bergulir. Sebab, draf tersebut memuat pasal-pasal yang dinilai memiliki implikasi buruk terhadap dunia pers keseluruhan.

Salah satunya adalah Pasal 8A huruf (q) yang menyebutkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki wewenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

Selanjutnya, ada Pasal 42 ayat 2 yang menyebut sengketa jurnalistik diurusi oleh PKI. Sementara itu, UU Pers memberikan wewenang untuk itu kepada Dewan Pers.

“Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal tersebut.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansya Hamzah, menilai ketentuan tersebut membuat KPI tumpang tindih dengan Dewan Pers.

“Klausul yang memberikan kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa pers di bidang penyiaran, jelas overlapping dengan kewenangan Dewan Pers,” katanya saat dihubungi oleh Totalpolitik.com¸ Sabtu (18/5/2024).

Herdiansya juga menduga adanya upaya pengambil alihan terhadap kewenangan Dewan Pers dalam menjalankan fungsinya menangani sengketa pers.

“RUU penyiaran ini seperti melakukan upaya take over terhadap kewenangan Dewan Pers dalam menangani perkara sengketa pers,” sambungnya.

Ia mengkhawatirkan tidak adanya kepastian hukum terkait siapa yang memegang kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pers ke depannya.

“Ini situasi yang mengancam proses sengketa pers sebab berdampak terhadap ketiadaan kepastian hukum terkait siapa yang pada akhirnya punya otoritas untuk menyelesaikan sengketa pers,” lanjut Herdiansya.

Kemudian, RUU tersebut juga mengandung Pasal 50B ayat 2 huruf (c) yang memuat larangan penyiaran eksklusif jurnalistik investigatif. Hal tersebut menjadi bagian yang paling banyak mendapatkan sorotan publik belakangan ini.

Herdiansya melihat adanya upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers dalam rangka memberikan informasi-informasi alternatif kepada masyarakat.

“Klausul pelarangan jurnalisme investigasi dalam RUU penyiaran itu jelas adalah upaya untuk membungkam kebebasan pers dalam melahirkan jurnalisme investigasi sebagai alternatif publik dalam memperoleh informasi,” ujarnya.

Ia menilai adanya kesan larangan tersebut bertujuan memonopoli pemberitaan.

“Ada kesan larangan ini memberi ruang monopoli pemberitaan, terutama bagi kepolisian yang menangani kasus tertentu,” lanjutnya.

Herdiansya juga mengatakan adanya larangan tersebut akan menumpulkan sikap pers. Dan publik tidak akan mendapatkan lagi laporan-laporan investigasi terhadap berbagai kejahatan, seperti yang ada selama ini.

“Di bawah pelarangan ini, publik tidak akan pernah lagi mendapatkan laporan investigasi yang membongkar kasus kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan, kasus pekerja migran dan perdagangan orang, kasus kilometer 50, kasus mafia olahraga, dan investigasi sejenisnya,” jelasnya.

Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Rizaldi, memberikan penjelasannya kepada Totalpolitik.com ketika dimintai keterangan mengenai pasal-pasal yang dipermasalahkan.

Ia mengapresiasi respons dari pelaku-pelaku media yang berdatangan selama ini. Sehingga, penyusunan RUU yang kini menjadi kontroversi bisa lebih baik lagi.

“Jadi kami apresiasi atas respons kawan-kawan media agar legal drafting kami lebih baik lagi, tidak multi tafsir,” kata Bobby, Sabtu (18/5/2024).

Terkait dengan kewenangan KPI yang kini dianggap tumpang tindih dengan Dewan Pers, Rizaldi mengatakan tidak ada salahnya untuk memberikan mereka kemampuan untuk mengawasi lembaga-lembaga penyiaran. Terlebih, Dewan Pers selama ini mengurusi lembaga-lembaga pers.

“Terkait soal kewenangan KPI dengan Dewan Pers, itu tak ada masalah. Karena KPI mengawasi lembaga penyiaran, yang bukan badan pers. Kalau badan pers, ya Dewan Pers. Jadi selama ini, ya sudah seperti ini,” ujarnya.

Investigasi eksklusif

Mengenai permasalahan seputar larangan jurnalisme investigatif, Bobby menegaskan yang dilarang adalah keeksklusifan dari jurnalisme investigatif eksklusif.

“Sebenarnya kalau dibaca lengkap, yang dilarang itu adalah jurnalisms investigasi eksklusif. Jadi eksklusivitasnya yang diatur,” terangnya.

Menurut Bobby, ketentuan itu perlu ada supaya konten-konten jurnalisme investigatif ke depannya tidak hanya diklaim oleh satu pihak saja. Dan agar terjadi penyebaran informasi yang berimbang di masyarakat.

“Karena agar suatu konten investigasi tidak hanya diklaim satu media atau grup saja, tapi bisa diulas juga dengan media lain, agar ada informasi berimbang bila di dalamnya ada kesimpulan atau pandangan-pandangan (berbeda),” sambungnya.

Bobby menambahkan, diadakannya peraturan tersebut berdasarkan kepada kasus-kasus adanya produk jurnalisme investigatif yang dipertanyakan oleh KPI selama ini.

“Ini refer pada kasus-kasus yang disanksi KPI yang sudah berkomunikasi dengan Dewan Pers. Misal tayangan investigasi kriminal atau mistis, atau beberapa tayangan eksklusif lain,” katanya.

Oleh karena itu, Bobby melihat tidak ada masalah dalam ketentuan tersebut. Ia menduga adanya tafsir di masyarakat yang menyangka jurnalisme investigatif akan dilarang.

“Jadi tak ada masalah kan? Tapi dari penyampaian-penyampaian di media, sepertinya ada beda tafsir, seolah melarang adanya jurnalisme investigasi, full stop. Padahal kan bukan begitu,” pungkasnya.* (Bayu Muhammad)

Baca juga: RUU Penyiaran Jangan Jadi Wajah Baru Pembungkaman Pers

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

RUU Penyiaran Jangan Jadi Wajah Baru Pembungkaman Pers

JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi