JAKARTA – Ketika Sukarno ditangkap oleh pemerintah kolonial pada 1929, gerakan nasionalis Indonesia yang baru lahir pecah menjadi dua kubu besar. Di satu sisi, terdapat gerakan yang percaya dengan kekuatan agitasi dan aksi massa.
Sementara itu, ada juga yang percaya kalau masa depan nasionalisme Indonesia ada di kalangan orang-orang yang terdidik.
Dimasukkannya Soekarno ke dalam penjara menimbulkan kejutan ke seluruh kelompok nasionalis di Indonesia. Sebagian dari mereka berpikir pergerakan nasionalis ke depannya tidak bisa lagi dipimpin secara terpusat dalam serangkaian aksi massa untuk melawan pemerintahan kolonial.
George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia mengidentifikasi salah satu tokoh yang memiliki pandangan itu adalah Mohammad Hatta.
Hatta baru kembali dari kuliahnya di negeri Belanda pada 1932. Sekarang ia memasuki kancah politik nasional dengan membawa gagasan bahwa pergerakan harus mengandalkan massa rakyat yang terdidik dan matang secara politis.
“Kemampuan Belanda untuk memenjarakan siapa pun pemimpin (pergerakan) yang populer di masyarakat secara semena-mena menjadikan gaya kepemimpinan seperti itu tidak berguna,” tulis Kahin.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, “Sebuah pergerakan nasional yang bergantungan kepada beberapa tokoh kunci di atas dikutuk untuk gagal karena Belanda dapat menghilangkan mereka dari panggung politik.”
Berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno yang mengandalkan kharisma untuk menyulut semangat perjuangan rakyat melalui pidato-pidato, Hatta percaya kalau pemahaman mengenai nasionalisme Indonesia harus disebar melalui pendidikan.
Jika pergerakan nasional sudah diperkuat oleh banyak orang nasionalis yang berpendidikan, maka penangkapan oleh pemerintah atas beberapa orang seharusnya tidak akan berpengaruh banyak.
Oleh karena itu sepanjang 1931-1932, Hatta dan diawali Sutan Sjahrir membentuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan) yang namanya mirip dengan Partai Nasional Indonesia (PNI lama) bentukan Sukarno.
Fokus PNI-Pendidikan kali ini adalah kaderisasi. Sementara itu, PNI lama memusatkan perhatiannya kepada agitasi dan aksi massa oleh pemimpin-pemimpinnya.
Jika PNI lama bergerak melalui pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat besar yang mengundang perhatian serta kerumunan banyak orang, maka PNI-Pendidikan mengadakan pelatihan-pelatihan kader oleh pemimpin-pemimpinnya.
Pelatihan tersebut diadakan secara rutin di Bandung dan Batavia. Hatta membagi waktunya antara dua kota tersebut untuk memberikan sendiri materinya.
PNI-Pendidikan juga mengadakan klub-klub debat sebagai sarana pelatihan tatap muka para kadernya.
Bukan berarti PNI-Pendidikan memutuskan fokus kepada pengkaderan maka mereka tidak melawan pemerintah sama sekali. PNI-Pendidikan juga memprotes keras beberapa kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap merugikan pergerakan nasional.
Ketika pemerintah kolonial di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff menerapkan Persbreidel Ordonantie atau pembredelan pers, Hatta berpidato untuk menuntut kebebasan pers.
PNI-Pendidikan juga mengadakan pertemuan besar untuk menentang kebijakan pemerintah kolonial untuk melarang pendirian sekolah-sekolah bumiputera swasta. Pemerintah menganggap sekolah-sekolah itu tempat persebaran ideologi nasionalisme baru yang mengganggu koloni.
Sjahrir menjadi salah satu tokoh yang berjuang menolak kebijakan tersebut melalui tulisan berjudul ‘Menentang Ordonantie Sekolah Liar.’
Kendati perbedaan strategi antara PNI-Pendidikan dan PNI lama yang kala itu sebagian dari anggotanya mendirikan Partai Indonesia (Partindo), langkahnya tetap dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial.
Gerak-gerik PNI-Pendidikan untuk melakukan pengkaderan alih-alih agitasi dan aksi massa tetap mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Sehingga, pemerintah menangkap Hatta dan Sjahrir pada Februari 1934. Kemudian, mereka diasingkan ke Boven Digoel di Papua.* (Bayu Muhammad)