2 years ago
3 mins read

Diktator ‘Baik Hati’ di Negeri Seberang

Mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew (kiri). (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Tanggal 23 Maret lalu adalah peringatan sembilan tahun wafatnya Lee Kuan Yew. Perdana Menteri Singapura pertama yang dipuji banyak orang, sekaligus ditakuti oleh beberapa lainnya.

Sosok kontroversial di balik perubahan Singapura dari negara dunia ketiga ke dunia pertama dalam waktu satu generasi kepemimpinan.

Pastinya, ada banyak hal yang bisa kita bicarakan tentang pencapaian-pencapaian Lee saat memerintah Singapura. Mulai dari keberhasilannya mengundang investasi asing sejak pertengahan abad ke-20, pembangunan ekonomi, meritokrasinya dalam menjalankan pemerintah, sampai dengan keberhasilannya meningkatkan kesejahteraan rakyat Singapura.

Namun, selalu ada dua sisi koin dalam semua hal. Dan sosok Lee bukanlah pengecualian. Betul, ia memiliki banyak peninggalan yang baik bagi warga Singapura. Beberapa di antaranya sudah disebutkan.

Selain itu, ia juga dikenal karena gaya pemerintahannya yang menurut standar dunia modern bisa dikatakan otoriter, jika tidak dikatakan diktator sekaligus. Bahkan sebelum Singapura menjadi negara sendiri yang terpisah dari Malaysia, Lee sudah menunjukkan sikap yang keras terhadap oposisi.

Didorong keinginan untuk menghabisi lawan politiknya sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 1963, Lee menangkap ratusan orang yang dianggap membahayakan kekuasaan People’s Action Party (PAP) yang didirkannya.

Dalam Operasi Coldstore, Lee memerintahkan penangkapan aktivis-aktivis serikat buruh, pelajar, dan asosiasi-asosiasi lainnya. Termasuk dalam daftar orang-orang yang ditangkap adalah anggota-anggota Malayan Communist Party (MCP) yang banyak menentangnya.

Kejadian itu dilaporkan oleh Komisioner Tertinggi untuk Singapura, Lord Selkirk, dalam suratnya. Ia memperingatkan pemerintah Inggris bahwa Lee Kuan Yew jelas tertarik dengan prospek menyapu bersih oposisi-oposisi utamanya sebelum pemilu Singapura berikutnya.

Peristiwa penangkapan massal serupa terjadi lagi pada 1987. Ketika pemerintahan melancarkan Operasi Spectrumuntuk menangkap 22 orang yang diduga terlibat dalam ‘konspirasi Marxis.’

Dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Internal Security Act (ISA), Lee menangkap mereka dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan dan mendirikan kediktatoran komunis.

Tuduhan tersebut dibuat-buat oleh pemerintah. Kejahatan mereka sebenarnya menurut Lee, adalah kenaifan mereka untuk membantu orang-orang yang miskin dan tidak diuntungkan.

Ada kesamaan pola yang bisa ditarik dari dua kejadian ini. Lee merasa tidak nyaman dengan adanya oposisi politik. Dan Lee tidak segan-segan memberangus mereka pakai dalih keterkaitan dan keterlibatan dengan elemen-elemen komunis.

Tidak hanya itu, Lee juga terlibat dalam politik perundungan atas lawan-lawannya. Agitasi aktivis komunis Lim Chin Siong telah mengakibatkan perpecahan di tubuh PAP. Dan itu berujung kepada pembentukan Barisan Sosialis yang beraliran politik kiri.

Pada 1963, pemerintahan Lee telah memfitnah, mencemarkan, menangkapi, dan mendenda pemimpin-pemimpin Barisan Sosialis secara sistematis. Beberapa bahkan diusir keluar dari Singapura.

Otoritarianisme konsultatif

Dalam bukunya yang berjudul Singapore: A Modern History (2019), Michael D Barr, menilai pemerintahan Lee merebut kekuasaan permanen. Suatu kekuasaan yang melihat aktivitas-aktivitas politik yang tidak mendukung pemerintah dan PAP sebagai ancaman terhadap keamanan yang setara dengan aksi vandalisme.

Namun lagi-lagi, seperti adanya dua sisi koin dalam banyak hal, begitu pula otoritarianisme Lee. Ketiadaan oposisi di Singapura bukan berarti tidak adanya kekuatan, atau lebih tepatnya lagi elemen yang mengecek dan mengimbangi pemerintah di Singapura.

Selain sisi kelam yang ditunjukkan oleh Operasi Spectrum, decade 1980-an juga diwarnai eksperimen pemerintah Singapura untuk memperluas partisipasi politik tanpa adanya kekuatan oposisi, terutama di parlemen.

Tahun itu, pemerintah menunjuk politikus-politikus oposisi dengan suara terbanyak untuk mengisi kursi khusus. Upaya perluasan partisipasi politik itu dilanjutkan pada 1990 dengan pembentukan Nominated MP.

Di sini, pemerintah menggunakan logika meritokrasinya dalam relasi mereka dengan oposisi. Mereka juga percaya bahwa meritokrasi memberikan hak kepada anggota-anggota di luar PAP untuk jadi anggota parlemen kalau mendapatkan cukup suara, meskipun kalah dalam pemilu.

Pemerintah dan PAP—yang semakin sulit untuk dibedakan satu dengan yang lainnya—Ingin membangun kesan tidak perlu ada kekuatan oposisi. Pemerintah tetap mengakomodasi suara-suara alternatif dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Sarjana asal Australia, Garry Rodan, menyebut sistem yang diterapkan Lee sebagai ‘rezim otoriter konsultatif’. Suatu model pemerintahan otoriter yang membuka ruang bagi penyampaian pandangan-pandangan alternatif dengan cara non-konfrontatif.

Serangkaian tindakan-tindakan Lee sebelumnya menjadi catatan bagi pihak-pihak yang mengkritik Lee. Dari para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) sampai dengan pemerintahan negara-negara lainnya yang dulu prihatin dengan kondisi kebebasan sipil dan demokrasi di Singapura.

Namun, Lee berkeyakinan kalau dirinya benar. Dalam wawancaranya dengan William Safire dari New York Times, Lee mengatakan dirinya bisa mendapatkan suara masyarakat dan menang dari pemilu ke pemilu.

“Karena saya telah membuahkan hasil. Dan rakyat tahu saya serius dengan ucapan saya. Dan saya berhasil,” tegas Lee.

Jadi, selama masyarakat Singapura hidup dalam keamanan dan kemakmuran yang berhasil diciptakan oleh pemerintahannya dan PAP, Lee merasa dirinya telah memerintah dengan benar. Demikian, represifitas Lee dalam mempertahankan kekuasaannya menjadi dibenarkan oleh keberhasilan-keberhasilan pemerintahannya di bidang sosial dan ekonomi.

Hingga kini, tindakan Lee masih diperdebatkan. Beberapa yang memujinya mengatakan kebijakan-kebijakannya pragmatis. Suatu hal yang dibenarkan walaupun melibatkan tindakan-tindakan otoriter. Sementara itu, beberapa melihatnya sebagai diktator yang memberangus kebebasan dan demokrasi di Singapura.

Bagi banyak orang di titik tengah—seperti yang ditulis dalam obituarinya oleh Boo Su-Lyn dari Malay Mail—Lee adalah seorang ‘benevolent dictator’. Diktator nan baik hati. Dan Singapura bisa menjadi negara maju yang dinikmati oleh warga negaranya hingga kini.

Sebetulnya, ungkapan ‘diktator baik hati’ itu sendiri bisa dilihat sebagai sebuah contradiction in terminis atau kontradiksi. Begitu pula dengan istilah ‘otoritarianisme konsultatif’ dari Rodan. Tapi nyatanya, semua itu terwujud dalam pemerintahan Lee Kuan Yew yang mengaku dirinya pragmatis itu.*

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Indonesia Vs Singapore: Dua Jalan Berbeda

JAKARTA – Singapura berhasil menjadi salah satu negara paling sejahtera

PM Singapura Mundur, Sudah Ada Penggantinya

JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong, telah
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88