JAKARTA – Hari itu langit sedang berawan. Sebuah pertanda akan hal buruk yang akan datang. Di dalam bangunan di tepi Sungai Thames, London para anggota parlemen mulai memadati ruangan sidang. Ketua parlemen, dengan wig putihnya yang panjang duduk di tengah. Dan para anggota mengapit sisi kiri dan kanannya.
Mereka adalah para bangsawan dan pesohor-pesohor Inggris yang terpilih untuk menyuarakan kepentingan berbagai kelompok masyarakat di parlemen. Sebuah lembaga yang sudah dikenal rakyat Inggris sejak lama. Fungsinya untuk mengimbangi kekuasaan Raja Charles II serta mencegahnya berkuasa secara absolut, dengan kekhawatiran akan diperlakukan secara lalim apabila sang Raja dibiarkan berkuasa seperti itu.
Namun, hari itu adalah saat-saat yang genting. Serangkaian kejadian mengagetkan masyarakat, para anggota parlemen, dan lembaga parlemen itu sendiri. Pada kurun 1670-1688, perimbangan kekuasaan di Inggris mengalami guncangan.
Kemurtadan James II (adik sang Raja), persekutuan rahasia dengan Prancis, dan kekhawatiran akan monarki absolut itu mengundang reaksi dari parlemen. Dan hasilnya adalah perdebatan sengit yang akan melahirkan partai-partai politik pertama di dunia.
Inggris merupakan negara Protestan di lepas pantai Benua Eropa yang saat itu tengah mengalami serangkaian konflik agama. Di sisi lain, perpindahan adik Raja Charles II (1630- 1685), Adipati York (1633-1701) ke agama Katolik Roma, mengelisahkan hati banyak orang. Apalagi dia akan menjadi penerus sang Raja nantinya. Ide dipimpin oleh seorang Katolik adalah kutukan bagi masyarakat Inggris waktu itu.
Melihat calon penerus Raja pindah agama ke Katolik Roma, banyak pihak melihat gambaran yang suram untuk masa depan Inggris. Di balik itu, mereka melihat kemungkinan terjadinya kekuasaan Raja yang sewenang-wenang seperti di Prancis dan Spanyol.
Kekhawatiran mereka tidak diredam oleh munculnya skandal persekutuan rahasia dengan Prancis yang diadakan oleh Raja Charles II dan Louis XIV (1638-1715). Raja Charles II ditawarkan bantuan finansial oleh Prancis. Lebih dari itu, Prancis juga berjanji untuk membantunya memperkuat elemen Katolik di Inggris.
Pada 2 November 1678, Lord Ashley (1621-1683) mengajukan mosi untuk mencekal James dari takhta Inggris. Sehingga, ia tak bisa meneruskan Charles II menjadi Raja selanjutnya. Hal ini dibahas dengan sengit di sidang parlemen pada 11 Mei 1679. Dan berakhir dengan terjadinya Exclusion Crisis yang melahirkan dua kubu berseberangan.
Keadaan menjadi panas. Banyak anggota parlemen yang khawatir akan nasib mereka dipimpin oleh seorang Katolik. Seorang anggota parlemen, Sir Henry Capel (1638-1696) menggambarkan suasana yang tegang kala itu. “Dari wacana kepausan (Katolik), muncul gambaran akan hadirnya bala tentara yang tetap, dan kekuasaan yang sewenang-wenang… Dahulu Spanyol dan kini Prancis ada di belakangnya.”
Mereka yang menentang kekuasaan James dan persekutuan Raja Charles II dengan Prancis mendebat keras. Mereka tak mau gaya hidup masyarakat Inggris yang dianggap lebih bebas dibanding negara-negara Katolik diintervensi oleh Prancis.
Mereka ingin tetap membatasi kekuasaan raja. Pajak tinggi yang dibutuhkan untuk merawat bala tentara aktif juga dipermasalahkan. Kekhawatiran dipersekusi oleh orang-orang Katolik, seperti yang terjadi terhadap para Huguenot di Prancis juga mengintai. Di parlemen, mereka terkumpul di sekitar Lord Ashley dalam sebuah kelompok yang bernama Partai Whig.
Berseberangan dengan mereka adalah kelompok aristokrat pro-kerajaan, yang kesetiaannya terhadap kerajaan bisa ditarik balik ke masa pemerintahan Charles I. Ketika ayah Charles II sedang berkuasa dan menghadapi pemberontakan Oliver Cromwell dalam Perang Saudara Inggris (1642-1651), kelompok ini adalah pendukung kuat kerajaan.
Perlawanan mereka dimulai saat Sir George Jeffreys (1645-1689) dan Francis Wythens (1635-1704) berpidato melawan Exclusion Bill. Mereka menginspirasi pihak-pihak yang berpandangan sama untuk mengutuk Partai Whig. Serangkaian peristiwa itu diyakini oleh beberapa pihak sebagai cikal-bakal kemunculan Partai Tory dengan kekuatan di parlemen untuk mendukung kerajaan melawan Partai Whig.
Pada akhirnya, Exclusion Bill gagal diloloskan di parlemen. James berhasil jadi penerus Raja Charles II. Dengan menyandang nama Raja James II ia berkuasa sampai akhirnya ditumbangkan dalam peristiwa Revolusi Agung (1688) oleh lawan politiknya. Masih oleh pihak-pihak yang dahulu menentang kenaikannya.
Kendati Partai Whig menuai kegagalan, namun mereka telah membuat sebuah terobosan. Tekad mereka untuk memperjuangkan keyakinan diejawantahkan melalui pembentukan partai politik pertama dalam sejarah modern. Begitu pula dengan Partai Tory. Keduanya dianggap sebagai partai politik modern pertama di dunia.*