2 weeks ago
6 mins read

BRICS dan Prospek Geopolitik Indonesia

Ilustrasi Indonesia gabung BRICS. (Foto: Antara)

JAKARTA – Untuk pertama kalinya di awal tahun 2025 Indonesia mengambil sebuah gebrakan menghebohkan dalam percaturan politik dunia dengan bergabung ke BRICS. Dengan bergabungnya Indonesia dengan BRICS akhirnya Indonesia resmi ikut poros geopolitik yang dipimpin oleh Rusia & Tiongkok. Langkah ini membuat Indonesia akhirnya mengambil garis politik luar negeri yang jelas & tegas untuk pertama kalinya dalam sejarah geopolitiknya pasca-Sukarno.

Dunia hari ini tidak sedang baik-baik saja, banyak pengamat politik luar negeri & pakar hubungan internasional memprediksi adanya Perang Dingin II terlebih karena adanya Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok & Perang Rusia – Ukraina. Banyak negara yang sudah mengambil garis tegas dalam dinamika geopolitik terkait persaingan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Namun Indonesia sendiri sebelumnya tidak mengambil garis tegas, juga berhati-hati karena takut bertentangan dengan prinsip “politik luar negeri bebas aktif.”

Prinsip politik luar negeri “bebas aktif” sendiri pada akhirnya memang mendapatkan tantangan serius oleh perkembangan politik luar negeri saat ini, sebab Indonesia seringkali dianggap main dua kaki. Sayangnya kita hidup di era siapa yang tidak ikut gerbong siapa pun, tidak akan dapat apa-apa. Berhubungan dengan kedua belah pihak yang bersaing akan dianggap main dua kaki.

Hal ini membuat Indonesia memang pada akhirnya harus memilih, terlebih lagi secara integritas teritorial Indonesia terancam sebab Indonesia dikepung oleh negara-negara yang memiliki pangkalan militer Amerika Serikat. Juga terdapat aliansi militer Inggris & negara bekas jajahannya yang rata-rata adalah negara tetangga Indonesia yang tergabung dalam aliansi Five Power Defence Arrangements (FDPA) yang berisikan Inggris, Malaysia, Singapura, Australia, & Selandia Baru.

Selain itu terdapat juga pangkalan militer Amerika Serikat di banyak negara-negara Oseania, juga Amerika Serikat memiliki wilayah seberang lautan di Pasifik seperti Mariana Utara, Guam, Samoa, & juga terdapat wilayah Negara Bagian Hawaii yang mana 4 wilayah itu sendiri terdapat pangkalan militer Amerika Serikat – tentunya tidak susah bagi Amerika Serikat seandainya suatu waktu mereka menginvasi Indonesia lewat jalur laut. Indonesia dikepung oleh negara-negara dengan pangkalan militer Amerika Serikat & Inggris.

Situasi ini tentunya sangat tidak menguntungkan Indonesia & sangat membahayakan bila disepelekan oleh Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara-negara Blok Barat namun Indonesia tidak pernah benar-benar dianggap sekutu karena tidak memiliki aliansi militer dengan Blok Barat, selain itu Indonesia tidak pernah totalitas dalam mendukung agenda politik Blok Barat. \

Hampir semua negara Blok Barat punya hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia sendiri bahkan tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, bahkan sering bersebrangan dengan Blok Barat soal Palestina. Selain itu Indonesia juga tidak mengakui kedaulatan Kosovo. Malahan Indonesia bersikap sama dengan Tiongkok & Rusia untuk tidak mengakui kedaulatan Kosovo & masih beranggapan Kosovo adalah wilayah sah Serbia.

Meski dalam hal ini Indonesia satu kubu dengan Blok Timur, namun Indonesia sendiri tidak benar-benar bergabung dengan Blok Timur. Indonesia tidak mendukung invasi Rusia atas Ukraina, malahan ikut dengan Blok Barat yang juga tidak mendukung invasi tersebut.

Sikap Indonesia yang netral & tidak memiliki aliansi militer dengan Blok Barat dianggap sebagai “barang liar” karena tidak jelas arahnya ke mana. Beda misalnya dengan negara Korea Utara yang memang dianggap musuh oleh Blok Barat, bagi mereka itu jauh lebih jelas sebab apa pun langkah Korea Utara memang akan bersebrangan dengan mereka. Beda halnya dengan Indonesia yang di mata mereka kadang bisa dekat dengan Barat, kadang dekat dengan Timur dianggap tidak jelas.

Ide tentang bergabung dengan BRICS memang sempat menyeruak sebelumnya dengan datangnya Menteri Luar Negeri Sugiono mendatangi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-16 di Kazan, Rusia pada 22 – 24 Oktober 2024. Kunjungan tersebut menarik pemberitaan dunia internasional, mengingat KTT tersebut merupakan pertemuan internasional pertama yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Sugiono. Kunjungan luar negeri menlu ataupun presiden baru selalu dipantau oleh para pengamat ataupun pakar hubungan internasional, bahkan tidak jarang oleh kepala negara lain.

Sebab kunjungan pertama seorang presiden ataupun menlu yang baru menjabat dalam 100 harinya, seringkali menggambarkan kecondongan arah politik luar negeri pemerintahan tersebut. Setelah kunjungan Menlu Sugiono ke KTT BRICS, Presiden Prabowo Subianto memulai kunjungan luar negeri pertamanya ke Tiongkok pada 8 November 2024.

Kunjungan pertama ini memberikan sinyal yang jelas ke dunia tentang kecendrungan politik luar negeri Presiden Prabowo Subianto. Mulanya banyak orang yang tidak betul-betul yakin Indonesia berani ambil bagian menjadi anggota BRICS, setelah sebelumnya sempat beberapa kali ditawari pada masa Presiden Joko Widodo.

Namun tak disangka, keputusan tegas itu diambil oleh Presiden Prabowo untuk bergabung dengan BRICS. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS membuat posisi BRICS semakin menguat, sebab 46% penduduk dunia tergabung dalam negara-negara BRICS. Indonesia dengan penduduk no.4 terbesar di dunia, semakin menguatkan posisi tersebut.

Hal tersebut membuat BRICS menjadi blok geopolitik baru dengan jumlah penduduk dunia terbanyak di bloknya sekitar 46% dari penduduk dunia & juga BRICS menguasai 41,41% Produk Domestik Bruto (PDB) global. Potensi ini tentunya dapat memberikan keuntungan strategis untuk Indonesia.

Lantas apa manfaat Indonesia bergabung dengan BRICS? Untuk terlebih dahulu memahami sikap politik luar negeri 3 negara superpower dunia seperti Amerika Serikat, Rusia, & Tiongkok:

  1. Amerika Serikat beranggapan negara mana pun yang tidak ikut dengan Blok Barat maka mereka adalah musuh atau berpotensi menjadi musuh. Pernyataan ini terbukti pada masa Direktur CIA, Allen Dulles yang menyatakan: “Indonesia adalah negara komunis atau sekurang-kurangnya dapat dikatakan Non-Blok.” Pernyataan ini muncul dalam dokumen rahasia CIA yang sudah dibuka kemudian hari, prasangka tersebut yang membuat CIA membantu Pemberontakan PRRI/Permesta. Sikap ini kemudian berubah setelah pilot militer AS, Allen Pope ditangkap. Lantas AS berhenti mendukung Pemberontakan PRRI/Permesta. Namun sikap AS terhadap Indonesia selalu tidak pernah menganggap Indonesia benar-benar sekutu hingga hari ini. Apalagi kecendrungan pada pemikiran political correctness yang berkembang di AS, sulit diterima di banyak negara-negara berkembang.
  2. Rusia ataupun dulu Uni Soviet beranggapan negara mana pun yang tidak masuk Blok Barat dapat menjadi teman, meskipun tidak seideologi. Sebab negara yang bukan Blok Barat, punya potensi untuk ikut ideologi ataupun kepentingannya di kemudian hari.
  3. Tiongkok beranggapan soal ideologi tidak begitu penting, apalagi soal urusan dalam negeri negara tersebut. Yang penting negara tersebut tidak ikut campur dalam mengganggu kedaulatan wilayah Tiongkok seperti daerah-daerah yang punya masalah separatisme seperti Tibet & Xinjiang, juga tidak mengakui kedaulatan Taiwan. Bagi Tiongkok kedaulatan wilayahnya adalah prinsip utama bila ingin berhubungan dengan Tiongkok, selama hal itu tidak diganggu maka Tiongkok siap berhubungan baik. Tiongkok pun tidak begitu mempermasalahkan negara itu mau Islamis, teokrasi, sekuler, demokratis, atau apa pun yang penting cuan & cingcay. Semua masalah bisa dibicarakan di belakang meja. Jadi ada negara mau main 2 kaki atau 3 kaki, Tiongkok tidak begitu peduli selama bisnisnya lancar & negara itu tidak meributkan soal separatisme di Tiongkok.

Dengan uraian singkat soal sikap 3 negara superpower yang saya jabarkan, maka Indonesia tidak akan dapat apa-apa bila tidak mengambil sikap. Apalagi dianggap sahabat oleh Blok Barat, selama Indonesia tidak buka hubungan diplomatik dengan Israel & Kosovo selama itulah Indonesia tidak dianggap sebagai sahabat. Tiongkok & Rusia tidak mempermasalahkan 2 hal tersebut. Jadi memang ada baiknya sekali nyemplung, berenang sekalian.

Dengan bergabung BRICS maka Indonesia memiliki beberapa manfaat seperti:

  1. Meningkatnya investasi, volume perdagangan, & kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara BRICS. Sebab selama masa Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok, Indonesia malahan tidak dapat keberlimpahan investasi dari Amerika Serikat pada masa Perang Dagang karena Indonesia dianggap sebagai sekutunya Tiongkok. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS tentunya membuka keran investasi lain, sehingga Indonesia tidak perlu selalu mengandalkan Blok Barat.
  2. Meningkatnya transfer teknologi dan ilmu pengetahuan antara negara BRICS dengan Indonesia. Indonesia dapat mengembangkan potensi ini untuk membangun industri manufaktur & juga industry strategis di dalam negeri.
  3. Meningkatnya kerjasama budaya antar negara BRICS & Indonesia punya potensi untuk melakukan ekspor budaya ke negara-negara BRICS.
  4. Meningkatnya bargaining position Indonesia dalam percaturan politik global. Dengan bergabungnya Indonesia dalam poros politik global, membuat Indonesia tidak lagi dilihat sebagai Indonesia saja an zich, namun dilihat sebagai satu kekuatan global di BRICS. Sehingga memuluskan Indonesia bila hendak bernegosiasi dengan berbagai negara dalam diplomasi antar negara.
  5. Posisi Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, membuat Indonesia hari ini seksi di mata kekuatan global. Sebab era energi fosil bisa jadi puluhan atau ratusan tahun ke depan berubah, mengingat munculnya mobil & motor listrik di dunia. Lama-lama mobil bensin akan tergantikan oleh mobil listrik. Banyak negara-negara yang mengandalkan ekspor energi fosil, kini mengalami penurunan ekonomi karena harga minyak yang menurun. Oleh karenanya banyak negara-negara yang mengandalkan ekspor migas kemudian berusaha mendiversifikasi ekonominya. Nikel menjadi bahan baku utama untuk membuat kendaraan listrik, hal ini menjadikan posisi Indonesia seksi dalam persaingan industri otomotif listrik ke depan. Indonesia punya daya tawar sangat kuat atas kekuatan dunia atas hal ini, apalagi kalau Indonesia masuk BRICS dengan potensi ini. Indonesia beberapa kali menawarkan Tesla investasi di Indonesia, namun tidak disambut. Walhasil Indonesia bisa membuka potensi investasi untuk sektor nikel ke negara-negara BRICS.
  6. Kebanyakan anggota BRICS kecuali Rusia & Tiongkok adalah negara-negara bekas jajahan negara-negara Barat. Bergabungnya Indonesia dengan BRICS menguatkan komitmen Indonesia pada politik anti-penjajahan & solidaritas antar negara berkembang sebagaimana digagas di Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.
  7. Kebanyakan negara-negara BRICS adalah negara pendukung Palestina, bergabungnya Indonesia pada BRICS dapat memperkuat tekanan solidaritas global terhadap kemerdekaan Palestina.
  8. BRICS sekarang hanya terlihat sebagai paguyuban yang tidak punya struktur organisasi yang mengikat seperti Uni Eropa ataupun aliansi militer seperti NATO. Bergabungnya Indonesia dapat menentukan arah BRICS ke depan menjadi suatu organisasi yang dengan tujuan strategis untuk menentukan masa depan dunia. Bukan tidak mungkin BRICS dapat berkembang menjadi sebuah aliansi militer. Bila situasi dunia menjadi buruk dan ada invasi terhadap Indonesia, maka Indonesia bisa dapat backing dari negara-negara BRICS.

Mungkin beberapa analisa ini terlihat optimistis atau beberapa orang yang sinis bisa saja mengatakan hal ini muluk-muluk. Tentunya memang bergabung dengan aliansi ataupun blok politik internasional apa pun perlu dengan kesadaran yang matang, juga dilengkapi dengan strategi jangka panjang & bagaimana Indonesia mengambil peran penting dalam decision making di BRICS. Sebab bergabung dengan blok kekuatan internasional tanpa pertimbangan yang matang tidak akan memberi manfaat signifikan.

Kita bisa ambil contoh keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Pada mulanya Inggris agak memandang remeh Uni Eropa, juga terlihat setengah hati apakah dia mau gabung Uni Eropa atau tidak? Terlebih juga Inggris tidak mau mengganti mata uangnya dari pound sterling ke euro, sebab pound sterling lebih kuat daripada Euro.

Jerman & Prancis yang lebih aktif dalam pengambilan keputusan di Uni Eropa, hingga akhirnya Jerman menjadi decision maker paling dominan di Uni Eropa. Padahal Inggris juga kekuatan ekonomi & militer yang cukup kuat di Eropa, cuma karena Inggris tidak serius di Uni Eropa akhirnya keanggotaan Inggris di Uni Eropa tidak membawa manfaat signifikan.

Tentu kita tidak ingin kejadian seperti Inggris terulang untuk Indonesia. Oleh karenanya keanggotaan Indonesia di BRICS harus diikuti dengan strategi jangka panjang agar semua potensi strategis di BRICS dapat didapatkan agar dapat membawa kemajuan bagi Indonesia.*

Irsyad Mohammad, Sejarawan Universitas Indonesia.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Optimalisasi Perlindungan HAM Berkeadilan di Papua

JAKARTA – Persoalan yang terjadi di bumi Papua, wilayah paling

Revitalisasi Layanan Publik Parpol

JAKARTA – Hasil survei nasional Indikator bertajuk ‘Evaluasi Publik Terhadap