2 weeks ago
4 mins read

Interaksi Media Sosial dan yang Tersembunyi Di Baliknya   

Ilustrasi. (Foto: Shondaland)

JAKARTA – Orang bijaksana berkata: bergaullah dengan orang baik, niscaya akan mendapati diri yang makin baik. Maka hindari pergaulan buruk, jika tak ingin berubah jadi buruk. Nasihat ini dikonfirmasi banyak ilmuwan perilaku. Relasi yang baik ~dengan orang yang juga baik~ akan menghasilkan kepribadian baik.

Keadaan yang sudah baik, setidaknya bakal bertahan. Sebaliknya akan berubah jadi buruk, manakala relasi berlangsung buruk. Apalagi dengan mitra yang kepribadiannya buruk. Dekat penjual parfum, sisa wangi yang bakal melekat ke seluruh tubuh. Tentu saja keterkaitannya kompleks. Tak sesederhana dua hubungan, mendung dengan awan.

Kepribadian manusia, nampaknya tak rigid. Mudah berubah, seturut wadah yang melingkupinya. Mitja D. Back, Susan Branje dan Cornelia Wrzus, 2023, dalam “Personality and Social Relationships: What Do We Know and Where Do We Go”, mengkonfirmasi hal itu. Menurut para peneliti itu, kepribadian dan interaksi sosial saling memengaruhi dengan berbagai cara.

Untuk memahaminya dapat dengan mengkaji pembentukan kepribadian dan interaksi sosial. Interaksi sosial ini, termasuk pertemuan sehari-hari, persahabatan, hubungan romantis, hingga hubungan keluarga, yang dikaitkan dengan pembentukan karakteristik kepribadian.

Salah satu mekanisme saling mempengaruhi itu, digambarkan ketiga peneliti itu sebagai berikut: “Seberapa besar pasangan romantis saling percaya, didorong oleh besarnya masing-masing pasangan mempercayai orang lain (efek aktor), kemampuan membangkitkan kepercayaan pada orang lain (efek pasangan) dan adanya kecenderungan unik untuk saling percaya. Seluruhnya lebih dari sekadar jumlah bagian-bagiannya (efek hubungan).

Interaksi sosial menyediakan konteks, tempat kepribadian berkembang. Fakta seseorang telah mendapatkan pasangan romantis, atau telah berulang kali berinteraksi dengan teman-teman yang berciri agresif, dapat memengaruhi pengalaman dan perilaku khas seseorang dari waktu ke waktu. Juga mitra interaksinya. Dan dengan cara demikian, kepribadiannya terbentuk”.

Dalam penjelasannya yang lebih praktis, Joel Michael, 2022, dalam “Bad Corporate, Corrupt Good Character”, memperkuat adagium di atas. Orang yang tepat di tempat yang tepat, mendorong diraihnya kesuksesan. Ini lantaran karakter dibentuk dan dikembangkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan selalu berada di sekitar orang yang berprestasi, sangat mungkin jadi orang yang berprestasi juga.

Artinya, jika seseorang membiarkan dirinya dipengaruhi dan dikelilingi orang yang tak berencana sukses, malas, dan tak punya impian hidup, niscaya akan jadi lebih buruk. Pengusaha bergaul dengan sesamanya untuk belajar. Demikian pula orang yang berprestasi selalu membiarkan dirinya di antara sesamanya, untuk membahas cara mendapatkan kesuksesan yang lebih besar dalam hidup. “Lebih baik berjalan sendirian di jalan yang benar, daripada berjalan bersama seribu orang ke arah yang salah”. Lanjut Michael.

Walaupun banyak penelitian semacam tema di atas baru dilakukan, bukan berarti seluruhnya hal baru. Tak perlu pula dipahami dengan rasa heran. Kebenaran lama ini, telah jadi nasihat tua. Namun perbincangan yang mengaitkan antara interaksi sosial dan kepribadian kembali menarik, lantaran konteks relasinya yang berubah bentuk.

Relasi yang semula berangkat dalam mode tatap muka ~juga dengan medium perantara analog~ secara radikal berubah. Relasi hari ini, dalam realitas keterhubungan yang termediasi digital. Juga hampir tak membutuhkan tatap muka. Maka, masihkah interaksi yang hampir seluruhnya tampil dalam kebaruan ini tetap mampu membentuk, bahkan mengubah kepribadian?

Lidia Sandra, 2024, dalam disertasi doktoralnya berjudul “Model Deep Learning Berbasis Graf Temporal untuk Mengukur Hubungan antara Intensitas Interaksi dan Perubahan Kepribadian Pengguna Media Sosial X”, mencoba menjawab pertanyaan di atas. Penelitian yang ruang lingkupnya menggunakan lima dimensi utama dari model kepribadian yang dikembangkan McCrae dan Costa, 1997, juga Ahya dan Siaputra, 2022, itu mengkombinasikan tema-tema psikologi dengan penghitungan terkomputasi yang dilandasi Ilmu Komputer.

Lima dimensi utama yang diukur itu, meliputi: keterbukaan terhadap pengalaman, kehati-hatian, ekstroversi, keramahan dan neurotisme. Seluruhnya ditelusur melalui teks yang diperoleh dari cuitan di platform X, dengan seluruh variabel yang dapat dikontrol.

Dalam penelusurannya untuk menemukan jawaban, Sandra mengajukan 3 sub pertanyaan rinci. Ini dikaitkan dengan permasalahan besar yang hendak diungkapnya. Masing-masing pertanyaan itu: pertama,bagaimana mengembangkan arsitektur deep learning untuk klasifikasi multilabel pada teks yang berskala besar?

Kedua, bagaimana mengembangkan model komputasi untuk merepresentasikan dan menganalisis dinamika label dan interaksi node dalam sebuah jaringan? serta yang ketiga, bagaimana mengembangkan model komputasi untuk mengukur hubungan antara intensitas interaksi antar mode, dengan co-occurrence label node dalam jaringan?

Hasil dari penelusuran Sandra, jika diringkas dalam bahasa yang ditujukan bagi khalayak yang tak terbiasa dengan bahasa akademis, akan terformulasi: intensitas interaksi secara signifikan, berhubungan dengan munculnya trait kepribadian. Trait ini dapat dimengerti sebagai sifat-sifat yang melekat sebagai kepribadian.

Seluruhnya berarti, dengan tingginya intesitas interaksi termediasi digital, akan intensif pula transformasi kepribadian para pihak yang terlibat di dalamnya. Saat orang baik berinteraksi dengan orang berkepribadian buruk, akan menular kebaikannya. Juga, saat yang buruk berinteraksi dengan orang berkepribadian baik, bakal menstimumulasi keburukan orang yang kepribadian baik.

Hal lain yang diperoleh dari penelitian itu, penggunaan deep learning dan graf temporal yang diteliti, punya sumbangan penting saat memahami dinamika kepribadian yang dikaitkan dengan interaksi di media sosial. Seluruh temuan yang disusun dengan rasa ingin tahu dan disiplin peneliti yang tekun itu, besar sumbangannya bagi keperluan praktis.

Ini termasuk keperluan pemulihan kesehatan mental, maupun penanganan kejahatan siber. Lidia Sandra dalam kesempatan pengukuhannya itu, meraih doktor keduanya di bidang Ilmu komputer. Ini setelah sebelumnya, meraih doktor di bidang Ilmu Psikologi.

Pemulihan kesehatan mental dari gangguan kepribadian yang memanfaatkan interaksi termediasi digital, hadir seiring kepopuleran media sosial. Sekelompok anak muda yang mengalami BDP, Borderline Personality Disorder contohnya, tertolong lewat cara nonkonvensional ini. Interaksi sosial lewat media sosial, berangsur-angsur memperbaiki keadaan mental penderitanya.

BDP termanifestasi sebagai gangguan kepribadian yang mempengaruhi cara anak muda mempersepsi dirinya. Juga terhadap dunia di sekitar tempat hidupnya. Gejalanya utama yang kerap hadir: perasaan diri yang tak stabil, perasan takut ditinggalkan, kesulitan mempercayai orang lain, hubungan yang sulit berlangsung lama, penarikan diri yang berlebihan. Juga idealisasi dalam hubungan.

Seluruhnya itu memunculkan perasaan hampa yang parah, memicu hubungan yang labil, maupun kesulitan saat berhubungan dengan orang lain. Yang dirasakan penderitanya: tekanan emosional sangat signifikan. Akibat lanjutnya, berupa pikiran, perasaan, maupun perilaku terhadap diri sendiri maupun orang lain yang sulit.

Seluruh uraian tentang BDP di atas, termuat pada artikel Fiona Yassin, 2023: “Living with BDP, Online: How Young People with Borderling Disorder Personality Use Social Media”. Lewat telaahannya lebih dalam, Yassin memperoleh petunjuk: individu dengan ciri BPD lebih tinggi penggunaan media sosialnya. Ini jika dibanding, individu tanpa ciri tersebut. Keterkaitannya dapat dimengerti ~walaupun belum berdasar data yang sahih~ kesulitan penderita BDP menjalin hubungan di dunia nyata, mengalihkannya ke media sosial.

Maka memenuhi keperluan praktis pemulihan kesehatan mental, unggahan konten media sosial saat melangsungkan interaksi sosial, dapat dijadikan sarana pengidentifikasi keadaan mental.  Kondisi emosi, pikiran, maupun perasaan penderita, terbaca berdasar konten yang diunggahnya. Memanfaatkan informasi tema unggahan itu, dapat dibongkar akar kesehatan mentalnya. Seluruhnya jadi pintu masuk perawatan, dukungan maupun pemulihan penderita BDP.   

Analog dengan terdefinisinya keterkaitan pola interaksi sosial ~ini juga terepresentasi lewat konten yang diunggah~ dengan kepribadian pelakunya, memungkinkan terbacanya kejahatan yang sedang direncanakan individu.

Berbekal pengetahuan itu, bukan kesehatan mental yang dipulihkan, melainkan tindakan kejahatan yang dapat diurungkan. Dikombinasi lewat model deep learning yang telah diuji melalui penelitian Lidia Sandra, peluang kemunculannya dapat dikuantifikasi.

Bukankah mengintegrasikan seluruhnya, jadi hal yang bermanfaat? Perannya mencegah kemalangan, akibat kejahatan yang termanifestasi. Terungkapnya kaitan interaksi sosial dengan pengaruhnya pada kepribadian, juga model yang mampu mengkuantifikasikannya, memecah semua misteri itu.

Media sosial bukan lagi soal interaksi yang tak penting. Darinya mampu dipetakan keadaan kepribadian, juga rencana kejahatan. Besar sumbangannya bagi kehidupan yang makin beralih ke jagad digital. Juga penelitian mengenainya yang berhasil dituntaskan.*

Dr.  Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Pendiri LITEROS.org.

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Keartifisialan yang Makin Merasuki Kehidupan Nyata

JAKARTA – Hidup manusia hari ini, diwarnai pertanyaan besar: yang

Kominfo Ajukan Harmonisasi Aturan Perlindungan Anak di Ranah Digital

JAKARTA –  Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengajukan permohonan harmonisasi